Disangka Mata-Mata Israel, Wartawan Indonesia Ditangkap Hizbullah lalu Ditahan di Penjara Teroris di Lebanon
Jurnalis Bernama Faisal Assegaf itu ditangkap pada 24 September 2024 lalu karena disangka mata-mata Israel oleh anggota Hizbullah.
Seorang wartawan Indonesia ditangkap anggota Hizbullah di kawasan Dahiyah, selatan, saat sedang menumpangi sebuah mobil sambil merekam kondisi sekitar. Jurnalis bernama Faisal Assegaf itu ditangkap pada 24 September 2024 lalu karena disangka mata-mata Israel oleh anggota Hizbullah.
Setelah ditangkap, Faisal mengaku menjalani interogasi oleh anggota Hizbullah hingga ditahan di penjara teroris militer Lebanon. Kepada merdeka.com, Faisal mengaku kedatangannya ke Lebanon untuk tujuan meliput situasi yang bergejolak di sana antara Hizbullah vs Israel.
- Sembilan Tentara Elit Israel Tewas Setelah Perangkap Bom Hizbullah Meledak di Sebuah Gedung
- Israel Alami Kekurangan Besar Jumlah Tentara, 20.000 Prajurit Cadangan Ogah Ikut Perang
- Pemimpin Hizbullah Tewas, Menlu RI Harap Dewan Keamanan PBB Hentikan Kekejaman Israel
- Perang Hizbullah-Israel Meluas, KBRI Imbau WNI di Lebanon Tetap Waspada
"Jadi ini yang ketiga saya ke sana (Lebanon). Kan sebelumnya sudah dua kali pernah ke sana," katanya saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis (31/10/2024) lalu.
Berikut kisah lengkap penangkapannya hingga diinterogasi, ditahan di penjara teroris sampai akhirnya dibebaskan, dikutip dari albalad.co atas seizin Faisal Assegaf.
Saya baru merekam video selama 16 detik, tiba-tiba saja seorang pemuda anggota Hizbullah, berciri khas baju dan celana serba hitam, menghentikan mobil dikendarai Ahmad (setir kiri), staf lokal di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Ibu Kota Beirut, Libanon.
Yang saya rekam hanya jalanan di kawasan Dahiyah, selatan Beirut, tanpa menolehkan kamera telepon seluler saya ke kiri dan ke kanan. Anggota Hizbullah menyetop mobil milik Ahmad juga tertangkap kamera. Dia menyeberang jalan dengan mengendarai sepeda motor sebelum menyetop kami.
Kejadian menakutkan ini terjadi Selasa pekan lalu sekitar jam lima sore (pukul sembilan malam waktu Jakarta). Sebelum ke salah satu gang di Dahiyah itu, saya berziarah ke kubur para pejuang Hizbullah. Saya juga sempat membacakan surah Al-Fatihah di depan dua pusara komandan senior Hizbullah: Fuad Syukr dan Ibrahim Aqil.
Fuad, tangan kanan dari Sekretaris Jenderal Hizbullah Hasan Nasrallah, tewas oleh serangan udara Israel di Dahiyah pada 30 Juli. Kejadian ini sehari sebelum Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyah terbunuh di Ibu Kota Teheran, Iran.
Sedangkan Aqil, diyakini sebagai pengganti Fuad, juga menemui ajal di tangan Israel Jumat dua pekan lalu.
Banyak orang berziarah sore itu karena ada lagi komandan Hizbullah tewas oleh serbuan Israel. Seorang anggota Hizbullah berseragam loreng sedang membaca Al-Quran di depan makam Fuad. Yang lain berdoa di pinggir kubur.
Di sini, saya tidak dilarang memotret atau merekam suasana di pekuburan pejuang Hizbullah itu.
Kompleks pemakaman anggota Hizbullah ini hanya di seberang jalan tempat saya dicegat. Beberapa lubang lahat baru digali siap menanti penghuni baru hasil gempuran udara negara Zionis itu.
Saya tiba di Dahiyah Selasa pekan lalu memang di saat suasana menegangkan. Setelah menghabisi Aqil, Israel terus menyasar para komandan senior Hizbullah hingga mencapai puncaknya Jumat pekan lalu: Nasrallah tewas di dalam bunker markas pusat milisi Syiah terkuat di Libanon ini.
Belasan anggota Hizbullah berpakaian hitam-hitam langsung mengerubungi kami dan meminta kami segera keluar mobil. Ahmad mengiyakan tapi dia meminta saya tetap di dalam mobil.
Rasanya deg-degan banget. Jantung saya berdebar-debar. Dari tiga kali lawatan ke Libanon setelah 2007 dan 2018, kunjungan kali inilah saya mengalami pengalaman menakutkan. Pada 2007, saya menyusuri wilayah selatan Livanon, mulai Nabatiyah hingga Qana dan Sungai Litani.
Ditangkap Hizbullah dengan sangkaan mata-mata di saat perang berkecamuk dengan Israel, tentu ancamannya mati.
Seorang anggota Hizbullah berperawakan gemuk dan berkacamata kemudian meminta telepon seluler dan paspor saya. Dia sempat mengecek rekaman video 16 detik itu.
Ahmad mencoba berdebat dengan sejumlah anggota senior Hizbullah. Dia bilang saya hanya merekam jalan dan tidak yang lain.
Namun pihak Hizbullah berkukuh memotret atau merekam video di basis Hizbullah di Dahiyah tidak dibolehkan. Apalagi situasinya sedang perang dan sejumlah komandan Hizbullah sudah tewas.
Ahmad berkilah dirinya tidak tahu soal larangan itu. Aneh memang. Dia tinggal di Dahiyah tapi tidak kenal orang-orang Hizbullah di lapangan. Saya berkesimpulan dia tidak bergaul dengan lingkungan sekitar.
Dia mencoba menghubungi Rana Asaahili, orang dari kantor urusan media Hizbullah saya kenal sejak 2007. Sebelum ke Dahiyah pun, saya sudah melapor kepada Rana. Bahkan sebelum terbang dari Jakarta saya sudah mengirim foto paspor dan kartu pers saya.
Ahmad lemas. Lobi gagal. "Rana lepas tanggung jawab Pak," katanya kepada saya. "Dia membiarkan kita ditangkap Hizbullah.
Inilah kami sesalkan berdua. Saking cemasnya, saya dan Ahmad tidak sempat menghubungi orang KBRI Beirut.
Saya cuma bisa berzikir dan bersalawat tanpa hitungan karena takut memikirkan apa yang akan menimpa saya nantinya dalam tawanan Hizbullah. Saya teringat istri di rumah, putra saya baru balik ke pesantren, dan putri saya baru berumur lima tahun.
Saya tetap di dalam mobil dihampiri seorang anggota Hizbullah masih 20-an tahun. Dia menggertak saya dengan menuding, "Mata-mata Israel, Yahudi, Zionis."
Saya diam saja. Dia makin kurang ajar. Kepalan tangan kanannya ditempelkan ke dagu saya sambil berkata, "Mati kamu di penjara."
Saya mencoba tetap tenang. Kata Ali Jabir, warga Dahiyah, saya bisa mati ditembak di tempat kalau menepis tangan pemuda tidak beradab itu karena dianggap melawan.
Kami dijemput menggunakan mobil dan dibawa ke kantor Hizbullah di Dahiyah. Sepanjang jalan saya terus berzikir dan bersalawat.
Sekitar jam tujuh malam, kami tiba di kantor intelijen Hizbullah. Lalu naik ke lantai dua dan di bawa ke dalam sebuah ruangan.
Ada seorang anggota senior Hizbullah berkacamata duduk di belakang meja. Duduk pula warga Amerika Serikat berdarah Bangladesh di pojok ruangan berukuran 2x3 meter persegi itu. Nama belakangnya saya ingat ejaannya, yakni Chowdhry.
Mahasiswa jurusan jurnalistik ini ditangkap karena mendekati lokasi ledakan akibat serangan Hizbullah Selasa siang itu. Alasannya, dia orang asing dan bukan wartawan.
Lelaki Hizbullah telah beruban itu memulai proses interogasi terhadap Ahmad, bukan saya. Dia dicecar banyak pertanyaan karena membiarkan saya, warga asing merekam videio di kawasan Dahiyah meski sudah ada larangan.
Lagi-lagi Ahmad menjawab tidak tahu mengenai aturan Hizbullah dan ini baru pertama kali. Sebelum merekam video, saya menanyakan kepada Ahmad apakah bisa atau tidak. Dia bilang boleh.
Hizbullah menilai Ahmad bertanggung jawab karena membolehkan merekam video di Dahiyah. Pria Hizbullah itu menegaskan hal ini berbahaya bagi keamanan para pejuang Hizbullah, apalagi dalam situasi perang melawan Israel.
Setelah sejam, kami dan Chowdhry dijemput oleh tim dari intelijen militer Libanon. Ahmad menenangkan saya. "Sekarang kita aman karena sudah di tangan pemerintah," ujarnya dalam mobil di perjalanan bersama tim intelijen militer Libanon.
Paspor dan telepon seluler saya berpindah ke tangan mereka.
Saya pikir akan dibebaskan, ternyata saya dan Ahmad di bawa ke kantor intelijen militer Libanon. Di sana kami diminta mengisi biodata: mulai nama, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, nama orang tua, saudara kandung, dan sebagainya.
Lagi-lagi saya mengira bakal dilepas. Ternyata saya, Ahmad, dan Chowdhry di mobil lain dibawa ke penjara khusus teroris di Kementerian Pertahanan Libanon.
Setelah kurang lebih 15 menit, kami diperintahkan keluar mobil satu-satu. Saya melihat dari dalam mobil, pemuda Amerika itu diborgol kedua tangan dan ditutup kedua mata matanya saat akan memasuki penjara itu.
Perasaan saya makin nggak nyaman. Kemudian tiba giliran Ahmad. Dia pun diperlakukan serupa.
Saya menjadi orang terakhir keluar dari mobil dalam keadaan tangan diborgol dan mata ditutup. Saya khawatir akan ditahan lama.
Saban kali borgol saya ditarik agak keras, saya meminta mereka berjalan perlahan. Setiba di ruang cuci pakaian dekat kamar mandi, penutup mata dan borgol tangan dibuka.
Seorang tentara lalu meminta saya membuka baju dan celana panjang, cuma tersisa celana dalam. Sepatu juga dilepas. Semua ini kemudian dimasukkan ke dalam saru plastik transpaean berukuran besar dan dinamai sesuai nama saya.
Saya disuruh berganti seragam penjara: kaus oblong merah sudah bau dan tidak menyerap keringat plus celana pendek hitam sudah robek besar di bagian belakang. Saya lantas disodori sendal karet warna hitam.
Tangan kembali diborgol dan mata ditutup lagi. Saya kemudian ditarik menuju sebuah tempat dan disuruh berdiri bersandar di tembok. Saya tahu di dekat saya ada Ahmad dan Chowdhry.
Kami ketiga kemudian bergantian diinterogasi di tiga ruangan berbeda. Setiap sampai di sebuah ruangan, borgol dan penutup mata dibuka. Sehabis ditanyai, keduanya dipasang lagi.
Pertanyaan-pertanyaan disampaikan secara sopan. Tidak ada bentakan selama pemeriksaan.
Di sebuah ruangan interogasi, barang saya disita diperlihatkan secara rinci: tas dan dompet beserta isinya, serta telepon seluler dicabut kartu perdananya. Uang ada dalam dompet saya dihitung satu-satu. Semua itu dicatat untuk dikembalikan nantinya.
Komandan menanyai saya di ruang itu, berbadan gemuk dengan kumis tebal dan memakai kaus tanpa lengan, kaget ketika mendapati dua lembar shekel (mata uang Israel) pecahan 200 dan 50 dalam dompet saya.
Terus terang dua lembar shekel senilai 250 itu koleksi saya, saat ini setara US$ 67. Komandan itu lalu bertanya dari mana saya memperoleh shekel.
"Itu sisa pengeluaran saya selama berada di Jalur Gaza," jawab saya. Saya lantas menceritakan mata uang berlaku di Gaza adalah shekel. Saya juga meminta agar mata uang itu tidak diambil dari saya.
Barangkali, saya dan Ahmad masuk di sel sama jam 12 malam. Ruang tahanan bercat krem ini berukuran 1,8 meter x 3 meter. Tidak ada kipas angin, cuma satu lsmpu neon sebagai penerang. Plafonnya setinggi sekitar dua meter.
Pintu sel terbuat dari besi dan juga bercat krem. Hanya ada ventilasi udara seukuran telepon seluler Samsung A31 dibuat di ketinggian 165 sentimeter di pintu itu. Ventilasi lainnya lubang-lubang kecil seukuran ujung jari kelingkung saya di bagian bawah pintu sel.
Di sel itu sudah terdapat lima tahanan: empat warga Libanon dan satu perantau asal Suriah. Jadi sekarang ada tujuh penghuni ketambahan saya dan Ahmad. Ada yang ditahan karena membunuh, ada sudah mendekam di sana 50 hari dan yang lain berbulan-bulan.
Cuma tersedia empat matras sudah dipake lima penghuni lama. Ada sebuah mushaf Al-Quran sebagisn halamannya sudah lepas dari jilidan.
Untuk mengusir kebosanan, tiga dari lima penghuni lama - termasuk bapak lima anak dipanggil Abu Ali dan pemuda Suriah - membaca Al-Quran. Berbeda dengan kebiasaan di Indonesia, ketiganya membaca dalam hati.
Ahmad kelihatan kesal dan tertekan. "Saya tidak pernah dihina seperti ini, Pak," katanya kepada saya. "Saya menderita, Pak."
