Penuh syahwat politik, dana aspirasi DPR sudah tepat ditolak Jokowi
Tindakan para legislator menyetujui dana aspirasi mencerminkan negara ini sedang mengoleksi politikus bukan negarawan.
Anggota DPD asal Sulawesi Utara Benny Rhamdani menolak dana aspirasi sebesar Rp 11,2 triliun bagi 560 anggota DPR. Dia menduga dana tersebut merupakan dana 'syahwat' para politikus.
"Dana aspirasi adalah dana syahwat para politisi yang memanipulasi konstitusi dan aspirasi masyarakat. Dana aspirasi itu jelas harus ditolak, karena efek domino yang dihasilkan oleh dana aspirasi itu adalah memperlebar jurang antara Timur dan Barat Indonesia. Bagian timur yang semakin tertinggal," ujarnya kepada merdeka.com di Manado, Jumat (26/6) malam lalu.
Dikatakannya, tindakan para legislator yang menyetujui dana aspirasi mencerminkan bahwa negara ini sedang mengoleksi politikus bukan negarawan. "Kalau mereka mengedepankan sikap-sikap kenegarawanan, maka yang harus dipikirkan adalah seluruh tumpah darah mereka, karena itu yang diamanatkan konstitusi," ujar Wakil Ketua Komite I DPD RI ini.
Yang terjadi saat ini, dilanjutkan dia, pembangunan yang sangat pesat hanya terfokus di pulau Jawa dan bagian barat Indonesia, sementara wilayah timur terus tertinggal dan bahkan miskin.
"Nah coba bayangkan dana untuk 560 anggota DPR itu menghabiskan Rp 11 triliun kemudian Rp 8 triliun itu habis di Jawa. Padahal Jawa ini luasnya hanya 6 persen luas republik. Jadi bagaimana bisa uang negara, uang rakyat yang Rp 11 triliun itu dihabiskan di Jawa yang luas mereka hanya 6 persen. Dan sebagian besar dari republik ini hanya mendapatkan Rp 3 triliun," ujar Rhamdani dengan nada kesal.
Usulan DPR memasukkan dana aspirasi atau Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) ke dalam Rancangan Anggaran dan Pendapat Negara 2016 menurut pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio hanya menguntungkan partai politik bukan rakyat.
"Anggaran itu belum layak, beban rakyat yang ditanggung semakin besar. Harusnya rakyat menjadi opsi pertama dalam berbagai kebijakan pemerintah," kata Hendri ketika dihubungi merdeka.com, Sabtu (27/6) kemarin.
Presiden Joko Widodo ( Jokowi) memberi sinyal menolak usulan dana ini, karena dianggap bertentangan dengan visi misi pemerintah yang tertuang dalam program Nawa Cita. Atas itu, Satrio mengapresiasi keputusan mantan wali kota Solo tersebut menolak dana yang diajukan DPR sebesar Rp 11,2 triliun.
"Saya menghargai langkah Jokowi yang menolak dana aspirasi," kata Hendri Satrio.
Menurut dia, fraksi-fraksi DPR yang mengusulkan dana aspirasi dalam rapat sidang paripurna mesti menerima keputusan presiden untuk tak meloloskan dana tersebut.
"DPR juga seharusnya menghargai keputusan pemerintah, tidak angkuh dan memaksakan pemerintah," ujar dia.
Sampai hari ini, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro belum menerima proposal dewan. Jika ada, menurut dia sangat sulit memasukkan ke rancangan RAPBN 2016, karena ruang fiskal tak dapat menampung usulan tersebut.
Dalam kesempatan terpisah, Hendri Satrio mendukung Jokowi untuk menolak adanya dana aspirasi atau Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP). Jokowi dianggap telah mendengarkan suara masyarakat.
"Sudah bagus Pak Jokowi menolak. Karena yang kami takutkan kan adalah yang pertama, biasanya kalau sudah diloloskan dana aspirasi ini bisa jadi sendiri-sendiri. Dana aspirasinya terpisah, dana sendiri aspirasi sendiri," kata Hendri di Hall Dewan Pers, Jumat (26/6).
Hendri berharap agar Jokowi berani tetap konsisten pada pilihannya tersebut. Sebab jika dana aspirasi lolos dikhawatirkan menjadi celah bagi sarang korupsi.
"Mudah-mudahan pemerintah konsisten, sehingga tidak disetujui. Kalau misalnya disetujui nanti bayangkan saja incumbent DPR ini pasti akan luar biasa punya alatnya. Ada dana desa, kemudian ada dana aspirasi, dana untuk parpol baru dinaikkan, dana reses," tuturnya.
Menurutnya, ini merupakan langkah baik dari Jokowi untuk menahan dana aspirasi walaupun belum ada pernyataan resmi atasnya.
Di sisi lain dengan adanya dana aspirasi Hendri khawatir lembaga lain akan memintanya juga. Misalnya wakil daerah yaitu DPD. Pasalnya dana yang dialirkan bernilai besar.
"Rp 11,2 triliun per satu tahun dan Rp 50 juta per sekali reses itu kan besar sekali," tutupnya.