Gus Baha: Hajatan itu Haram
Gus Baha mengatakan mengadakan hajatan adalah haram. Ia menjelaskan alasan di balik penilaian tersebut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hajatan merujuk pada acara seperti resepsi atau selamatan. Acara hajatan atau resepsi ini biasanya diadakan sehubungan dengan pernikahan, khitanan, dan berbagai perayaan lainnya. Hajatan telah menjadi tradisi yang umum dilakukan oleh masyarakat ketika mereka memiliki keperluan yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tersebut. Dalam konteks pelaksanaan hajatan yang sering dilakukan oleh banyak orang, KH. Ahmad Bahauddin Nursalilm atau Gus Baha memberikan pandangannya tentang hukum hajatan.
Menurut Gus Baha, hukum mengadakan hajatan adalah haram. Dia mengatakan argumentasi dan alasan yang mendasari pendapat tersebut. Dengan demikian, pandangannya memberikan perspektif baru terhadap tradisi yang telah lama berlangsung ini. Dia mengajak masyarakat untuk merenungkan kembali praktik hajatan yang sering dianggap sebagai hal yang lumrah. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tradisi perlu dievaluasi dari segi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
- Gus Baha Ungkap Rahasia Jarang Digigit Nyamuk, Buka Rahasia Kebesaran Allah di Baliknya
- Gus Baha Sebut Pendakwah Seharusnya Membangun Suasana Nyaman, Bukan Malah Menghina
- Gus Baha Ditanya Jemaah soal Gus Miftah, Jawabannya Bijak Ramai Dipuji
- Gus Baha Mengungkapkan Rahasia Masuk Surga: Tidak Sulit, Tapi Ada Syaratnya
Alasan Hajatan Haram
Gus Baha percaya bahwa mengadakan hajatan adalah sesuatu yang haram. Ia mengatakan ini adalah pandangannya sendiri dan tidak perlu diikuti oleh orang lain.
"Karena keyakinan saya punya hajat (resepsi) itu haram. Ini menurut pandangan saya pribadi. Kalau anda silahkan," ujar Gus Baha dalam tayangan YouTube Sekolah Akhirat.
Selanjutnya, Gus Baha menjelaskan alasan di balik pandangannya tersebut, yaitu karena sumbangan yang diberikan oleh orang lain untuk hajatan sering kali membuat orang merasa terbebani. Ia menilai sumbangan tersebut dapat menimbulkan rasa tidak nyaman bagi orang lain.
"Awal mula shodaqoh menggerutu itu perkara orang buwoh (memberi uang ke yang punya hajat). Kalau tidak buwoh tidak pantas, jadi jatuhnya shodaqoh dipaksa," terangnya.
"Shodaqoh itu sudah ibadah riskan rawan masalah. Kalau kamu memberinya ikhlas bagus, tapi sekalinya tidak ikhlas rawan diungkit-ungkit," imbuhnya.
Tidak Pernah Muncul dalam Acara Perayaan
Gus Baha memiliki pandangan yang berbeda mengenai tradisi sumbangan dalam acara hajatan. Dia menganggap sebagai shodakoh yang sering mengundang keluhan. Oleh karena itu, ia memilih untuk tidak menghadiri acara pernikahan, termasuk saat putra gurunya menikah.
"Makanya saya tidak pernah datang ke acara buwoh. Saat putra guru saya nikah, saya tidak datang. Memang sengaja, sudah pada tahu kalau madzhab saya gitu," jelasnya.
Dalam kesempatan lain, Gus Baha juga menceritakan pengalamannya saat menikahi istrinya, di mana ia datang sendiri ke rumah mempelai wanita tanpa rombongan atau perayaan yang meriah.
"Saya dulu pas nikah, punya anak buah banyak dan punya mobil banyak. Tapi saya nikah dari Jogja ke Pasuruan, istri saya dari Pasuruan naik bisa sendirian. Lalu sampai di sana diantar bapak lalu nikah," tambahnya.
Keyakinan Gus Baha tentang hukum hajatan membuatnya bertekad untuk tidak menggelar resepsi saat anak perempuannya menikah.
"Saya punya anak perempuan, saya bilang ke istri saya. Kalau saya masih hidup tidak akan punya hajat (resepsi)," pungkasnya. Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul