Wajib Tahu! Ini 3 Cara Buang Hajat yang Bikin Puasa Batal
Ketahui cara buang hajat yang bikin puasa batal berikut ini.
Ketahui cara buang hajat yang bikin puasa batal berikut ini.
Wajib Tahu! Ini 3 Cara Buang Hajat yang Bikin Puasa Batal
Menjalankan ibadah puasa Ramadan tentu tidak sembarangan. Ada beberapa tata cara yang mengharuskan kita menyesuaikan diri supaya tidak batal.
Salah satunya adalah perihal buang air atau buang hajat yang pasti akan dilakukan meski tengah berpuasa.
Tata cara buang hajat saat puasa bisa saja malah membuat kita batal bila dilakukan tidak dengan tepat.
Hal ini berkaitan dengan masuknya benda ke dalam bagian yang disebut jauf (rongga dalam) yang dilakukan dengan sengaja, oleh orang yang mengetahui hukumnya dan tidak terpaksa.
-
Bagaimana cara membatalkan puasa karena haid? Proses ini melibatkan penghentian niat berpuasa dan melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa, seperti makan dan minum.
-
Apa yang membatalkan puasa selain makan dan minum? Umumnya, diketahui bahwa hal-hal yang membatalkan puasa adalah makan dan minum. Padahal, masih banyak kegiatan dan hal lain yang dapat menjadi faktor pembatal puasa.
-
Kapan puasa batal karena muntah? Meski demikian, apabila muntah terjadi secara spontan atau tidak disengaja maka puasanya tidak batal selama tidak ada muntahan yang ditelan.
-
Bagaimana keluar sperma bisa batalkan puasa? Namun, ada juga ulama yang berpendapat bahwa keluarnya air mani tanpa adanya hubungan suami istri yang sah atau tidak disengaja, maka tidak membatalkan puasa. Pendapat ini didasarkan pada dalil yang menyatakan bahwa puasa hanya batal jika seseorang bersetubuh secara utuh.
-
Apa saja rukun puasa? Rukun adalah sesuatu yang harus dikerjakan, dan bila ditinggalkan salah satunya maka ibadahnya tidak sah. Adapun rukun puasa terdiri dari dua, yakni: 1. Niat 2. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
Untuk mencegahnya, kita perlu mengetahui tiga (3) hal yang tampak sepele berkaitan dengan buang hajat yang bisa saja membuat puasa kita batal.
Melansir dari laman nu.or.id, Senin (1/4) berikut ini tiga kasus yang oleh ulama dianjurkan untuk diperhatikan untuk berhati-hati dikala istinja dalam keadaan berpuasa.
1. Istinja atau Cebok Perempuan
Para perempuan yang akan melakukan istinja (cebok) dari buang air kecil harus berhati-hati.
Sebab jika tidak dilakukan dengan tepat malah akan membuat puasa batal. Hal ini disebabkan lantaran jari sampai melewati bagian vagina yang tampak saat jongkok.
Hal ini disampaikan lewat penjelasan Syekh Zainuddin Al-Malibari:
ووصول أصبع المستنجية إلى وراء ما يظهر من فرجها عند جلوسها على قدميها: مفطر
Artinya, "Dan sampainya jari wanita dikala istinja' hingga melewati bagian vagina yang tampak saat jongkok adalah membatalkan puasanya."
Lebih lanjut, Syekh Bakri Syatha mengatakan yang dimaksud dengan bagian vagina yang tampak saat jongkok adalah bagian yang tidak wajib dibasuh saat istinja'. (Bakri Syatha, I'anatut Thalibin, [Bairut, Darul Fikr: tt], juz II, halaman 258).
2. Buang Air Besar atau BAB
Meski saat berpuasa kita akan jarang memasukan makanan ke tubuh, tidak menutup kemungkinan kita akan merasa ingin buang air besar.
Dalam kasus ini sama persis dengan penjelasan sebelumnya, di mana seseorang yang cebok dari buang air besar untuk berhati-hati jangan sampai ujung jarinya masuk ke dalam dubur.
