PPP: Sanksi Lili Pintauli Jadi Bahan Tertawaan & Jatuhkan Martabat KPK
"Ini berarti kategorinya pelanggaran etik serius tetapi sanksi yang dijatuhkannya tidak serius," kata Arsul.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani menilai, pemotongan gaji sebagai sanksi pelanggaran etik berat hanya jadi bahan tertawaan publik. Hal itu menanggapi sanksi pelanggaran kode etik oleh Dewan Pengawas KPK terhadap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
Menurut Arsul, sanksi berat itu seharusnya penonaktifan atau pemberhentian sementara atau tetap.
-
Siapa yang dilantik menjadi Ketua KPK Sementara? Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melantik Nawawi Pomolango sebagai Ketua KPK sementara.
-
Kapan Nawawi Pomolango dilantik sebagai Ketua KPK sementara? Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara Nawawi Pomolango berpose sesaat sebelum memberi keterangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (27/11/2023). Sebelumnya Presiden Joko Widodo, melantik Nawawi Pomolango sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara.
-
Dimana penggeledahan dilakukan oleh KPK? Kepala Bagian (Kabag) Pemberitaan KPK Ali Fikri menyebut penggeledahan kantor PT HK dilakukan di dua lokasi pada Senin 25 Maret 2024 kemarin. "Tim Penyidik, telah selesai melaksanakan penggeledahan di 2 lokasi yakni kantor pusat PT HK Persero dan dan PT HKR (anak usaha PT HK Persero)," kata Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (27/3).
-
Bagaimana Nurul Ghufron merasa dirugikan oleh Dewan Pengawas KPK? "Sebelum diperiksa sudah diberitakan, dan itu bukan hanya menyakiti dan menyerang nama baik saya. Nama baik keluarga saya dan orang-orang yang terikat memiliki hubungan dengan saya itu juga sakit," Ghufron menandaskan.
-
Siapa yang ditahan oleh KPK? Eks Hakim Agung Gazalba Saleh resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (30/11/2023).
-
Kapan Nurul Ghufron melaporkan Dewan Pengawas KPK? "Saya laporkan pada tanggal 6 Mei 2024 ke Bareskrim dengan laporan dua pasal, yaitu Pasal 421 KUHP adalah penyelenggara negara yang memaksa untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Kedua, pencemaran nama baik, Pasal 310 KUHP, itu yang sudah kami laporkan," ungkap Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (20/5).
"Mestinya sanksi berat untuk pelanggaran berat itu penonaktifan atau pemberhentian sementara atau tetap. Kalau cuma potong gaji pokok disebut sebagai sanksi berat, maka ini akan jadi bahan tertawaan publik yang akan menjatuhkan martabat KPK sebagai lembaga penegak hukum," ujar Arsul kepada wartawan, Selasa (31/8).
Arsul menyarankan, Dewan Pengawas KPK untuk memindahkan sanksi pemotongan gaji dari sanksi berat dalam aturan sanksi kode etik.
"Pindahkan sanksi terkait pemotongan gaji atau pendapatan itu dari sanksi berat," kata Arsul.
Arsul mengungkap, Komisi III DPR menerima aspirasi masyarakat terkait putusan kasus etik Lili. Banyak pihak meminta Komisi III mendalami dan membahas putusan tersebut dalam rapat dengan Dewan Pengawas KPK. Sejumlah pihak menilai ada kontradiksi putusan Dewan Pengawas KPK.
"Intinya sejumlah pihak menyampaikan ada kontradiksi antara cara pandang Dewas yang menilai perbuatan Lili tersebut dianggap sebagai pelanggaran berat namun sanksi yang dijatuhkan hanya memotong gaji pokok 40% padahal gaji pokok Komisioner KPK itu tidak seberapa dibanding dg total tunjangan atau take-home pay-nya," jelas Wakil Ketua MPR RI ini.
Lebih lanjut, pendapat anggota Dewas Albertina Ho juga disoroti publik karena tindakan Lili dianggap sebagai awal permulaan korupsi.
"Ini berarti kategorinya pelanggaran etik serius tetapi sanksi yang dijatuhkannya tidak serius," kata Arsul.
