Jadi Buron Internasional, Netanyahu-Israel Ajukan Banding ke ICC Atas Tuduhan 'Kejahatan Perang'
Israel keberatan Netanyahu jadi buronan 'kejahatan perang' di Gaza.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan Israel mendesak Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk menangguhkan surat perintah penangkapannya dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.
Israel juga telah mengajukan banding terhadap surat perintah penangkapan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant atas tindakan mereka dalam perang di Gaza.
- Ini Tanggapan AS Setelah Mahkamah Internasional Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu
- Benjamin Netanyahu Jadi Buronan ICC, Isaac Herzog: Hari Gelap Keadilan
- Israel Langsung 'Kebakaran Jenggot', Jaksa Mahkamah Internasional Ajukan Surat Penangkapan Netanyahu
- Bukan Palestina, Negara Ini Gugat Israel ke Mahkamah Internasional Atas Tuduhan Genosida di Gaza
Keputusan itu merujuk pada pernyataan Prancis bahwa Netanyahu dapat memperoleh “kekebalan” dari surat perintah tersebut.
Melansir dari Al Jazeera Kamis (28/11), ICC memiliki alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa Netanyahu dan Gallant bertanggung jawab atas penggunaan strategi 'kelaparan' di Gaza dengan membatasi pasokan bantuan kemanusiaan ke wilayah Palestina yang terkepung.
“Israel hari ini menyampaikan pemberitahuan kepada Pengadilan Kriminal Internasional mengenai niatnya untuk mengajukan banding ke pengadilan tersebut, bersamaan dengan permintaan untuk menunda pelaksanaan surat perintah penangkapan,” tulis keterangan kantor Netanyahu.
Merujuk Pertimbangan Prancis
Langkah banding dilakukan usai Kementerian Eropa dan Luar Negeri Prancis mengatakan pihaknya yakin Netanyahu mendapat manfaat dari kekebalan karena Israel bukan anggota mahkamah tersebut.
Pernyataan itu dikeluarkan sehari setelah pengumuman gencatan senjata antara Israel dan kelompok bersenjata Hizbullah Lebanon yang ditengahi oleh AS dan Prancis, dikritik oleh kelompok hak asasi manusia.
Selain itu, banyak negara termasuk Italia, juga mempertanyakan legalitas mandat tersebut.
Prancis membutuhkan waktu hampir seminggu untuk mengambil keputusan yang jelas setelah pengadilan di Den Haag mengeluarkan surat perintah penangkapan pada 21 November.
Sebelumnya Prancis memastikan akan mematuhi undang-undang ICC pada tanggal 22 November. Menurut mereka, keputusan pengadilan tersebut hanya memformalkan sebuah tuduhan.
Berdasarkan Statuta Roma, menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat diminta untuk bertindak dengan cara yang tidak sesuai dengan kewajibannya 'sehubungan dengan kekebalan negara-negara yang bukan pihak ICC'.
Solidaritas Prancis
Pernyataan Prancis tersebut diduga menjadi cara mereka untuk terus bekerja sama dengan Netanyahu dan otoritas Israel lainnya untuk mencapai perdamaian dan keamanan bagi semua orang di Timur Tengah.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia menyatakan Perancis telah melunakkan tanggapannya untuk menjaga hubungan kerja dengan Netanyahu dan pemerintahannya.
“Ada omong kosong yang mengejutkan dari Perancis di sini. Tidak ada seorang pun yang mendapat kekebalan dari surat perintah penangkapan ICC karena mereka masih menjabat, tidak Netanyahu, tidak Putin, tidak ada siapa pun,” kata tokoh uman Rights Watch Andrew Stroehlein di X.
Kelompok hak asasi manusia Amnesty International menyayangkan posisi Perancis.
“Daripada menyimpulkan bahwa para terdakwa ICC dapat menikmati kekebalan, Prancis harus secara tegas mengkonfirmasi penerimaan mereka atas kewajiban hukum yang tegas berdasarkan Statuta Roma untuk melaksanakan surat perintah penangkapan.”
Selama ini, Prancis telah terlibat dalam upaya mengakhiri pertempuran di Timur Tengah dan, bersama Amerika Serikat, membantu menengahi gencatan senjata Israel-Hizbullah.