Yusril Balas Mahfud Soal Mahkamah Kalkulator: Tidak Relevan Mengutip Pendapat 2014
Yusril mengakui pernyataan itu disampaikannya pada 2014 lalu atau sebelum terbentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Yusril mengakui pernyataan itu disampaikannya pada 2014 lalu atau sebelum terbentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
- VIDEO: Momen Panas Yusril Balas Mahfud, Ucapan Mahkamah Kalkulator di Sidang MK 2014
- Sindir 'Mahkamah Kalkulator', TPN Ganjar Ungkap Alasan Pilih Hak Angket Ketimbang MK Usut Kecurangan Pemilu
- Yusril: Pengusutan Dugaan Kecurangan Pemilu Diselesaikan di MK Bukan Hak Angket
- Yusril: Alat Bukti untuk Jerat Firli Tersangka Pemerasan Tak Sesuai Putusan MK dan KUHAP
Yusril Balas Mahfud Soal Mahkamah Kalkulator: Tidak Relevan Mengutip Pendapat 2014
Ketua tim hukum pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, Yusril Ihza Mahendra menanggapi cawapres nomor urut 3, Mahfud MD yang mengutip pernyataannya agar Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berfokus kepada masalah angka ketika menangani sengketa hasil Pilpres 2024 sehingga menjadi mahkamah kalkulator.
Yusril mengakui pernyataan itu disampaikannya pada 2014 lalu atau sebelum terbentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
"Pendapat itu ada benarnya, karena diucapkan pada tahun 2014 tiga tahun sebelum berlakunya UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu yang membagi kewenangan kasus-kasus yang terjadi dalam penyelengaraan pemilu," kata Yusril dalam sidang lanjutan PHPU di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (28/3).
Namun menurut Yusril, pernyataannya tersebut sudah tidak relevan lagi. Sebab, dalam peraturan Undang-Undang Pemilu sudah dijelaskan perihal sejumlah lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa Pemilu, mulai dari Gakkumdu, PTUN, Bawaslu, dan ujungnya adalah MK.
"Dengan adanya pengaturan tentang pembagian kewenangan menangani sengketa proses pemilu melalui Bawaslu, PTUN dan MA dalam sengketa administratif dan sengketa hasil okeh MK sejak tahun 2017. Maka tidaklah relevan prof Mahfud mengutip pendapat dalam tanda petik 'Maha Guru' HTN prof Yusril Ihza Mahendra yang pernah mengatakan bahwa MK seyogyanya tidak menjadi sekedar mahkamah kalkulator," ujar Yusril
Yusril mengatakan, pendapatnya mengenai mahkamah kalkulator dikarenakan norma-norma hukum yang mendasari terjadinya perubahan. Alhasil tidak menjadi relevan lagi bila hal itu kembali diungkit lagi pada pemilu terkini.
"Jadi tidak relevan mengutip pendapat 2014 untuk keadaan sekarang karena norma hukum positif telah berubah tapi kalau mau dianggap yang ideal satu ketika MK boleh mengadili sampai kepada subtansi penyelengaraan pemilu maka tentu tidak pada saat sekarang kita membahasnya tetapi mungkin dalam amandemen terhadap UUD 1945 dan amandemen terhadap UU pemilu itu sendiri," pungkas Yusril.
Di Sidang Sengketa Pilpres, Mahfud Cerita MK Beberapa Negara Ini Berani Batalkan Hasil Pemilu Curang
Cawapres Mahfud Md mengutip pernyataan Yusril Ihza Mahendra saat menjadi saksi hasil sengketa Pilpres 2014. Mahfud menjelaskan, sengketa hasil Pilpres yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) sepatutnya tidak hanya berbicara soal hasil. Hal ini karena MK bukan lah Mahkamah Kalkulator.
Mahfud menyampaikan, Yusril pada 15 Juli 2014 berkata bahwa penilaian atas proses Pemilu yang bukan hanya pada angka harus dilakukan oleh MK.
"Pandangan ini bukan pandangan lama, melainkan pandangan yang selalu baru dan terus berkembang sampai sekarang, yang melahirkan pandangan bahwa MK bukan Mahkamah Kalkulator," ungkap Mahfud saat berpidato di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (27/3).
Mahfud menjelaskan, MK sebenarnya bisa memberikan keputusan berani yaitu membatalkan hasil Pemilu seperti yang terjadi di beberapa negara.
“Di berbagai negara, pelanggaran pemilu yang diadili oleh MK juga memberikan putusan yang berani, yakni membatalkan hasil pemilu karena dinilai berlangsung curang dan melanggar prosedur. Hal itu dilakukan MK di Australia, Ukraina, Bolivia, Kenya, Malawi, dan Thailand,” jelas Mahfud.
Mahfud berharap, Indonesia berani melakukan hal yang sama pada hasil Pilpres 2024. Sebab, menurut dia, kecurangan pada Pemilu 2024 berlangsung secara terstruktur sistematis dan masif.
Oleh karenanya, TPN Ganjar-Mahfud meminta KPU untuk menggelar pemungutan suara ulang tanpa pasangan Prabowo dan Gibran. Permohonan itu disampaikan dalam petitum gugatan hasil Pilpres 2024 yang diajukan ke MK.