Meski begitu, dia masih bisa lelap tertidur di atas karpet abu-abu. Sedangkan saya tidur sekadar memejamkan seraya duduk menyandar di pintu sel karena sudah tidak muat lagi untuk merebahkan badan. Semua tahanan kecuali saya membuka kaus lantaran gerah.
Ketika ditanya tahanan lain, Ahmad bercerita kami berdua masuk penjara Kementerian Pertahanan ini setelah ditangkap Hizbullah. Sebabnya, saya merekam video di kawasan Dahiyah.
"Itu pelanggaran serius," ujar Abu Ali. Tapi dia meminta kami tetap tenang karena dia yakin kami bakal segera dibebaskan. "Lantaran kamu (Ahmad) pegawai KBRI."
Tapi Ahmad belum tenang juga karena dia sadar kami belum menghubungi KBRI sejak ditangkap Hizbullah. "Saya menyesal Pak, tidak ingat menelepon teman kantpr saat dibekuk Hizbullah," tuturnya.
Selain berzikir dengan wirid rutin sehabis salat, saya dalam penjara tiga kali membaca surah yasin buat mengusur rasa galau dan cemas.
Para penghuni penjara Kementerian Pertahanan Libanon mandi saban pagi tanpa dikasih kesempstan untuk menggosok gigi. Baju seragam tahanan juga tidak ganti.
Mereka mendapat makan tiga kali sehari berupa khubz, roti dibuat dari tepung gandum berbentuk bundar tipis. Masing-masing dapat satu lembar tapi saya hanya menyobek sedikit khubz sekadar ada isi perut. Sisanya saya berikan kepada yang lain. Sedangkan Ahmad tidak mau makan sama sekali. Dia cuma minum.
Ketika saya coba, khubz itu sudah dingin dan kering. Meski telah dikunyah, saya harus sedikit berusaha untuk menelan. Saya tidak selera makan, hanya 4-5 gigitan khubz saya sanggup.
Kemudian, untuk tujuh orang penghuni sel saya, dapat jatah dua botol air minum kemasan ukuran satu liter. Tapi saya memilih tidak minum karena takut kebelet kencing.
Tahanan hanya dapat jatah kencing dan buang air besar sekali sehari. Selain itu, tidak boleh keluar sel. Karena itu tidak heran, semalam saya dipenjara, hampir dua botol ukuran satu liter dipenuhi air kencing berwarna kuning.
Untuk pertama kali sejak akil baligh, saya salat maghrib, isya, subuh, zuhur, dan asar bercelana pendek sepaha selama dalam sel. Itu pun hanya bertayamum.
Besok paginya, saya meyakinkan Ahmad, KBRI akan datang membebaskan kami. Sekitar jam 08:30 pagi, kami berdua dibawa ke ruang kepala penjara. Prosedurnya seperti biasa: tangan diborgol dan mata ditutup.
Kepala penjara memberitahu berdasarkan hasil interogasi, sekitar enam kali selama ditahan, tidak ada hal mencurigakan dan berbahaya kami lakukan bagi keamanan Libanon. Karena itu, malamnya kami bakal bebas.
Saya lantas meminta menelepon ke Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Beirut Yosi Aprizal untuk memberitahu kami ditahan dalam penjara Kementerian Pertahanan Libanon. Tapi dua kali telepon selulernya dihubungi, tidak dijawab.
Setelah bebas, saya baru tahu Yosi tidak akan menjawab panggilan nomor tidak dikenal lantaran khawatir dari orang Israel. Ahmad kemudian menghubungi nomor KBRI dan diangkat oleh resepsionis perempuan.
Dia meminta resepsionis untuk segera menelepon Yosi, sehingga dapat cepat menjemput kami di penjara.
Saya juga akhirnya mengetahui malam kami ditahan, resepsionis KBRI bertugas menerima telepon dari Kementerian Pertahanan, memberitahu mereka sedang menahan staf KBRI dan wartawan Indonesia.
Paginya, Ali Jabir memiliki koneksi bagus ke Hizbullah dan intelijen militer Libanon meminta kepada Yosi untuk menelepon kepala intelijen Libanon. Pejabat keamanan ini berjanji segera melepaskan kami.
Saya juga tahu Ahmad ternyata kurang gaul. Meski tinggal di Dahiyah, dia tidak kenal dengan orang-orang Hizbullah di lapangan.
Rabu pagi, saya berbincang dengan Abu Ali, orang disegani di sel kami. Dia bilang anak kelimanya sedang dalam kandungan. Air matanya menitik. Dia kangen benar dengan mereka.
