Yusril Bela KPU: Dasar Pencalonan Gibran Tidak Melanggar Norma Etik Hukum
Yusril menganggap Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melanggar kode etik karena memproses pencalonan Gibran sebagai cawapres dalam Pilpres 2024.
Wakil Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra menegaskan, pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 tidak melanggar norma etik hukum.
Yusril Bela KPU: Dasar Pencalonan Gibran Tidak Melanggar Norma Etik Hukum
Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara pelanggaran norma etik dengan pelanggaran norma tentang perilaku atau code of conduct.
Yusril memberikan klarifikasi terkait perdebatan hukum yang beredar di masyarakat soal norma etik yang lebih tinggi daripada norma hukum. Dia juga sempat menukil pandangan dalam hukum Islam yang mengatakan jika norma etik bertentangan dengan norma hukum, maka norma hukum bisa dikesampingkan.
Yusril menyebut, narasi seperti itu kini digaungkan sebagai upaya delegitimasi pencalonan Gibran dalam kontestasi pemilu.
Sebab, Wali Kota Solo itulah yang dinilai paling diuntungkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Putusan Usia Minimal Capres/Cawapres. Pada proses penetapan putusan ini, Ketua MK Anwar Usman, yang juga paman Gibran, dinyatakan melanggar kode etik.
"Keputusan yang diambil Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam kasus Pak Anwar Usman itu berbeda dengan norma etik dalam teori dan filsafat hukum. Peraturan (MKMK) itu dibuat dari derivasi undang-undang, sebagaimana juga peraturan kode etik hakim MK. Karena itu derivasi undang-undang, maka kedudukannya di bawah undang-undang kalau dilihat dari hierarki hukum," kata Yusril dalam keterangannya, Kamis (28/12).
"Harus kita pahami betul (apa yang dilanggar Anwar Usman) adalah code of conduct, norma tentang perilaku, bukan norma mendasar di dalam filsafat hukum. Pengambil keputusan di dewan etik mestinya sadar apa yang mereka lakukan terbatas pada code of conduct, bukan pada norma etik yang ada di teori hukum" papar mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu.
Lebih jauh, pakar hukum tata negara ini turut menegaskan, pelanggaran yang menjerat Anwar Usman sama sekali tidak memiliki unsur pidana. Dengan demikian, argumen seputar Putusan MK Nomor 90 yang tidak lagi relevan telah terbantahkan dengan sendirinya.
"Secara teori hukum, kita tahu kalau terjadi pelanggaran hukum, pasti ada pelanggaran etik. Tapi kalau terjadi pelanggaran etik dalam makna code of conduct, belum tentu ada pelanggaran hukum," jelasnya.
"Jadi kasusnya Pak Anwar Usman dengan Pak Firli di KPK itu sangat berbeda. Karena di kasus Pak Anwar tidak ada tindakan hukum apa pun, maka dewan etik harus bekerja dan memberikan sanksi etik," ujar Yusril.
Menurutnya, jangan dianggap pelanggaran yang diputuskan MKMK terhadap Anwar Usman sebagai pelanggaran etik fundamental dalam filsafat hukum. Namun, dalam konteks code of conduct dalam menjalankan jabatan tertentu di satu organisasi.
"Dan dari segi hukum, jelas putusan MK adalah final dan mengikat, sehingga tidak akan gugur karena terjadi pelanggaran etik," ujar eks Menteri Sekretaris Negara itu.
Lebih lanjut, Yusril menerangkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melanggar kode etik karena memproses pencalonan Gibran sebagai cawapres dalam Pilpres 2024.
Pernyataan itu disampaikan Yusril merespons komisioner KPU yang dilaporkan ke Dewan Kehormatan Pemilu (DKPP) atas tuduhan membiarkan Gibran mengikuti proses tahapan pencalonan dengan mengabaikan prinsip kepastian hukum.