Cerita 3 Ilmuwan yang Yakin Keberadaan Tuhan setelah Mendalami Ilmu yang Dipelajari
3 ilmuwan yang berbeda agama menyatakan semakin mantap mengimani bahwa Tuhan itu ada. Keyakinan yang mereka pegang teguh bersamaan dengan banyak ilmuwan yang justru mempertanyakan keberadaan Sang Pencipta.
Tiga ilmuwan yang berbeda agama menyatakan semakin mantap mengimani bahwa Tuhan itu ada. Keyakinan yang mereka pegang teguh bersamaan dengan banyak ilmuwan yang justru mempertanyakan keberadaan Sang Pencipta.
Sebuah survei yang dilakukan Pew Research Center for the People & the Press terhadap ilmuwan yang tergabung dalam American Association for the Advancement of Science di 2009, menyebut bahwa sejumlah ilmuwan dianggap kurang religius dibandingkan rata-rata masyarakat umum.
-
Apa yang diamati oleh para ilmuwan? Para ilmuwan berhasil menyaksikan dua pasang lubang hitam supermasif yang hampir bertabrakan. Dua fenomena alam itu terletak jutaan hingga miliaran tahun cahaya dari Bumi.
-
Apa yang ditemukan oleh para ilmuwan? Ilmuwan menemukan dua spesies dinosaurus baru, yang hidup 66 juta tahun lalu.
-
Bagaimana ilmuwan menemukan dunia prasejarah ini? Saat tinggal di desa kecil di gurun tinggi dengan populasi sekitar 35 orang, para peneliti baru menemukan laguna ini setelah melihat petunjuk pada citra satelit.
-
Apa yang ditemukan para ilmuwan di luar angkasa? Para ilmuwan telah menemukan dua bintang dengan sifat misterius. Benda langit ini memancarkan gelombang radio setiap 20 menit. Anehnya lagi ia berkedip dan mati saat berputar menuju maupun menjauh dari Bumi. Para ilmuwan berasumsi bahwa mereka mungkin mewakili objek bintang tipe baru.
Dilansir dari laman ABCNews yang ditulis pada 2018, Jumat (2/6), mereka adalah Jennifer Wiseman, Andrew Harman, dan Fahad Ali. Ketiganya memiliki latar belakang agama dan keilmuan yang berbeda-beda.
Jennifer Wiseman
Jennifer Wiseman merupakan seorang astrofisikawan kristen. Sehari-harinya ia menghabiskan waktu di depan teleskop. Mempelajari bagaimana bintang dan planet dibuat hingga dipuji-puji banyak orang.
Ia adalah orang yang menemukan sebuah komet yang diberi nama Wiseman-Skiff pada Desember 1986. Skiff merupakan nama rekannya, Brian Skiff, kala mendeteksi komet tersebut.
"Setidaknya ada 200 miliar bintang di galaksi ini. Mungkin juga ada sebanyak 400 miliar galaksi di alam semesta yang dapat diamati dengan masing-masing miliaran bintang," kata Jennifer.
Harus diakui, meski manusia yang mempelajari astronomi mampu ‘menghitung’ jumlah aneka tata surya di alam semesta dan menyampaikan kepada masyarakat, namun untuk memahaminya lebih mendalam bukan perkara mudah.
"Kami yang mempelajari astronomi dapat memberi tahu Anda angka dan semua itu, tetapi memahaminya adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Sains hanyalah alat yang luar biasa untuk kita bisa memahami alam semesta," ungkap dia.
Dan menurut dia, keyakinan agamanya memberinya jawaban atas pertanyaan filosofis yang lebih besar dalam hidup, seperti bagaimana manusia bisa menjadi signifikan dalam konteks alam semesta.
"Dalam iman Kristiani, signifikansi kita pada dasarnya diberikan sebagai anugerah cinta dari Tuhan, yang bertanggung jawab atas alam semesta. Jadi, dengan mempelajari lebih banyak tentang alam, secara tidak langsung memperkaya pemahaman Anda tentang Tuhan," katanya.
Andrew Harman
Ia adalah ahli virology dan immunology dari Universitas Sydney yang beragama Budha. Spesifik keilmuannya adalah mempelajari mekanisme penularan HIV dan imunologi penyakit Crohn. Ia salah satu orang yang terpesona dengan teori kosmologi. Buku favoritnya adalah karangan Stephen Hawking yang berjudul A Brief History of Time.
Melalui agama yang ia peluk saat ini, mampu menjawab beragam jenis pertanyaan sains di luar nalar.
"Sains adalah tentang belajar, Buddhisme adalah tentang hidup. Sains adalah tentang bagaimana mencari kebenaran dan menguji hipotesis. Saya pikir Buddhisme dan sains benar-benar selaras satu sama lain secara fundamental," ujar dia.
Dari Budha, Andrew akhirnya memahami konsep ketidakmelekatan dalam hidup. Menurutnya, pemahaman itu begitu berguna dalam membantunya saat ia melakukan penelitian. Sederhananya, membuatnya semakin terbuka dengan teori-teori atau hipotesa yang bukan dari dirinya.
Fahad Ali
Fahad adalah seorang ilmuwan genetika. Fahad dibesarkan sebagai seorang Muslim. Saat remaja, ia tergolong rajin membaca Alquran. Namun diperjalanan hidupnya ia pernah melepaskan imannya.
Justru karena ia melepaskan imannya itu, ada hal-hal yang selalu menjadi pertanyaan di benaknya yang belum bisa dijelaskan secara sains. Barulah setelah ibunya didiagnosis menderita kanker, ia merasa hampa, dan kembali ke jalan yang dianggapnya benar. Percaya kepada Tuhan dari sudut pandang Islam.
"Kita membutuhkan Tuhan karena kita membutuhkan rasa tempat dan tujuan dan rasa sesuatu di luar nalar," ungkap dia.
Dia mengatakan beberapa ‘ketegangan’ antara sains dan agama muncul karena orang-orang memahami Al Quran dan Alkitab secara harfiah. Sehingga mereka merasa bahwa keberadaan Tuhan adalah fana. Padahal, perlu untuk mengkaji lebih mendalam terkait keberadaan Tuhan dari sisi agama.
"Tuhan seharusnya tidak dibuat untuk menggantikan ketidakpastian ilmiah," ujarnya.
Menurutnya, dalam Al Quran secara umum mendorong tentang kasih sayang, kesopanan, kemurahan hati dan kecerdasan. Terkait dengan pekerjaannya sebagai ilmuwan genetika, ia mengakui kerap terlontar pertanyaan bersifat moral yang datang pada dirinya.
Terutama tentang bagaimana hukum menerapkan modifikasi genetik dalam agama. Dalam konteks secara besar Al Quran, dia meyakini bahwa modifikasi harus dilakukan untuk menyembuhkan penyakit atau meningkatkan produksi pangan.
"Sains harus melayani umat manusia," kata Fahad.