KPU dinilai belum serius sukseskan pilkada serentak di Papua
Sejauh ini, pemetaan konflik, distribusi kertas suara, jumlah pengamanan Pilkada belum diantisipasi KPU.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 9 Desember 2015 di Papua dikhawatirkan akan mengalami kendala besar dalam pelaksanaannya. Kendala wilayah yang luas, potensi konflik dan kecurangan akan menjadi catatan buruk bagi terlaksananya Pilkada serentak 9 Desember 2015 secara fair and fairness.
Di sisi lain, dari 60 hari waktu yang tersisa sekarang KPU dinilai belum secara serius mengantisipasi hal tersebut.
"Kenapa penting bicara Pilkada Papua? Karena bagaimana hasil Pilkada harus buat lebih baik bukan buat rusak. Karena Kepala daerah yang terpilih jadi ujung tombak. Kalau proses tidak baik maka upaya untuk perbaikan Papua akan terkendala," ujar Direktur Papua Resources Center Amiruddin al-Rahab di Kantor YLBHI, Jl Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (2/10).
Menurut Amir, KPU dan Bawaslu mempunyai andil besar dalam menyukseskan Pilkada di Papua. Dari pengalaman sebelumnya, tercatat Papua banyak menyelesaikan sengketa di Mahkamah Konstitusi.
"Lalu pengalaman Pilkada 2014 banyak diselesaikan ke MK. Prinsip pemilihan yaitu hak pemilih bisa terjamin lalu apakah KPU bisa jamin fair DNA fairnes Pilkada Papua?" tegas dia.
Hal yang disoroti Amir adalah kesiapan Papua dalam menyelenggarakan Pilkada serentak. Sejauh ini, pemetaan konflik, distribusi kertas suara, jumlah pengamanan Pilkada belum diantisipasi KPU dalam penanganannya.
"Wilayah Papua yang luas dan banyak dicapai melalui rute udara menjadi salah satu faktor kendala bagi distribusi kertas suara dan proses perhitungannya pun nanti tentu akan diwarnai kecurangan. Sementara itu, meski jumlah personel yang disiapkan Polri sudah terpenuhi, apakah dalam waktu menjelang Pilkada semuanya sudah ada di tempat?" Papar Amir.
Lebih lanjut Amir memaparkan, KPU juga harus mempunyai perhatian penuh terhadap jumlah DPT di daerah perbatasan seperti Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digul dan Yahukimo. Keempat daerah tersebut, kata dia, belum mempunyai DPT yang jelas dan tentu akan berpotensi konflik.
"Ada kerawanan politik. Saya belum dengar apa langkah KPU khususnya di lintas batas. Apakah DPT sudah terjamin fairnesnya? Mereka satu suku dan bisa bolak balik. Ada juga yg masuk wilayah Papua Nugini tapi mereka orang Indonesia," pungkas dia.