PDIP sebut #2019GantiPresiden tak cerminkan gaya berpolitik cerdas
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Aria Bima menilai Gerakan #2019GantiPresiden (tanda pagar 2019 ganti Presiden) sebagai gerakan pragmatis yang tidak mencerminkan gaya berpolitik cerdas. Hal tersebut juga tidak baik untuk membangun konsolidasi demokrasi bernegara.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Aria Bima menilai Gerakan #2019GantiPresiden (tanda pagar 2019 ganti Presiden) sebagai gerakan pragmatis yang tidak mencerminkan gaya berpolitik cerdas. Hal tersebut juga tidak baik untuk membangun konsolidasi demokrasi bernegara.
Pernyataan tersebut dikemukakan anggota MPR asal Kota Solo, di sela Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan bersama para dai dan takmir masjid se Kota Solo di Rumah Dinas Wakil Wali Kota, Minggu (7/4) sore. Bima menyebut tagar 2019 ganti Presiden yang ramai di media sosial itu sebagai sesuatu yang antagonis dan tidak didasari hal rasional.
-
Kenapa Situ Cipanten viral di media sosial? Tak ayal, lokasi wisata ini sempat viral di media sosial karena keindahannya, dan didatangi pengunjung dari berbagai daerah.
-
Dimana Polresta Pekanbaru berdiskusi dengan para admin media sosial? Kolaborasi ini terwujud dalam diskusi santai antara Satreskrim Polresta Pekanbaru, dipimpin oleh Kasat Reskrim Kompol Bery Juana Putra, dan sejumlah admin media sosial di salah satu kafe di Pekanbaru.
-
Apa yang dibagikan oleh Paulina Pandjaitan di media sosialnya? Paulina Pandjaitan baru-baru ini membagikan sejumlah potret dirinya dengan sang suami.
-
Kata-kata lucu apa yang dibagikan di media sosial? Kata-Kata lucu yang dibagikan di medsos bisa menjadi hiburan bagi orang lain.
-
Apa yang dilakukan Rumiyati Ningsih di media sosial? Jadi Seorang Selebgram Tuh, beda banget sama suaminya yang kerja di film, Rumiyati malah asyik banget di sosmed, sekarang jadi selebgram nih.
-
Kenapa cromboloni viral di media sosial? Tips Membuat Cromboloni saat ini tengah ramai menjadi perbincangan di media sosial khususnya Tiktok.
"Tagar 2019 ganti Presiden itu antagonis, tidak didasari hal yang rasional. Publik jangan diarahkan pada pemikiran-pemikiran yang tidak mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam kehidupan berpolitik," ujarnya.
Masih menurut Bima, tagar yang disebarluaskan melalui media sosial tersebut tidak mencerdaskan rakyat dalam berdemokrasi. Apalagi hanya didasari keinginan serta didorong rasa suka dan tidak suka saja.
"Ini pilihan pihak oposisi yang sebenarnya kurang dewasa dalam menjalani peran sebagai oposisi," tandasnya.
Bima mengaku dirinya pernah selama 10 tahun menjalani peran sebagai oposisi. Namun dengan posisi tersebut, tak lantas membuat dirinya harus mengolok-ngolok dan mencaci maki pemerintah. Yang sia lakukan saat itu, lanjut Bima, justru menyampaikan pemikiran-pemikiran di luar pemikiran pemerintah. Hal tersebut penting dilakukan untuk memberikan pemikiran alternatif kepada rakyat.
"Saat itu ada demonstrasi, foto Presiden SBY ditaruh pada kerbau, kami juga melakukan protes," katanya.
Bima menegaskan, setiap bangsa dan negara, tiap zaman selalu melahirkan tantangan baru yang membutuhkan kehadiran seorang pemimpin visioner, antisipatif, responsif dan membuat keputusan terukur. Untuk itu, Bima mengajak semua pihak untuk mengevaluasi kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah memenuhi hal tersebut atau tidak.
"Dari berbagai survei, menurut rakyat keyakinan publik masih dominan, 54 persen. PDI Perjuangan merespon ini dalam Rakernas untuk mencalonkan kembali Jokowi pada periode kedua," terangnya.
Anggota DPR RI Dapil V Jawa Tengah ini mengimbau kalangan oposisi untuk tidak lebih mementingkan memperebutkan kekuasaan dengan mengabaikan pendidikan politik yang positif bagi rakyat.
" Yang lebih penting dalam tujuan berdemokrasi itu bagaimana memberikan pemahaman politik yang baik bagi rakyat," jelasnya lagi.
Bima kembali menegaskan jika gerakan tagar 2019 ganti Presiden tersebut tidak relevan dan tidak ikut mencerdaskan kehidupan berpolitik rakyat. Menurutnya, adanya gerakan tersebut, yang muncul hanya stigma-stigma dan masalah suka dan tidak suka.
"Saya berharap jangan sampai Pileg dan Pilpres besok itu yang terjadi adalah idiom-idiom penggoblokan masyarakat dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia," tutupnya.
Baca juga:
Pilpres kian dekat, Jokowi minta relawan kerja keras dan militan
Airlangga ngaku sudah tahu dua partai yang akan gabung dukung Jokowi
Demi kursi Cawapres buat Airlangga, Caleg Golkar diminta turun semua
Luhut bertemu Prabowo, Ketum Golkar bilang 'lobi jalan terus silakan'
Surya Paloh tak setuju eks koruptor dilarang nyaleg di Pemilu 2019