MK Putus Nasib Sistem Pemilu dan Gusarnya Partai Politik
Sidang putusan sistem pemilu di MK digelar pukul 09.30 WIB.
Hari Kamis (15/6) akan menjadi hari menentukan bagi demokrasi di Indonesia. Mahkamah Konstitusi akan memutuskan gugatan uji materi pasal sistem Pemilu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Jadwal sidang telah dikirim kepada pemerintah, DPR, dan pihak terkait dalam gugatan tersebut. Dari agenda yang diterima merdeka.com, sidang putusan sistem pemilu digelar pukul 09.30 WIB.
-
Bagaimana konstitusi di Indonesia mengatur sistem pemilu? Konstitusi di Indonesia mengatur sistem pemilu melalui Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
-
Di mana sistem pemerintahan negara serikat diterapkan? Contoh negara serikat termasuk Amerika Serikat, Brasil, dan India.
-
Apa makna utama Pemilu dalam sistem pemerintahan? Pemilu atau pemilihan umum adalah proses demokratis di mana warga suatu negara secara berkala memilih wakil mereka untuk menempati jabatan-jabatan pemerintahan.
-
Apa yang dimaksud dengan sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia? Namun, pada tahun 2004, Indonesia mulai menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2003. Dalam sistem ini, pemilih dapat memberikan suara langsung untuk kandidat secara individual, dan perolehan suara untuk partai politik akan menentukan jumlah kursi yang mereka dapatkan di parlemen.
-
Bagaimana sistem pemerintahan Malaysia dipilih? Dalam tatanan unik, raja akan dipilih oleh dan digilir di antara para raja dari sembilan negara bagian Malaysia yang masih dipimpin raja. Empat negara bagian lain tak dipimpin oleh raja.
-
Kapan Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres? Momen kunjungan kerja ini berbarengan saat Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres diajukan Kubu Anies dan Ganjar.
Uji materiil itu diajukan oleh kader PDI Perjuangan Demas Brian Wicaksono, kader NasDem Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu tercatat dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.
Adapun pasal yang digugat adalah pasal 168 UU Pemilu itu mengatur soal sistem proporsional terbuka (coblos caleg). Penggugat menginginkan pemilihan umum memberlakukan sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai politik.
Sejumlah alasan disampaikan para pemohon dalam sidang perdana tersebut. Sistem pemilu yang memilih calon legislatif secara langsung dinilai hanya menjual diri calon bermodal populer tanpa ikatan ideologis dengan partai. Calon tersebut juga tidak punya pengalaman organisasi partai politik atau organisasi sosial politik.
Maka, ketika terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD, calon legislatif itu tidak mewakili organisasi partai politik, tetapi mewakili diri sendiri. Menurut pemohon, harus ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah melalui proses pendidikan, kaderisasi dan pembinaan ideologi partai.
Alasan lain pemohon, melalui sistem pemilihan calon legislatif secara langsung, menimbulkan individualisme para politisi yang mengakibatkan konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik. Sistem proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik dan persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual dalam pemilu. Pemohon memandang, persaingan itu harusnya terjadi antar partai politik, karena sesuai UUD 1946 Pasal 22E ayat (3) peserta pemilu adalah partai politik.
Gugatan diajukan pada 14 November 2022. MK menggelar sidang perdana dengan jadwal pemeriksaan pendahuluan I pada 23 November 2022. Hingga jelang putusan, MK tercatat telah melakukan 17 kali sidang.
Jika MK mengabulkan gugatan para penggugat besok, maka sistem pemilu akan berubah dari sistem proporsional terbuka (coblos caleg) menajdi sistem proporsional tertutup (coblos partai).
DPR akan Pelototi Sidang Putusan
DPR selaku pihak terkait bakal menghadiri sidang putusan gugatan sistem Pemilu 2024. Mereka yang hadir merupakan tim kuasa hukum DPR, di antaranya Anggota Komisi III DPR dari fraksi dari Gerindra, Habiburokhman anggota Komisi III DPR dari Fraksi NasDem dan Golkar Taufik Basari dan Supriansa.
"Iya, besok kami akan hadir tim kuasa DPR di MK," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Habiburokhman berharap MK memutuskan sistem pemilu proporsional terbuka alias coblos caleg bukan partai. Menurut dia, sistem proporsional terbuka atau coblos caleg yang berlaku saat ini sebagai sistem terbaik.
Habiburokhman mendorong agar putusan MK mestinya bersifat open legal policy. Sehingga diserahkan kepada DPR untuk pengaturan lebih rinci.
"Karena itu sangat pas kalau ini dibahasnya di DPR, dan DPR kan sejauh ini memang proporsional terbuka dan tidak ada intensi untuk mengubahnya. Nah DPR itu kan wakil rakyat secara resmi. Bagaimana aspirasi rakyat yang lainnya? kita lihat di semua media massa, lembaga survei, di semua media sosial semuanya mayoritas proporsional terbuka," sambungnya.
8 Partai Politik Tolak Sistem Coblos Partai
Sebanyak delapan partai politik di Parlemen telah menyatakan sikap penolakan sistem proporsional tertutup atau coblos partai pada Pemilu 2024. Delapan fraksi itu di antaranya, Golkar, Demokrat, PKS, PAN, PPP, PKB, Nasdem, dan Gerindra. Hanya PDIP yang mendukung pengembalian sistem pemilu menjadi proporsional tertutup (coblos partai).
