Masyarakat sering dapatkan berita tipu-tipu di media sosial
Masyarakat sering dapatkan berita tipu-tipu di media sosial. Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) melakukan survei terkait persepsi masyarakat terhadap berita hoax, penyebaran, klasifikasi berita, serta dampaknya. Survei itu dilakukan secara online dan direspon oleh 1.116 responden.
Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) melakukan survei terkait persepsi masyarakat terhadap berita hoax, penyebaran, klasifikasi berita, serta dampaknya. Survei itu dilakukan secara online dan direspon oleh 1.116 responden.
Jumlah responden itu memiliki rentang usia di bawah 15 tahun hingga 40 tahun ke atas dengan komposisi usia di bawah 15 tahun (0,40 persen), 16-19 tahun (7,70 persen), 20-24 tahun (18,40 persen), 25-40 tahun (47,80 persen), serta di atas usia 40 tahun (25,70 persen).
-
Siapa yang diharuskan bertanggung jawab atas konten hoax di media digital? Dalam peraturan itu dijelaskan bahwa apabila ada konten hoaks, yang pertama kali bertanggung jawab adalah platformnya, bukan si pembuat konten tersebut.
-
Kenapa berita hoaks ini beredar? Beredar sebuah tangkapan layar judul berita yang berisi Menteri Amerika Serikat menyebut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bodoh usai Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 diserang hacker beredar di media sosial.
-
Kata-kata lucu apa yang dibagikan di media sosial? Kata-Kata lucu yang dibagikan di medsos bisa menjadi hiburan bagi orang lain.
-
Mengapa berita hoaks tentang Pegi dibebaskan dari tahanan polisi dibagikan di media sosial? Berita tersebut dibagikan oleh akun Facebook dengan nama Novita Erna Kreator, Uda Dedi, dan Pak Tri. Ketiga akun tersebut membagikan tangkapan layar sebuah video di Youtube berjudul “Duakui Salah Tangkap!! Egi Palsu Resmi Di Lepas, Hotman Paris & Ibu Putri Turun” yang diunggah oleh akun Media Populer.
-
Bagaimana cara mengetahui kebenaran informasi yang beredar di media sosial? Jangan mudah percaya dan cek setiap informasi yang kalian dapatkan, pastikan itu berasal dari sumber terpercaya, sehingga bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
-
Bagaimana cara mengetahui bahwa berita tersebut tidak benar? Melansir dari reuters, The Economist tidak menerbitkan sampul yang menggambarkan Presiden AS Joe Biden bermain catur dengan Vladimir Putin, dengan judul yang memperingatkan tentang perang nuklir yang “tak terelakkan” antara keduanya.
"Survei itu dimulai dari tanggal 7 Februari 2017 sampai dengan 9 Februari 2017 atau dalam waktu 48 jam," ujar Ketua Bidang Kebijakan Strategis MASTEL, Teguh Prasetya saat acara konferensi pers mengenai hasil survei di Jakarta, Senin (13/2).
Dari hasil survei tersebut menyimpulkan bahwa sebanyak 91,80 persen responden mengatakan bahwa berita seputar Sosial Politik baik yang terkait dengan Pilkada atau pemerintah adalah jenis berita hoax yang sering mereka terima.
Kebanyakan berita jenis itu mereka dapatkan dari jejaring media sosial dibandingkan dengan media lainnya seperti aplikasi perpesanan, website, televise, media cetak, email dan radio. Prosentasenya sebanyak 92,40 persen.
"Dari responden, bilang kalau nomor satu masih media sosial disusul chat seperti aplikasi perpesanan. Aplikasi perpesanan kan memang personal to personal kan. Hanya saja memang yang lebih massif itu di media sosial. Tapi kan saat ini Facebook dan Twitter nantinya udah punya forum pengendali konten sendiri, sekarang aplikasi perpesanan juga sudah waktunya buat juga. Mereka sedang kembangkan," kata Teguh.
Baca juga:
Perwakilan Facebook direncanakan bertemu Menkominfo pekan depan
Menkominfo ajak netizen ramai-ramai perangi hoax
Aher soal Hari Pers Nasional: Teguhkan Peran Pers melawan hoax
Kebijakan ke AS tanpa visa bagi paspor Asia ternyata hoax
Aksi jungkir balik Kopral Bagyo peringati HPN buat lawan berita hoax
Medsos harusnya jadi alat perekat masyarakat bukan sumber permusuhan