Ketika ada kunjungan seorang staf ICRC (Palang Merah Internasional), perempuan warga Belanda bernama Fathimah dan fasih berbahasa Arab, Abu Ali meminta kepada ICRC untuk meminta kepada pihak penjara agar tiap tahanan diberi kesempatan menelepon keluarganya.
"Walau cuma bertanya apa kabar," kata Abu Ali dengan wajah memelas.
Saya pun langsung teringat kedua anak saya ketika Abu bertanya berapa anak saya miliki. Tanpa menunggu lama, saya sesenggukan di dekat pintu sel. Saya berdoa supaya Allah segera membebaskan saya sehingga bisa bertemu lagi dengan istri dan kedua anak saya.
"Ya Allah, saya kangen. Tolong segera bebaskan saya dari sini," begitu ratapan saya dengan suara perlahan. Saya lantas teringat ucapan putri saya masih berumur lima tahun, "Aba pulang sekarang, Zahira kangen."
Puas mengadu, saya kembali menenangkan diri dengan wirid. Tidak berapa lama, seorang sipir memberitahu kami mungkin bebas dua jam lagi. Saya dan Ahmad girang. Lima penghuni sel lainnya ikut senang.
Kembali ke sel dari ruang kepala penjara, seorang sipir bilang saya dan Ahmad akan dilepas dua jam lagi. Kami terus berharap.
Namun siangnya kekhawatiran muncul. Sipir lain menakuti kami. Dia mengatakan kami ini tahanan titipan dari Hizbullah. Setelah proses interogasi rampung, kami bakal dikembalikan kepada Hizbullah.
Selepas asar, seorang sipir menjemput kami di sel. Kami akan bebas. Saya dan Ahmad mengucapkan terima kasih dan mendoakan kebaikan bagi lima penghuni lama. "Barakkallah fiikum wa aalikum (semoga Allah memberkahi kalian dan keluarga kalian).
Kali ini beda. Kami cuma ditutup matanya, tangan kami tidak diborgol.
Seperti pertama kali tiba di penjara Kementerian Pertahanan Libanon, kami dibawa ke ruang cuci pakaian dekat kamar mandi. Kami bersalin dari seragam tahanan ke pakaian milik kami.
Sehabis itu, saya dan Ahmad dibawa ke ruang interogasi masih dengan mata ditutup. Komandan bertubuh gemuk dan berkumis tebal mengembalikan tas dan dompet beserta isinya, serta telepon seluler milik saya.
"Tapi uang shekel punya kamu biar kami sita," katanya seraya tersenyum. "Yang penting kamu bebas."
Saya beserta Ahmad dan Chowdhry kemudian dibawa keluar berbaris dengan mata tertutup dan saling berpegangan belakang baju. Secara berurutan: Ahmad, saya, dan Chowdhry.
Kami lalu disuruh duduk di lantai menunggu jemputan. Ada sekitar dua jam kami menunggu namun tim dari KBRI Beirut belum datang juga.
Di sela penantian, saya mendengar masih percakapan ada yang masih mempersodlksn uang shekel milik saya. Tapi yang lain membela isu itu sudah beres, jangan dipermasalahkan lagi.
Pihak penjara lalu memutuskan kami dilepas tanpa menunggu ketibaan tim dari KBRI Beirut. Kami bertiga diantar menggunakan mobil mereka ke bawah sebelum pindah ke mobil kepunyaan Ahmad diparkir di tepi jalan sebelum kami masuk penjara.
Ahmad, saya, dan Chowdhry melanjutkan perjalanan. Chowdhry diturunkan di tengah jalan untuk naik tdksi ke hotelnya.
Dalam perjalanan, sopir KBRI Ali Jabir menelepon Ahmad menanyakan kami di mana. Ahmad bilang kami sudah di jalan menuju KBRI. Ali pun balik badan kembali ke KBRI.
Sampai di KBRI, Ali memeriksa kami berdua apakah mengalami luka seldma ditahan. Dia lalu melapor ke Yosi kami berdua baik-baik saja.
Kami beruntung bukan dipenjara oleh Hizbullah. Kalau di sana, mungkin KBRI tidak akan pernah tahu mengenai nssib kami.
Bagi saya, ditangkap Hizbullah lantas ditahan dalam penjara khusus teroris di Kementerian Pertahanan Libanon adalah pengalaman lucu, menakutkan, sekaligus keren. Belum pernah dipenjara tapi sekali mendekam jauh di negara orang, dan penjara sangat ketat.
Namun buat Ahmad sebaliknya. "Tidak ada yang lucu, Pak," ujarnya ketus kepada saya. "Saya menderita dan terhina."