Kronologi Kasus Lili Pintauli
Dewan Pengawas KPK menggelar sidang kasus dugaan pelanggaran kode etik dilakukan Wakil Pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar. Dalam sidang majelis etik Dewan Pengawas KPK, terungkap Lili pernah menghubungi Wali Kota Tanjung Balai M Syahrial dan menyatakan telah membuat malu karena terlibat kasus dugaan penerimaan suap senilai Rp200 juta.
"Terungkap pada Juli 2020, setelah terjadi pertemuan dan perkenalan dengan M Syahrial selaku Wali Kota Tanjungbalai dalam perjalanan dari Kualanamu ke Jakarta, terperiksa menghubungi M Syahrial melalui telepon dan mengatakan 'Ini ada namamu di mejaku, bikin malu Rp200 juta masih kau ambil'," kata anggota majelis etik Albertina Ho di gedung Pusat Edukasi AntiKorupsi KPK Jakarta, Senin (30/8).
Atas pernyataan tersebut, M Syahrial lalu mengatakan "Itu perkara lama Bu, tolong dibantu", lalu Lili menjawab "Banyak berdoalah kau".
Syahrial pada September 2019 diketahui pernah dipanggil dan diperiksa KPK dalam tahap penyelidikan dan KPK menetapkan telah cukup bukti untuk ditingkatkan ke penyidikan.
"Terperiksa di persidangan tidak dapat menjelaskan berkas atau surat atau catatan apa yang ada di mejanya sehingga terperiksa menghubungi M Syahrial dan mengatakan 'Ini ada namamu di mejaku, bikin malu Rp200 juta masih kau ambil'," ungkap Albertina.
Dalam persidangan etik, menurut Albertina, beberapa saksi di antaranya Sylvianne Rose selaku sekretaris Lili, Heni Rosmawati selaku Kepala Sekretariat Pimpinan, Alexander Marwata dan Nawawi Pomolango selaku pimpinan KPK, Firli Bahuri selaku Ketua KPK, semua mengatakan tidak pernah ada berkas atau catatan apapun yang beredar di pimpinan KPK pada tahun 2020 yang berhubungan dengan kasus korupsi jual beli jabatan yang menyangkut M Syahrial selaku Wali Kota Tanjung Balai.
"Bahkan melalui penelusuran surat-surat yang beredar di pimpinan KPK juga tidak ditemukan," ungkap Albertina.
Terlepas Lili tidak dapat menjelaskan apa yang ada di mejanya namun sewaktu Lili menghubungi Syahrial dan mengatakan "Ini ada namamu di mejaku, bikin malu Rp200 juta masih kau ambil", majelis etik berpendapat Lili sudah mengetahui bahwa M Syahrial terlibat dalam suatu kasus atau perkara yang sedang ditangani KPK.
"Hal itu diperkuat dengan jawaban 'Itu perkara lama Bu, Tolong dibantulah," ungkap Albertina.
Pada 15 April 2021 lalu terbit surat perintah penyidikan (sprindik) yang menetapkan Syahrial sebagai tersangka penerima suap dan Yusmada selaku Sekretaris Daerah kota Tanjung Balai sebagai pemberi suap dalam kasus suap jual beli kota Tanjungbalai yaitu sprin.dik/28/DIK00/01/04/2021.
Lili juga tidak pernah memberitahukan kepada pimpinan lain mengenai hubungannya dengan M Syahrial.
"Terperiksa baru memberitahukan setelah ditanyakan oleh Firli Bahuri selaku Ketua KPK karena masalah tersebut telah viral diberitakan di media sosial," ungkap Albertina.
Menurut majelis etik, seharusnya Lili memberitahukan kepada pimpinan KPK lain segera setelah hubungan tersebut terjadi namun hal itu tidak dilakukan.
"Bahkan setelah terbitnya sprindik atas nama M Syahrial, terperiksa yang seharusnya menyampaikan ada benturan kepentingan (conflict of interest) dalam perkara tersebut karena pernah berhubungan dengan M Syarial juga tidak dilakukan oleh terperiksa," kata Albertina.
Perkenalan dengan Tersangka
Dewan Pengawas KPK menyebut Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar sempat melakukan swafoto dengan Wali Kota Tanjung Balai M Syahrial saat pertama kali berkenalan.