Hal tersebut dijelaskan langsung oleh Syekh Nawawi Banten,
وَيَنْبَغِي الِاحْتِرَاز حَالَة الِاسْتِنْجَاء لِأَنَّهُ مَتى أَدخل من أُصْبُعه أدنى شَيْء فِي دبره أفطر
Artinya, "Seyogiyanya untuk menjadi perhatian dikala istinja karena bilamana seseorang memasukan jarinya ke dalam batas minimumnya dubur dapat membatalkan puasanya."
Syekh Nawawi mengatakan batasan memasukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa ialah sampainya sesuatu yang masuk pada bagian yang tidak wajib dibasuh saat istinja' berbeda dengan anggota yang wajib dibasuh, maka tidak membatalkan.
Semisal seseorang memasukkan jarinya untuk membasuh lipatan-lipatan pada dubur. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nihazatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr], halaman 187-187).
3. Memotong Tinja saat Buang Air Besar (BAB)
Memotong tinja saat buang hajat besar, yakni saat tinja keluar dan belum terpisah seluruhnya kemudian dipaksa berhenti yang berakibat sebagian tinja yang semula sudah di luar masuk kembali.
Penjelasan berkaitan tentang hal tersebut dijabarkan oleh Al-Bujairimi dalam kitabnya Hasyiyatul Bujairami ’alal Khatib,
وَمِثْلُهُ غَائِطٌ خَرَجَ مِنْهُ وَلَمْ يَنْفَصِلْ ثُمَّ ضَمَّ دُبُرَهُ وَدَخَلَ شَيْءٌ مِنْهُ إلَى دَاخِلِ دُبُرِهِ حَيْثُ تَحَقَّقَ دُخُولُ شَيْءٍ مِنْهُ بَعْدَ بُرُوزِهِ؛ لِأَنَّهُ خَرَجَ مِنْ مَعِدَتِهِ مَعَ عَدَمِ حَاجَةٍ إلَى ضَمِّ دُبُرِهِ
Artinya, "Dan semisal masuknya ujung jari adalah tinja yang keluar namun belum terpisah seluruhnya, kemudia ia mengabungkan duburnya (memutus tinja yang keluar) dan ada bagian dari tinjanya yang kembali masuk duburnya sekiranya nyata-nyata masuknya sebagian tinja tersebut setelah tampak keluar. Hal ini karena tinja keluar dari lambung bersamaan tidak adanya kebutuhan untuk mengabungkan duburnya (memutus tinja yang keluar)." (Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujarirami, Hasyiyatul Bujairami ’alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: tt] ,juz II, halaman 380).
Secara sederhana, memotong tinja yang telah keluar namun belum sempurna itu dapat membatalkan puasa sebab hal tersebut sama artinya dengan masuknya sesuatu kedalam rongga dalam (jauf).
Dari penjelasan tersebut maka ada baiknya untuk menjadwalkan buang air besarnya di malam hari, cara ini dipilih untuk kehati-hatian semata.
Tentu jika hal ini tidak menimbulkan mudharat atau membahayakan sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Mu'in,
قال ولده: وقول القاضي: الاحتياط أن يتغوط بالليل: مراده أن إيقاعه فيه خير منه في النهار لئلا يصل شيء إلى جوف مسربته لا أنه يؤمر بتأخيره إلى الليل لان أحدا لا يؤمر بمضرة في بدنه
Artinya, "Putera As-Subki berkata: “Ucapan Al-Qadhi: "Untuk hati-hatinya hendaklah buang air besar di malam hari".
Maksud ucapan tersebut yaitu melakukannya di malam hari adalah lebih baik daripada di waktu siang, agar tiada sesuatupun yang masuk ke dalam jauf masrabahnya, bukan berarti diperintahkan agar menundanya hingga malam hari.
Sebab seseorang tidak diperintah untuk melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri. (Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu'in ,[Beirut, Darul Hazm], halaman 265). Wallahu a'lam bis shawab.