5 Studi dan Teori Sains Yang Diterapkan Dalam Kampanye dan Pemilu
5 Studi dan Teori Sains Yang Diterapkan Dalam Kampanye dan Pemilu
Hari ini adalah hari pemilihan umum Presiden dan calon legislatif. Ini adalah hari di mana suara Anda akan menentukan siapa saja yang akan maju menduduki kursi yang diperebutkan secara demokratis.
Namun tahukah Anda, terdapat banyak sekali studi dan juga teori terkait pemilu? Hal ini sering diterapkan untuk kampanye maupun dalam praktik pemilihan umum itu sendiri.
-
Kapan Pemilu 2019 diadakan? Pemilu terakhir yang diselenggarakan di Indonesia adalah pemilu 2019. Pemilu 2019 adalah pemilu serentak yang dilakukan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota, dan DPD.
-
Apa saja yang dipilih dalam Pemilu 2019? Pada tanggal 17 April 2019, Indonesia menyelenggarakan Pemilu Serentak yang merupakan pemilihan presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD secara bersamaan.
-
Kapan pemilu 2019 dilaksanakan? Pemilu 2019 merupakan pemilihan umum di Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019.
-
Apa yang menjadi fokus utama Pemilu 2019? Pemilu 2019 ini menjadi salah satu pemilu tersukses dalam sejarah Indonesia.Pemilu ini memiliki tingkat partisipasi pemilih yang sangat tinggi. Joko Widodo dan Ma'ruf Amin berhasil memenangkan pemilu.
-
Mengapa Pemilu 2019 di sebut Pemilu Serentak? Pemilu Serentak Pertama di Indonesia Dengan adanya pemilu serentak, diharapkan agar proses pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif.
-
Apa yang diraih Partai Gerindra di Pemilu 2019? Pada Pemilu 2019, perolehan suara Partai Gerindra kembali naik, walau tidak signifikan. Partai Gerindra meraih 12,57 persen suara dengan jumlah pemilih 17.594.839 dan berhasil meraih 78 kursi DPR RI.
Nah, berikut akan kami ulas beberapa studi elektoral dan teori sains yang menyangkut banyak hal termasuk psikologi dan bidang ilmu pengetahuan lain, yang digunakan untuk mempengaruhi masyarakat dalam memilih calon tertentu. Berikut ulasannya seperti dilansir dari Listverse.
Partisipasi Rendah Adalah Momok
Media dan juga para calon legislatif seringkali menyuruh para pemilih untuk nyoblos karena jika tidak, tingkat pertisipasi akan rendah, sehingga calon tertentu akan menang atau kalah.
Namun hal ini ternyata salah. Sebuah studi dari Stanford Business, memiliki konklusi bahwa menyebut bahwa tingkat partisipasi rendah dan menekan pemilih untuk tidak golput justru membuatnya malas. Alih-alih, menyebutkan bahwa jumlah pemilih akan tinggi justru membuat mereka yang berniat golput justru semangat nyoblos.
Taktik ini disebut akan efektif bagi para pemilih yang tidak terlalu perhatian dengan politik. Menurut para peneliti, hal ini terjadi karena sifat manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang tindakannya terpengaruh perilaku orang lain. Ini adalah "bandwagon effect" atau sederhananya adalah efek ikut-ikutan.
Framing Effect
Mungkin ini adalah praktik yang paling sering digunakan dalam dunia politik. Ini adalah pola berkomunikasi di mana seseorang menggambarkan sesuatu dalam bingkai (frame) yang ia buat sendiri.
Aplikasinya dalam dunia politik pernah dicoba dilakukan dalam sebuah penelitian yang dihelat para akademisi di Stanford. Ratusan partisipan dibagi dua kelompok, lalu diminta membaca sebuah paragraf pendek yang pada dasarnya memiliki cerita yang sama.
Paragraf tersebut menceritakan tentang sebuah kota yang diserang binatang. Perbedaannya, kelompok pertama tertulis penyerangnya adalah binatang buas, yang kedua penyerangnya adalah hama.
Jika kita pikirkan, tentu ini hanya sekedar pemilihan diksi yang berbeda, namun memiliki objek yang sama. Namun hasilnya di pembaca ternyata berbeda.
