Kisah Jenderal Polri Tak Mempan Disuap: Lebih Baik Hidup Melarat Ketimbang Korupsi
Tercatat dalam sejarah, Polri pernah memiliki seorang pemimpin yang melegenda berkat kejujuran, ketegasan dan keberaniannya.
Kisah seorang jenderal di tubuh Polri patut diteladani. Sosok itu bernama Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Dia merupakan pemimpin yang melegenda berkat kejujuran, ketegasan dan keberaniannya.
Menjadi Kapolri memang tidak mudah. Berjibaku dengan rentetan masalah besar di Tanah Air, seakan menjadi manusia setengah dewa supaya bisa memimpin korps baju cokelat. Belum lagi tantangan dalam menegakkan hukum, melawan orang-orang dengan bekingan petinggi.
-
Kapan kelomang berganti cangkang? Kelomang memiliki kebiasaan berganti rumah dengan cara meninggalkan cangkang lama dan mencari cangkang baru yang lebih besar ketika ukurannya bertambah.
-
Kapan Klenteng Hong San Kiong dibangun? Dibangun tepat pada tahun 1700, setiap hari raya imlek Klenteng Hong San Kiong selalu dipenuhi oleh pengunjung yang ingin melihat pertunjukan yang barongsai dan wayang potehi yang diselenggarakan oleh pengelola klenteng.
-
Kapan P.K. Ojong meninggal? Sebulan kemudian, Ojong meninggal dunia pada 31 Mei 1980.
-
Kapan Kapolda Kepri mencium istrinya? Kapolda Kepulauan Riau, Irjen Yan Fitri Halimansyah tertangkap kamera sedang mencium istrinya saat melantik ratusan calon anggota Polri di Polda Kepri.
-
Kapan Kelenteng See Hien Kiong didirikan? Kelenteng See Hien Kiong ini berdiri pada 1861 dan awalnya diberi nama Kwan Im Teng sebagai penghormatan kepada Dewi Kwan Im.
-
Kapan Gege meninggal? Joe atau Juhana Sutisna dari P Project mengalami duka atas meninggalnya putra kesayangannya, Edge Thariq alias Gege, pada pertengahan Mei 2024.
Simak kisah inspiratif Jenderal Polri yang tak mempan disuap, hingga rela hidup melarat ketimbang korupsi.
Tak Mempan Disuap
Sebelum mengemban tugas menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-5, Jenderal Hoegeng memang terkenal akan kejujurannya. Saat masih berpangkat Kompol, Hoegeng mengobrak-abrik bandar judi di Medan. Hingga ia menelusuri dan berani membongkar suap menyuap pada para polisi, hingga jaksa di Medan yang terlibat antek bandar judi.
Kompol Hoegeng tak mempan disuap. Sampai ia pernah melempar keluar jendela, barang-barang mewah pemberian bandar judi. Hoegeng mengaku lebih baik hidup melarat daripada menerima suap atau korupsi.
Prinsip mengagumkan yang ia pegang teguh, seperti yang ditirunya dari Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Karir Hoegeng kian menanjak. Pada 15 Mei 1968, Presiden Soeharto melantiknya sebagai Kapolri. Hoegeng tetap tak mau menerima suap satu sen pun. Hingga sang istri, Meriyati Roeslani disuruh berhenti bekerja. Ia takut istrinya tersebut, dijadikan celah bagi orang yang ingin menyuapnya.
Hidup Sederhana
Bahkan, Hoegeng pun tak memiliki mobil pribadi meski telah menjabat Kapolri. Selama itu ia mengandalkan mobil dinas untuk memantau kondisi Jakarta. Bila sedang macet, sang Jenderal tak segan turun dari mobil dan ikut membantu mengatur lalu lintas bersama sang ajudan.
Suatu ketika Hoegeng pernah dikejutkan, mendengar seorang perwira polisi bisa membeli rumah mewah di Kemang. Serta perwira lain dengan mobil mewah dan bergaya perlente ala pengusaha.
"Memang berapa gaji polisi? Itu dapat dari mana?," ujar Hoegeng sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ia juga tak kenal kompromi dalam mengusut kasus kejahatan. Hoegeng pun tak peduli siapa beking orang itu. Berbagai masalah, harus ditindak secara adil.
Kebal Rayuan Wanita Cantik
©2013 Merdeka.com
Kapolri Jenderal Hoegeng juga sempat dirayu seorang pengusaha cantik keturunan Makassar-Tionghoa. Wanita yang terlibat kasus penyelundupan itu, meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya tak digiring ke pengadilan.
