Lambat tangani kasus "Obor Rakyat", Kapolri didemo
"Kami juga minta Pak Kapolri menangkap pelaku fitnah, penyandang dana dan otak di balik terbitnya tabloid Obor Rakyat."
Dianggap lambat menangani kasus kampanye hitam Obor Rakyat, ratusan orang menggeruduk Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa, 1 Juli 2014. Massa yang menamakan diri Gerakan Rakyat Anti Fitnah Jokowi (Grafjo) itu menuntut agar Polri bersikap tegas, dan segera menuntaskan kasus fitnah terhadap Jokowi itu.
"Kami juga minta Pak Kapolri menangkap pelaku fitnah, penyandang dana dan otak di balik terbitnya tabloid Obor Rakyat," tegas salah seorang pendemo, Firmanto seperti dikutip Tribunnews.com, Selasa, 1 Juli 2014.
Massa yang mengenakan kaos putih bergambar Jokowi - JK itu mengusung sejumlah tuntutan seperti tangkap dan penjarakan pemimpin redaksi Obor Rakyat, Setiyardi Budiono beserta aktor intelektual dan inisiator tabloid yang isinya berisi fitnah dan kampanye hitam kepada Jokowi itu.
Mereka pun meminta agar Polri tidak melakukan aksi tebang pilih dalam menangani kasus ini, apalagi diketahui Setiyardi adalah orang Istana. "Jika Kapolri tidak sanggup menegakkan supremasi hukum, copot saja," kata mereka.
Penanganan kasus Obor Rakyat memang dinilai lambat. Polisi seperti tak punya daya untuk secara cepat mengusut kasus yang sangat meresahkan ini.
Politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Sidarto Danusubroto, misalnya, menyebut Polri terlalu lambat menangani laporan kasus Obor Rakyat. "Selama ini saya bicara sama Kabareskrim, saya bilang penanganannya lambat sekali. Itu harus ditangani dengan segera," kata Sidharto di Kompleks Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, seperti dikutip Kompas.com, Selasa, 1 Juli 2014.
Ketua MPR RI tersebut juga mengkritik redaktur Obor Rakyat, Darmawan Sepriyossa yang tidak kunjung memenuhi panggilan yang dilayangkan penyidik Bareskrim. Sidharto mengatakan, status Darmawan bisa ditingkatkan menjadi tersangka apabila kembali tidak datang pada panggilan ketiga. Menurut dia, demokrasi di Indonesia tidak seharusnya dibangun atas dasar fitnah melalui kampanye jahat.
Jika tidak dituntaskan, lanjut Sidharto, maka kasus ini akan menjadi preseden buruk bahwa kandidat memenangi pemilu presiden karena menghalalkan kampanye jahat. (skj)