Penegasan sikap dilakukan lagi pada 30 Mei 2023. Perwakilan masing-masih fraksi di DPR RI antara lain ketua fraksi Golkar Kahar Muzakir, ketua fraksi PAN Saleh Daulay, ketua Fraksi Nasdem Robert Rouw, ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, ketua Fraksi PPP Amir Uskara dan ketua Fraksi Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas).
Kemudian, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburrokhman, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia, Sekretaris fraksi PKB Fathan Subchi dan yang lainnya.
Delapan fraksi pun kembali menegaskan agar Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sistem pemilu proporsional terbuka. Selain mendegradasi demokrasi, gugatan itu bertentangan putusan MK yang bersifat mengikat.
“Terbuka yes, tertutup no!” teriak delapan ketua fraksi kompak menutup jumpa pers sambil mengangkat tangan di Gedung Nusantara III DPR RI.
Ketua Fraksi Golkar Kahar Muzakir mengatakan, sistem proporsional terbuka atau coblos caleg sudah dilakukan sejak lama. Sehingga, jika diubah menjadi coblos partai, hak konstitusional para bakal calon legislatif (bacaleg) akan terenggut.
"Maka kita meminta supaya tetap sistemnya terbuka. Kalau mereka memaksakan mungkin orang-orang itu akan meminta ganti rugi. Paling tidak mereka urus SKCK segala macem itu ada biayanya. Kepada siapa ganti ruginya mereka minta? Ya bagi yang memutuskan sistem tertutup," kata Kahar dalam konferensi pers.
Dia tak bisa membayangkan jika bacaleg yang telah mendaftarkan diri ke KPU menuntut keadilan dan melakukan aksi demo ke MK jika mengubah sistem pemilu.
Sehingga, dia meminta hakim MK mendengarkan aspirasi seluruh masyarakat untuk tetap menjalankan sistem coblos caleg di 2024 mendatang.
"Bayangkan 300 ribu orang itu minta ganti rugi, dan dia berbondong-bondong datang ke MK agak gawat juga MK itu. Jadi kalau ada yang coba mengubah-ubah sistem itu orang yang mendaftar sebanyak itu akan memprotes," tegasnya.
DPR Ancam Utak Atik Anggaran MK
Perwakilan Fraksi dari Gerindra, Habiburokhman berkelakar, jika fraksi DPR tak ingin saling unjuk kekuasan. Termasuk dengan lembaga tinggi MK.
"Kita tidak akan saling memamerkan kekuasaan, tapi juga kita akan mengingatkan bahwa kami legislatif juga punya kewenangan apabila memang MK berkeras," kata Habiburokhman saat konfrensi pers.
Namun, jika MK tetap bersikeras memutuskan untuk menggunakan sistem coblos partai, dia mengingatkan bahwa DPR memiliki kewenangan anggaran.
"Apabila MK berkeras untuk memutus ini, kami juga akan menggunakan kewenangan kami. Begitu juga dalam konteks budgeting. Demikian," tegas dia.
Sementara, Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas menilai, sistem proporsional terbuka atau coblos caleg yang berlaku saat ini sebagai sistem terbaik.
Menurut dia, MK tak bisa memutuskan norma baru apalagi yang bisa memancing kegaduhan di tengah masyarakat.
"Kami mendukung sistem proporsional terbuka. Kita tidak ingin mendapat calon anggota DPR seperti membeli kucing dalam karung," kata Ibas.
Bocor Informasi Putusan MK
Gaduh gugatan sistem Pemilu itu diungkap oleh Eks Wamenkumham Denny Indrayana. Dia mengklaim mendapatkan informasi bahwa MK sudah memiliki keputusan untuk mengembalikan sistem Pemilu menjadi proporsional tertutup.
"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja," kata Denny, kepada wartawan, Minggu (28/5).
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu mengatakan mendapatkan informasi bahwa ada 6 Hakim MK yang menyetujui kembali sistem proporsional tertutup itu. Sementara, 3 lainnya menyatakan berbeda pendapat alias dissenting opinion.
Dia enggan menyebutkan dari mana mendapatkan informasi itu. Namun, dia mengatakan sangat mempercayai sumbernya tersebut.
Akibat 'nyanyian' tersebut, Denny dilaporkan ke Polda Metro Jaya lantaran dianggap membocorkan rahasia negara. Pelapornya adalah Paguyuban BCAD.
Caleg Terancam Mundur
Gusar putusan sistem Pemilu juga dirasakan Partai NasDem. Bendahara Umum Partai NasDem Ahmad Sahroni berharap Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sistem pemilu proporsional terbuka untuk Pemilu 2024.
Menurutnya, apabila sistem Pemilu diubah menjadi proporsional tertutup, maka kemungkinan para Calon Legislatif (Caleg) akan mengundurkan diri dari kontestasi tersebut.
"Mudah-mudahan besok menjadi putusan yang untuk secara nasional diterima dengan senang hati. Terutama para Caleg yang belakangan agak worry dan mereka kalau memang ada keputusan proporsional tertutup semua partai calegnya pasti mundur, dan inikan sayang kalau sampai terjadi begitu," ujarnya.
Selain NasDem, Sahroni meyakini gejolak juga akan terjadi di semua partai politik. NasDem mempertimbangkan mundur dari Pileg bila MK akhirnya mengabulkan sistem coblos partai.
"(Diinternal Partai ada) Gejolak, sangat gejolak, Mereka wait and see dan kalau akhirnya tertutup kita mau mundur. Buat apa enggak bisa perang terbuka dan akhirnya buat apa lakukan sesuatu untuk maju sebagai caleg," tegasnya.
(mdk/ray)