Hoegeng memang sangat gencar memerangi penyelundupan. Ia tak peduli siapa yang terlibat, semua pasti disikatnya.
Wanita ini terus saja mencari jalan damai. Hingga mengirim berbagai hadiah mewah ke alamat Hoegeng. Tentu saja hal itu ditolak mentah-mentah dan dikembalikan lagi. Tapi wanita ini tak putus asa dan terus mendekati Hoegeng.
Keheranan Hoegeng muncul, tatkala para koleganya di kepolisian dan kejaksaan memintanya untuk melepaskan wanita tersebut. Ia bingung kenapa begitu banyak pejabat yang mau menolong.
Belakangan Hoegeng mendapat kabar, wanita itu tak segan-segan tidur dengan pejabat. Demi memuluskan aksi penyelundupannya. Hoegeng pun hanya bisa mengelus dada prihatin, melihat tingkah koleganya yang terbuai uang dan rayuan wanita.
Tangani Kasus Tak Pandang Bulu
Kapolri Jenderal Hoegeng berusaha membela siapa pun dari kaum mana pun. Termasuk saat ia tak gentar untuk menegakkan kebenaran, mengenai kasus pemerkosaan seorang penjual telur bernama Sumarijem di Yogyakarta.
Meski dalam kasus itu, dikabarkan bahwa anak seorang pejabat dan seorang anak pahlawan revolusi terduga ikut menjadi pelakunya. Hoegeng menyadari, jalannya pengadilan dipenuhi rekayasa.
Sumarijem yang seharusnya menjadi korban, malah beralih jadi tersangka. Hoegeng bertekad mengusut tuntas kasus tersebut dan menindak tegas para pelaku, walau dibekingi pejabat.
"Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak," tegas Hoegeng, seperti dikutip dari buku 'Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa-' terbitan Bentang.
Tak segan-segan, ia sampai membentuk tim khusus untuk menangani. Diberinya nama 'Tim Pemeriksa Sum Kuning', Januari 1971. Kasusnya kian membesar bak bola salju menggelinding. Sejumlah pejabat dan polisi Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa.
Belakangan Presiden Soeharto akhirnya turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Pertemuan di Istana, Soeharto memerintahkan kasus itu tak lagi ditangani Hoegeng. Melainkan oleh Tim pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hoegeng sadar, ada kekuatan besar untuk membuat kasus menjadi bias.
Usai 3 tahun menjabat, tanggal 2 Oktober 1971 Hoegeng dipensiunkan dari Kapolri. Beberapa pihak menilai ia sengaja dipensiunkan guna menutup kasus ini.
Berani Bongkar Korupsi di Polri
Walau sudah tidak menjabat sebagai Kapolri, Jenderal Hoegeng masih memberi perhatian khusus kepada kepolisian. Tahun 1977, Hoegeng menerima kabar, bahwa seorang perwira menengah polisi berdinas sebagai provos. Terlibat dugaan tindakan korupsi sejumlah perwira tinggi polisi di bagian jawatan keuangan.
buku hoegeng/sinar harapan
Hoegeng lantas menulis memo pribadi kepada Kapolri kala itu, Jenderal Widodo Budidarmo. Isinya, Hoegeng mengkritik tegas perilaku polisi bergaya hidup mewah.
"Wid, sekarang ini kok polisi sudah kaya-kaya, sampai-sampai sudah ada yang punya rumah mewah di Kemang. Dari mana duitnya itu?," tanya Hoegeng kepada Widodo dalam memo seperti dikutip dalam buku 'Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa,' Karya Aris Santoso bersama rekan. Terbitan PT Bentang Pustaka.
Lantaran tak menerima respon baik dari Kapolri, Hoegeng lantas membocorkan dugaan korupsi itu kepada beberapa media. Tak berselang lama, meledaklah kasus dugaan korupsi mencapai Rp6 miliar di surat kabar nasional.
Usai diusut, sejumlah petinggi polisi terlibat korupsi, termasuk Deputi Kapolri Letjen Polisi Siswadji, dan tiga perwira polisi lainnya. Mereka lantas divonis bersalah dan dipenjara.
"Sebagai mantan Kapolri, saya benar-benar prihatin dan malu mendengar adanya kasus manipulasi di Mabak itu," ujar Hoegeng.