"Sekitar Februari-Maret 2020, terperiksa berkenalan dengan M Syahrial sebagai Wali Kota Tanjungbalai di pesawat dalam perjalanan dari Kualanamu Medan ke Jakarta, pada waktu itu Syarial sudah mengetahui terperiksa menjabat sebagai pimpinan KPK, memperkenalkan dirinya sebagai Wali Kota Tanjungbalai kemudian setelah pesawat mendarat, terperiksa dan M Syarial melakukan swafoto (foto selfi) bersama," kata Albertina Ho.
Menurut majelis etik, pada Februari-Maret 2020, Lili Pintauli bertemu dengan M Syahrial dalam pesawat Batik Air dari Medan menuju Jakarta dan Syarial terlebih dahulu menegur Lili dengan mengatakan "Ibu Lili ya?".
Lalu Lili menjawab "Kok tahu?". M. Syahrial kembali mengatakan "Iya kan saya temenan di instagram dengan Bu Ruri, jadi saya suka lihat foto-foto Bu Ruri di acara-acara keluarga, ada ibu di situ.".
Ruri yang dimaksud adalah Ruri Prihatini Lubis, saudara Lili, yang pernah menjabat sebagai Plt Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirto Kualo Kota Tanjung Balai.
Saat turun dari pesawat, Lili lalu menanyakan tentang permasalahan uang jasa pengabdian Ruri Prihantini Lubis yang belum dibayar dengan mengatakan "Oh iya masalah tuh di sana. Kok kamu nggak bayar itu duit orangnya?". Lalu dijawab M Syahrial "Iya bu maaf kami lagi kumpul duit, nanti saya beritahu dengan Bu Rurinya".
Lalu Lili menanggapi "Iya itu dia sampai bikin surat kalian gak jawab".
Syarilah lalu meminta nomor ponsel Lili "Izin Bu, saya monitor karena direktur PDAM-nya baru, kalau nanti ada 'progress', saya lapor ke Ibu dan itu minta izin no telepon ibu". Lalu Lili mendiktekan nomor ponselnya ke M Syahrial.
Setelah pulang ke Tanjung Balai, Syarial lalu memanggil Direktur PDAM Tirta Kualo Yudhi Gobel terkait pembayaran uang jasa Ruri dengan mengatakan "Mohon dibantulah Pak Dir" kemudian dijawab "Iya Pak saya lihat dulu".
Syahrial lalu menghubungi Lili via "whatsap" dan melapor bahwa ia sudah "melakukan 'follow up' untuk adek kita dan direkturnya berkenan untuk dicicil" dan dijawab Lili "terima kasih". Sekitar 15 hari kemudian Syarial kembali panggil Yudhi Gobel agar uang jasa Ruri Prihatini Lubis diselesaikan karena merasa tidak enak dengan Lili. Uang jasa pengabdian Ruri lalu dibayar dengan cara dicicil 3 kali dengan jumlah seluruhnya Rp53.334.640
Selesai uang dibayarkan, Syahrial kembali menginfokan kepada Lili lewat "whatsapp" dengan mengatakan "Bu sudah 'clear' hak adik ibu dan akan diberikan oleh direktur PDAM" dan dijawab "Terima kasih sukses selalu adinda"
"Majelis tidak sependapat dengan pembelaan terperiksa yang menyatakan permintaan bantuan ke M Syarial bukan dalam rangka pelaksanaan tugas karena dalam kode etik dan pedoman perilaku dinyatakan penggunaan pengaruh bukan hanya dalam pelaksanaan tugas tapi berlaku juga dalam rangka kepentingan pribadi," ungkap Anggota Majelis Etik Albertina Ho.
Dalam pembelaannya, Lili mengatakan secara pribadi tidak memperoleh keuntungan apa pun dari permintaan bantuan ke M Syahrial, namun majelis etik berpendapat adanya suatu keuntungan yang diperoleh Lili bukan hal yang dipersyaratkan dalam ketentuan kode etik dan pedoman perilaku melainkan cukup bahwa perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan pribadi.
"Apa yang dilakukan terperiksa adalah memperjuangkan agar uang jasa pengabdian saudaranya dibayarkan maka menurut pendapat majelis hal tersebut adalah juga masuk ke dalam pengertian kepentingan peribadi," tegas Albertina.
Dalam sidang diputuskan Lili Pintauli terbukti melakukan pelanggaran etik sehingga dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
(mdk/rnd)