Pentingnya Peran Keluarga dalam Menurunkan Angka Stunting
Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Erna Mulati, M.Sc, CMFM menjelaskan keluarga memiliki peran dalam menurunkan angka stunting atau kekerdilan, salah satunya melalui pemanfaatan buku kesehatan ibu dan anak (KIA) sebagai medium pembelajaran.
Tingginya angka stunting di Indonesia merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Dalam upaya penurunan angka stunting ini, peran keluarga merupakan salah satu hal yang penting.
Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Erna Mulati, M.Sc, CMFM menjelaskan keluarga memiliki peran dalam menurunkan angka stunting atau kekerdilan, salah satunya melalui pemanfaatan buku kesehatan ibu dan anak (KIA) sebagai medium pembelajaran.
-
Kenapa stunting berbahaya bagi anak? Melansir dari halodoc, para orang tua jangan menyepelekan stunting pada anak. Tahukah kalian, kondisi ini mampu memberikan dampak buruk pada kesehatan tubuh anak. Mulai dari terjadi gangguan pertumbuhan, penurunan fungsi perkembangan saraf dan kognitif hingga risiko peningkatkan penyakit kronis ketika anak beranjak dewasa.
-
Kenapa stunting berpengaruh buruk untuk anak? Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan fisik anak, tetapi juga perkembangan kognitif dan kemampuan belajar mereka di masa depan. Oleh karena itu, pencegahan stunting melalui asupan makanan yang tepat menjadi sangat penting.
-
Kapan stunting bisa terlihat pada anak? Gejala stunting pada anak-anak biasanya dapat terlihat saat mereka berusia 2 tahun, namun sering kali gejala ini tidak disadari atau disalahartikan sebagai perawakan pendek yang normal.
-
Bagaimana cara mencegah stunting pada anak? Untuk mencegah stunting, penting untuk memberikan asupan gizi yang seimbang kepada anak sejak dini, menyediakan akses ke layanan kesehatan yang baik, memberikan pendidikan serta pemahaman yang benar kepada orangtua tentang pentingnya perawatan anak, serta menciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi pertumbuhan mereka.
-
Mengapa penting untuk mencegah stunting pada anak? Ketika dewasa anak stunting akan mengalami central obes Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dokter Hasto, melawat ke Aceh. Hasto berbagi strategi penanganan stunting dan intervensi yang dilakukan tepat sasaran kepada Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Aceh.
“Buku revisi sudah begitu lengkap melihat beberapa faktor risiko yang kemungkinan terjadi pada ibu hamil dan anak-anak, serta terkait dengan pencatatan termasuk untuk pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut,” kata Erna beberapa waktu lalu dilansir dari Antara.
Untuk kondisi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), ia juga mengatakan Kemenkes juga telah mengembangkan buku KIA Khusus Bayi Kecil sejak tahun lalu mengingat intervensi yang dilakukan tidak sama dengan anak-anak dengan umur cukup bulan atau anak dengan berat badan normal.
Hingga saat ini, pemerintah telah menyediakan berbagai layanan dan program kesehatan, terutama terkait dengan stunting, sesuai siklus hidup mulai dari pada usia sekolah dan remaja, calon pengantin dan pasangan usia subur, hingga pelayanan KIA.
“Kami harapkan semua kelompok sasaran mendapatkan pelayanan secara lengkap sesuai dengan program yang ada di Kemenkes dan diturunkan sampai ke tingkat puskesmas,” kata Erna.
Tidak hanya keluarga atau masyarakat, Erna berharap pemerintah daerah terutama tingkat desa juga mendukung penurunan angka stunting dengan melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pemenuhan nutrisi serta stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Erna menjelaskan bahwa program penurunan angka stunting masuk di dalam sembilan upaya prioritas pembangunan nasional Indonesia. Menurutnya, permasalahan stunting jika didiamkan akan menimbulkan banyak masalah kesehatan lainnya seperti peningkatan penyakit degeneratif di usia dewasa muda.
Hasil survei Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2021 menunjukkan prevalensi stunting (tinggi badan rendah menurut usia) di Indonesia berada di angka 24,4 persen. Sementara itu, wasting (berat badan rendah menurut tinggi badan) sebesar 7,1 persen dan underweight (berat badan rendah menurut usia) sebesar 17,0 persen.
“Wasted dan underweight menjadi fokus perhatian kita karena keduanya mempunyai kontribusi tiga kali lipat untuk menjadi stunting jika tidak dilakukan tata kelola dengan baik,” ujar Erna terkait data SSGI tersebut.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan sebanyak 23 persen anak lahir dengan kondisi sudah stunted akibat ibu hamil sejak masa remaja kurang gizi dan anemia. Sementara, setelah kelahiran stunting meningkat signifikan pada usia 6-23 bulan dari 21 persen menjadi 37 persen akibat kekurangan protein hewani pada MP-ASI yang mulai diberikan sejak usia 6 bulan.
Merujuk pada data tersebut, maka intervensi penurunan stunting perlu dilakukan sebelum dan setelah masa kelahiran. Erna mengatakan perempuan menghadapi kondisi kesehatan yang berisiko jika hamil, mulai dari tingginya kasus penyakit tidak menular hingga belum maksimalnya program keluarga berencana (KB).
Untuk mengatasi hal tersebut, Erna menjelaskan Kemenkes juga memiliki program pelayanan kesehatan masa sebelum hamil dalam mendukung penurunan angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB), serta stunting bagi calon pengantin dan pasangan usia subur, seperti konseling, informasi dan edukasi (KIE) kesehatan reproduksi hingga pelayanan KB.
Selain itu, Erna juga mengampanyekan pentingnya 1000 hari pertama kehidupan (HPK) untuk menurunkan dan mencegah masalah malnutrisi atau stunting. 1000 HPK merupakan periode emas pertumbuhan anak, dimulai sejak dalam kandungan (270 hari) hingga anak berusia dua tahun (730 hari).
(mdk/RWP)