Hindari stres akibat pekerjaan dengan lakukan detox digital!
Caranya dengan melakukan liburan dan menjauhkan diri dari segala jenis gadget yang berhubungan dengan pekerjaan.
Ada tren yang sedang berkembang yaitu detoks digital. Seperti halnya detox yang dilakukan pada tubuh untuk mengeluarkan racun, detox digital dilakukan untuk menyegarkan pikiran dengan menjauhi segala bentuk gadget dan dunia digital.
Beberapa agen perjalanan kelas atas mempromosikan tujuan liburan di mana mereka akan tidak mempunyai akses wifi ataupun telepon, dan sebuah pusat perbelanjaan kelas atas di London menyediakan Silence Room atau Kamar Diam, di mana orang diharuskan meninggalkan ponsel (juga sepatu) di depan pintu dan dilenyapkan dari kebisingan kota dan kehidupan retail.
Bagi para pekerja di Asia Pasific, liburan bebas-wifi atau perjalanan belanja akan menjadi penyiksaan. Masih jauh dari kebutuhan mengalihkan pekerjaan, justru mereka bertekad untuk tetap pada pekerjaan setiap waktu. Pada musim panas ini, 41 persen dari para pebisnis akan tetap bekerja 1-3 jam per hari selama masa liburan mereka dan 17 persen akan menghabiskan lebih dari 3 jam per hari selama liburan, hal ini diungkapkan menurut penelitian Regus. Jikalau mereka terputus dari jangkauan sinyal telepon, mereka hanya akan merasa khawatir karena pekerjaan mereka akan tertinggal, daripada menikmati kesempatan untuk bersantai.
Mengapa detox digital dibutuhkan? Panjangnya jam kerja juga bisa memberikan efek buruk pada kesehatan. Penelitian mengungkap bahwa bekerja lebih dari 11 jam sehari dapat meningkatkan resiko serangan jantung sebanyak 67 persen dibanding dengan orang yang hanya bekerja 'normal' selama 8 jam sehari. Peningkatan resiko ini diduga muncul karena orang yang bekerja lebih lama lebih rentan menderita stress, peningkatan kadar kortisol, kebiasaan makan yang buruk dan kurangnya olahraga karena waktu luang yang terbatas.
Selain melakukan detox digital, ada cara lain untuk menghindari stres akibat pekerjaan yaitu dengan bekerja melalui cara masing-masing. Menjalani kehidupan dan pekerjaan secara seimbang merupakan salah satu pendukung dalam pekerjaan yang fleksibel. Sekitar 63 persen pebisnis berpikir bahwa praktik kerja yang fleksibel - seperti memberikan pilihan tentang tempat kerja dan waktu kerja - dapat mengurangi stress. Dan 63 persen pelaku di bidang bisnis berpikir bahwa pekerjaan yang fleksibel dapat memberikan semangat dan motivasi yang lebih banyak. Jadi tidak mengherankan jika adanya tempat praktik kerja yang fleksibel mengakibatkan peningkatan produktivitas.
Untuk memaksimalkan manfaat dari pekerjaan yang fleksibel dan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan, mungkin akan diperlukan adaptasi budaya manajemen bagi beberapa usaha, sebagai berikut ini:
1. Penghargaan dan promosi harus didasarkan pada hasil, bukan kehadiran. Mungkin bagi orang-orang yang ambisius pekerjaan yang fleksibel dan kerja jarak jauh dapat membahayakan prospek karir mereka, tentu mereka tidak akan menggunakan cara ini. Mereka tentu akan merasa harus selalu dilihat oleh atasan mereka.
2. Para pekerja tidak harus terpaku pada smartphone mereka setelah jam kerja berakhir atau disaat mereka cuti. Tentu saja, keadaan darurat dapat terjadi dan orang-orang perlu dihubungi di luar jam kerja, namun hal ini seharusnya menjadi pengecualian bukan rutinitas. Istirahat bukanlah istirahat jika hanya mengganti tempat bekerja menjadi tepi kolam renang.
3. Teknologi dan inovasi harus digunakan untuk meningkatkan keseimbangan kehidupan dan pekerjaan daripada mengharuskan mengekang orang dengan meja kerja. Contohnya, Regus memperkenalkan produk seperti video conference dan Businessworld untuk mengurangi waktu yang terbuang karena keharusan untuk menjalani perjalanan bisnis dan komuter.
4. Manajer dan pemilik harus menjadi panutan tentang pekerjaan yang fleksibel dan mengambil waktu istirahat. Kita ketahui 97% pengusaha di Asia Pasifik menawarkan cuti tahunan sebagai bagian dari keuntungan bagi karyawan mereka, tapi banyak juga dari mereka yang tidak menggunakan kuota tersebut secara penuh. Godaan untuk tidak mengambil cuti tahunan menjadi semakin besar karena perusahaan mulai menawarkan pilihan untuk membeli atau menjual jatah cuti tahunan. Walaupun hanya 10% perusahaan di Asia Pasifik yang menawarkan pilihan ini, dan 10% lainnya akan segera melakukan hal ini1. Pilihan yang baik, namun juga dapat meningkatkan budaya prasangka “liburan hanya untuk para pemalas.
Dokter, peneliti dan keluarga – mereka kembali lagi pada pernyataan bahwa setiap orang membutuhkan istirahat, terutama pada era teknologi 24/7. Para manajer dan pemilik perusahaan harus melakukan semampu mereka untuk membuat hal itu menjadi kenyataan. Apakah itu melalui membiarkan orang liburan dengan damai atau dengan memotong pembuangan waktu mereka dengan membiarkan mereka bekerja lebih dekat dengan rumah mereka, tenaga kerja yang lebih bersemangat dan termotivasi adalah yang paling produktif.
Sumber: John Henderson, Direktur Regional Regus untuk Asia Pasifik