Pria Ini Ungkap Sulitnya Jadi Guru Honorer di Pedalaman, Pernah Tak Digaji 9 Bulan
Merintis karier sebagai guru honorer di pedalaman Kalimantan, Hery Cahyadi mengungkapkan kesulitan yang harus Ia lalui, salah satunya pernah tak digaji selama 9 bulan.
Menjalani profesi guru di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Meski tergolong profesi yang mulia, masih banyak guru di Tanah Air yang hidupnya jauh dari kata layak dan sejahtera.
Seperti kisah yang dialami oleh Hery Cahyadi, seorang guru yang merintis kariernya dari guru honorer ini, mengungkapkan kesulitannya selama menjalani profesi ini.
-
Kapan Pemkab Kutai Timur menerima penghargaan Anugerah Meritokrasi? Penghargaan diserahkan oleh Kepala Komite ASN Agus Pramusinto dan diterima langsung Bupati Kutim H Ardiansyah Sulaiman di Kraton Grand Ballroom Marriott Hotel, Yogyakarta, Kamis (7/12).
-
Siapa yang mendapat apresiasi dari Pemerintah Kabupaten Kutai Timur? Pemerintah Kabupaten Kutai Timur mengapresiasi wajib pajak yang patuh dan secara rutin serta tepat waktu dalam membayarkan kewajibanya dalam menyetorkan pajak.
-
Siapa yang memberikan pujian kepada Timnas Indonesia? Presiden Republik Indonesia, Jokowi, memberikan pujian kepada Timnas Indonesia atas penampilan mereka dalam pertandingan melawan Arab Saudi
-
Siapa yang ditunjuk sebagai ketua tim pemenangan pasangan Ridwan Kamil - Suswono di Pilgub DKI Jakarta? Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus akhirnya menunjuk Bendahara Umum (Bendum) Partai NasDem, Ahmad Sahroni sebagai ketua pemenangan untuk pasangan Ridwan Kamil - Suswono di Jakarta.
-
Apa penghargaan yang diterima oleh Pemkab Kutai Timur? Penghargaan berupa Anugerah Meritokrasi ini diberikan berkat penerapan sistem merit dalam pembinaan kepegawaian di lingkup pemerintahan yang semakin baik.
-
Siapa yang dijuluki Presiden Penyair Jawa Timur? Hal ini dirasakan Aming Aminoedhin, seniman yang dijuluki Presiden Penyair Jawa Timur.
Hery mengungkapkan, menjadi guru bukanlah impiannya. Namun keterbatasan di daerahnya, membuat profesi ini lah yang bisa membuat kawasan pedalaman Kalimantan Timur (Kaltim) bisa maju dan berkembang.
Ia bertugas di Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim. Daerah ini sama sekali tak ada akses darat, hanya bisa dilalui menggunakan perahu kecil bermesin tunggal.
Pilihan pengabdian itu kemudian diambilnya, meski saat itu Ia pun tak yakin ada jaminan masa depan. Melansir dari Liputan6.com, berikut kisah Hery selengkapnya.
Gaji Pertama Rp200 Ribu
Sumber: liputan6.com ©2020 Merdeka.com
Pada tahun 1999, pemerintah membuka penerimaan guru honorer dengan status Pegawai Tidak Tetap (PTT) di sejumlah sekolah dasar di kawasan pedalaman. Hery tak buang kesempatan dan mendaftar. Ia pun diterima. Namun, tugasnya kali ini lebih jauh.
“Tugas pertama itu di Dusun Kuyung, Desa Sebemban, Kecamatan Muara Wis dan sempat setahun di sana,” kata Hery.
Menjadi guru di kawasan pedalaman dan terisolir bukanlah pekerjaan mudah. Keteguhan hati dan keyakinan kuat dalam mendidik adalah kunci bertahan mengajar. Apalagi, saat itu Ia mendapat gaji pertama hanya sebesar Rp200 ribu.
Di tempatnya pertama bertugas, jumlah guru hanya empat orang termasuk kepala sekolah. Tak heran jika satu guru bisa mengajar beberapa kelas. Belum lagi, kebiasaan guru PNS yang jarang masuk. Beban mengajar menjadi tugas Hery sebagai guru honorer.
Bagi warga pedalaman, kehadiran seorang guru adalah berkah. Sebisa mungkin mereka bikin guru yang bertugas nyaman dan betah. Istri ikut membantunya dengan menjadi buruh harian di pengepul ikan.
“Kami disediakan rumah dan kadang diberi hasil tangkapan ikan mereka,” tambah Hery.
Menyambung Hidup dengan Kerja Serabutan
Sumber: liputan6.com ©2020 Merdeka.com
Pada tahun 2000, Hery dimutasi ke Desa Muara Enggelam. Sebuah desa yang dibangun di atas aliran Sungai Enggelam yang langsung berhadapan dengan Danau Melintang.
Seluruh rumah dibangun di atas rakit. Tak ada daratan. Tidak ada akses darat.
“Meski lebih jauh dari tugas sebelumnya, namun di desa ini merupakan kampung istri. Jadi bisa lebih nyaman,” kata Hery.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Hery bekerja serabutan menjadi nelayan tangkap air tawar saat itu.
“Sempat berburu kura-kura, bahkan sempat bekerja untuk NGO asing,” sebut Hery seraya tertawa.
Gaji kecil dan bertugas di pedalaman bukanlah perkara mudah. Harga kebutuhan sehari-hari tentu jauh lebih mahal. Apalagi Hery memiliki anak yang masih kecil.
“Suatu waktu saya minta izin untuk mengajar tiga hari saja, sisanya saya gunakan untuk usaha apa saja. Alhamdulillah waktu itu kepala sekolah mengizinkan. Karena dia juga paham kondisi saya,” tambah Hery.
Pernah Tak Digaji 9 Bulan
Derita lain sebagai guru honorer adalah gaji yang tidak tepat waktu. Bahkan kadang harus menunggu berbulan-bulan baru honor itu datang.
“Pergantian nama dari PTT ke T3D (Tenaga Tidak Tetap Daerah) bikin kami makin sakit. Gajian selalu tertunda,” kata Hery.
Sebenarnya, perubahan nama pada tahun 2001 itu berkah buat guru honorer karena gaji naik menjadi Rp325 ribu. Tak lama berselang, naik lagi menjadi Rp480.480. Jumlah gaji yang gampang diingat dan bakal selalu dikenangnya.
“Meski gaji naik, namun pembayarannya tidak tentu. Lebih sering tujuh bulan sekali. Pernah sembilan bulan baru gajian,” katanya.
Mengajari Anak Pedalaman dari Nol
Pada tahun 2009, Hery akhirnya menjadi PNS. Setelah mengikuti tes sebanyak lima kali.
“Pada tahun 2009 baru saya dinyatakan 100 persen PNS. 10 tahun penantian yang tidak sebentar,” katanya.
Kesulitan lain mengajar sekolah dasar di pedalaman salah satunya adalah harus memulai dari nol. Siswa kelas 1 harus benar-benar diajar dari awal.
“Di desa kebanyakan tidak memiliki Taman Kanak-kanak. Jadinya di kelas satu kita seperti jadi guru TK,” kata Hery.
Soal belajar, orangtua benar-benar menyerahkan sepenuhnya kepada guru. Anak yang masuk sekolah, ibarat gelas yang kosong sama sekali.
“Tugas kami berat sekali. Tapi jika melihat keberhasilan anak didik, sesuatu yang tak ternilai harganya. Kebahagiaannya melebihi apapun,” kata Hery.