Tanggapan partisipan terhadap solusi ternyata berubah drastis tergantung bacaan mana yang ia baca. Tujuh puluh satu persen menyerukan penegakan hukum ketika membaca soal binatang buas, namun turun ke 54 persen ketika membaca soal hama.
Pembingkaian ini bisa dibilang sering digunakan untuk mendistorsi suatu fakta untuk terlihat seakan-akan lebih buruk. Contohnya, kebijakan pro-imigrasi paling sering dibingkai sebagai ancaman karena lapangan kerja bagi warga negara asli akan terancam.
Kita Takut Ketahuan Golput
Golput memang salah satu pilihan dalam demokrasi. Lepas dari beberapa orang atau komunitas yang menyuarakan absennya mereka dalam pemilu, studi ini memperlihatkan kalau kita sebenarnya malu untuk dianggap Golput.
Dalam studi yang dihelat menjelang pemilu 2012 di AS oleh tiga periset dari Harvard University, para periset mengirimi 700.000 orang calon pemilih sebuah surat.
Surat ini terbagi dua, pertama adalah surat yang mendorong mereka untuk nyoblos, dan kedua adalah surat yang sama namun ada sedikit kejutan. Terdapat tulisan "Kami akan meneleponmu pasca pemilu untuk ngobrol-ngobrol soal pengalaman nyoblosmu."
Surat dengan jenis kedua ternyata tiga kali lebih efektif ketimbang surat biasa tanpa 'kejutan'.
Hal ini disebut oleh para periset sebagai "keprihatinan terhadap reputasi diri." Ini merupakan gagasan di mana seseorang akan lebih terdorong melakukan sesuatu ketika mereka diamati. Dengan kata lain, orang-orang ini takut dicap sebagai golput.
Kata Kerja VS Kata Benda
Dalam sebuah studi yang dihelat oleh para periset dari Department of Psychology di Stanford University, disebut bahwa seseorang cenderung akan berangkat nyoblos ketika mereka melihat pemilu sebagai sesuatu yang "mulia," dan kontribusi mereka dibutuhkan.
Salah satu cara kampanye untuk membuat setiap calon pemilih merasa spesial adalah menyebut mereka dengan kata benda (noun) ketimbang kata kerja (verbs).
Dalam riset mereka, partisipan dibagi ke dalam dua kelompok. Keduanya diberi pertanyaan soal apakah mereka akan berangkat nyoblos.
Pertanyaan kelompok pertama menyebut partisipan sebagai "voter" atau "pemilih." Pertanyaannya kurang lebih: Seberapa penting bagi Anda untuk menjadi pemilih dalam pemilu mendatang?
Pertanyaan kelompok kedua tidak menyebutkan adanya kata ganti bagi para partisipan. Hanya ada satu kata kerja yang merepresentasikan memilih atau nyoblos. Pertanyaannya kurang lebih: Seberapa penting nyoblos di pemilu mendatang bagi Anda?
Terbukti, minat mendaftar menjadi calon pemilih meningkat setelah partisipan dirujuk menggunakan kata "pemilih". Hal ini disebut periset memberikan pesan implisit para mereka kalau mereka menjadi salah satu bagian dari pemilihan umum, dan hal ini adalah sesuatu yang berbudi luhur.
Negative Campaign
Kita sebagai pemilih tentu benci iklan yang berbau negative campaign. Terlebih lagi black campaign yang menyudutkan salah satu paslon dan mengandung unsur hoax.
Meski demikian, negative campaign adalah tipe kampanye yang paling sering kita lihat. Mengapa? Karena jenis kampanye ini berhasil.
Ranah psikologi menggelongkan negative campaign sebagai "bias negatif." Hal mengacu pada kecenderungan seseorang untuk secara selektif mengingat informasi negatif dan membiarkan emosi negatif tersebut mendominasi pengambilan keputusan.
Seorang profesor ilmu politik dan juga ahli psikologi plitik di Stanford University bernama Jon Krosnick, menyebut bahwa "jika Anda tidak menyukai satu dari dua kandidat, maka Anda akan sangat termotivasi untuk berpartisipasi nyoblos."
Hal ini dimanfaatkan oleh paslon, menggunakan framing yang telah kita bahas di poin awal, untuk meletakkan kompetitor di posisi yang akan dibenci oleh sebagian pemilih. Hal ini sangat lazim dan praktiknya sangat efektif.