Menteri Ini Balas Kritikan Mahfud Md Soal Rencana Prabowo Maafkan Koruptor
Faktanya selama ini setelah negara menghukum pelaku tindak pidana khususnya korupsi, maka vonis besaran uang pengganti tidak sesuai dengan kerugian negara.
Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas merespons kritik mantan Menkopolhukam Mahfud Md terhadap niatan Presiden Prabowo Subianto, yang ingin memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan hasil korupsi ke negara.
"Presiden kan itu koma (pernyataannya) kan? Mungkin dimaafkan. Tapi kalau Anda tidak kembalikan kerugian negara, maka saya akan menerapkan proses hukum yang sangat keras," tutur Andi di Kantor Kementerian Hukum, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (23/12).
- Mahfud MD Kritisi Sikap Prabowo Maafkan Koruptor: Semakin Rusak Lah Dunia Hukum, Hati-Hati
- MUI Ingatkan Prabowo soal Rencana Maafkan Koruptor: Harus Ada Payung Hukum
- Pesan Tegas Prabowo di Hakordia buat Penegak Hukum: Tidak Boleh Ragu Berantas Korupsi!
- Berkali-kali Hampir Mati, Prabowo: Saya Tidak Rela Koruptor Terus Mencuri Uang Rakyat
Menurut Andi, faktanya selama ini setelah negara menghukum pelaku tindak pidana khususnya korupsi, maka akan ada vonis membayar uang pengganti. Hanya saja, cukup banyak pengembalian yang tidak sesuai dengan besaran kerugian negara.
"Karena itu pasti akan selektif. Namun demikian, kita akan tunggu arahan Bapak Presiden nanti selanjutnya. Karena kan kita belum dapat arahan nih, ya kan? Seperti apa implementasi yang diarahkan," jelas dia.
"Cuma saya beritahu bahwa apakah memungkinkan? Memungkinkan. Apakah lewat Presiden? Tanpa lewat Presiden pun sekarang memungkinkan. Karena Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai terhadap perkara seperti itu," sambungnya.
Adapun terhadap para pakar atau pun akademisi yang menganggap hal itu bertentangan dengan Undang-Undang, dan sampai menyebut bahwa membebaskan koruptor bisa bersinggungan dengan Pasal 55 KUHP terkait turut serta terlibat tindak pidana, Andi menyebut mereka mungkin lupa dengan keseluruhan aturan perundang-undangan.
"Karena itu sekali lagi yang ingin disampaikan Presiden itu bukan sesuatu hal yang tidak ada dasarnya. Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi kita yang tertinggi itu memberikan ruang, dan seluruh negara pun menganut hal yang sama," Andi menandaskan.
Andi lantas mengulas adanya denda damai di Kejaksaan Agung (Kejagung) bagi pelaku tindak pidana.
"Saya beritahu bahwa apakah memungkinkan? Memungkinkan. Apakah lewat Presiden? Tanpa lewat Presiden pun sekarang memungkinkan. Karena Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai terhadap perkara seperti itu," tutur Andi.
Denda damai sendiri merupakan pembayaran sejumlah uang kepada negara sebagai penggantian kerugian, yang timbul akibat perbuatan pelaku, yang juga dapat diartikan sebagai penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda.
Andi mengatakan, langkah hukum tersebut dapat diterapkan ke tindak pidana apapun, termasuk korupsi.
"Seluruh tindak pidana. Denda damai itu yang kita berikan karena saya dulu kan menyusun itu di badan legislasi. Denda damai itu untuk seluruh tindak pidana," jelas dia.
"Namun demikian, peraturan turunannya yang belum. Dulu kami minta disepakati antara pemerintah dan DPR itu cukup peraturan Jaksa Agung. Ya kan? Peraturan Jaksa Agung. Tetapi sampai sekarang saya tidak tahu apakah peraturan Jaksa Agung itu sudah diselesaikan atau belum," sambungnya.
Kembali Andi menegaskan, pada dasarnya Presiden memiliki hak prerogatif untuk menerapkan grasi, amnesti, ataupun abolisi untuk pelaku tindak pidana. Hal itu pun tidak bertentangan dengan Undang-Undang.
"Nah karena itu saya hanya sampaikan bahwa apakah Presiden memiliki dasar untuk itu? Saya katakan iya. Apakah Presiden mau menggunakan itu? Tergantung Presiden. Tapi Undang-Undang Dasar, jangan benturkan antara Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar," Andi menandaskan.
Pernyataan Mahfud Md
Rencana Prabowo soal memberi kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri, dikritisi Mahfud MD. Menurut dia, memaafkan tindak pidana korupsi sama saja melanggar pasal 55 KUHP.
"Korupsi itu kan dilarang. Dilarang siapa? menghalangi penegakan hukum, ikut serta atau membiarkan korupsi padahal dia bisa ini (melaporkan), lalu kerja sama," kata Mahfud MD, seperti dikutip Minggu (22/12).
Permasalahan korupsi di dalam negeri dikatakan dia sudah terlalu kompleks. Belum lagi dengan memberikan maaf kepada koruptor atas perbuatannya semakin membuat penindakan korupsi di dalam negeri tumpul.
"Padahal itu kompleks sekali, komplikasinya akan membuat semakin rusak lah bagi dunia hukum, sebab itu hati-hati lah," jelas Mahfud.