Pilkada Digelar Desember 2020 Langgar Empat Prinsip Pelaksanaan Pemilu
"Tahapan yang sangat berisiko untuk mengganggu keselamatan dan kesehatan masyarakat antara lain pemutakhiran data pemilih atau coklit dan verifikasi calon perseorangan. Dalam aturan memang harus dilaksanakan secara langsung,"
Ketua Network for Indonesian Democratic Society (Netfid Indonesia) Dahliah Umar mengatakan ada empat prinsip yang dilanggar jika Pilkada serentak 2020 diselenggarakan pada 9 Desember. Empat prinsip tersebut berkaitan dengan pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil.
Dia menyebutkan, prinsip pertama yang dilanggar yakni partisipasi penuh tanpa rasa ketakutan dan kekhawatiran yang tentu akan dirasakan oleh pemilih. Dengan pelaksanaan Pilkada pada 9 Desember, masyarakat akan terlibat dalam proses tahapan-tahapan yang sangat panjang.
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Mengapa Pemilu 2019 di sebut Pemilu Serentak? Pemilu Serentak Pertama di Indonesia Dengan adanya pemilu serentak, diharapkan agar proses pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif.
-
Bagaimana Pilkada 2020 diselenggarakan di tengah pandemi? Pemilihan ini dilakukan di tengah situasi pandemi COVID-19, sehingga dilaksanakan dengan berbagai protokol kesehatan untuk meminimalkan risiko penularan.
-
Kenapa Pilkada tahun 2020 menarik perhatian? Pilkada 2020 menarik perhatian karena dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Pilkada di tahun tersebut dilaksanakan dengan penerapan protokol kesehatan ketat untuk menjaga keselamatan peserta dan pemilih.
-
Apa saja yang dipilih rakyat Indonesia pada Pilkada 2020? Pada Pilkada ini, rakyat Indonesia memilih:Gubernur di 9 provinsiBupati di 224 kabupatenWali kota di 37 kota
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
"Tahapan yang sangat berisiko untuk mengganggu keselamatan dan kesehatan masyarakat antara lain pemutakhiran data pemilih atau coklit dan verifikasi calon perseorangan. Dalam aturan memang harus dilaksanakan secara langsung," kata dia, dalam diskusi daring, Kamis (28/5).
Tentu untuk menghindari penularan Covid-19 maka proses coklit dan verifikasi calon perseorangan harus dilakukan dalam pertemuan fisik langsung. Kalaupun ada pertemuan fisik tentu sangat dibatasi. Hal ini bakal berdampak pada akurasi data pemilih dan juga merugikan para calon perseorangan.
"Ada risiko akurasi data dan ketepatan dalam verifikasi calon perseorangan. Tentu merugikan calon perseorangan kalau mereka menerima minimal konfirmasi calon dukungan," ungkap dia.
Umar menyebut prinsip kedua yang dilanggar yakni prinsip keadilan dalam kontestasi atau persaingan dalam Pilkada serentak. Gelaran pilkada serentak di tengah pandemi, bakal merugikan para calon non petahana.
"Kontestasi pilkada itu kontestasi yang sangat keras antarcalon apalagi kalau ada calon incumbent. Kalau dipaksakan di masa pandemi, yang paling dirugikan adalah calon non incumbent. Karena di masa pandemi ada yang nama social distancing sementara calon non incumbent butuh memperkenalkan diri lebih dari calon incumbent," terang dia.
"Kalau dipaksakan dengan protokol kesehatan dimana ada batasan pertemuan massa, itu tentu lebih menguntungkan calon incumbent daripada non incumbent," imbuhnya.
Selain itu, peluang bagi kampanye terselubung calon incumbent lewat pelaksanaan program penanganan Covid-19 juga terbuka. Program-program, salah satunya bansos bisa menjadi ajang bagi calon petahana untuk melakukan pencitraan. "Dan itu lagi-lagi mencederai aspek keadilan dalam kontestasi persaingan yang sehat," tegas dia.
Prinsip ketiga, lanjut dia, yakni prinsip integritas dan kemandirian KPU serta prinsip visibilitas dari penyelenggaraan pemilu di masa pandemi. Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa persiapan pilkada di tengah pandemi akan memberikan beban batin kepada penyelenggara pemilu.
"Kita harus menyelenggarakan Pilkada dengan hasil maksimal, dan diakui legitimasinya. pada saat yang sama kita juga tertekan untuk melindungi diri dan aparat serta jajaran dari bahaya pandemi," paparnya.
Prinsip keempat yang dilanggar, yakni prinsip konsistensi terhadap aturan perundang-undangan. Dia mengatakan, jika membaca di Perppu Pilkada, maka saat ditemukan bahwa pelaksanaan pemilihan dan penghitungan suara hanya bisa dilaksanakan dengan syarat pandemi itu selesai.
"Jadi walaupun sekarang tahapan itu dimulai, dengan protokol Covid-19, kecuali pemungutan dan penghitungan suara itu tidak bisa ditawar lagi kalau kita lihat Perppu. Harus sudah selesai pandemi baru pemungutan dan penghitungan suara selesai" jelasnya.
"Jadi kita bisa melihat aturan perundang-undangan sendiri mengandung ketidakjelasan bagaimana kalau seluruh tahapan sudah berjalan tetapi begitu mau pemungutan dan penghitungan suara masih ada pandemi. Saya kira itu yang harus disikapi jadi visibilitas penyelenggaraan pilkada dengan hari H tanggal 9 Desember itu mengandung ketidakpastian," tandas dia.
(mdk/ray)