Rokok Ilegal Merajalela, ini Dampaknya Pemerintah Diminta Bertindak
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indodata, peredaran rokok ilegal di Indonesia mencapai 46,95 persen pada tahun 2024.
Peredaran rokok ilegal di Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indodata, peredaran rokok ilegal di Indonesia mencapai 46,95 persen pada tahun 2024.
Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Direktur Eksekutif Indodata, Danis T.S Wahidin, mengungkapkan peredaran rokok ilegal tahun ini mengalami lonjakan signifikan. Ia menyebutkan tiga faktor utama yang memengaruhi keputusan konsumen untuk mengonsumsi rokok ilegal, yaitu persepsi produk, harga, dan aksesibilitas.
- Hasil Kajian: Kenaikan Tarif Cukai Tingkatkan Peredaran Rokok Ilegal, Penerimaan Negara Berkurang Rp5,7 Triliun
- Dua Bangunan Pabrik Rokok Ilegal Terbongkar di Jepara
- Bea Cukai Makin Gencar Berantas Rokok Ilegal, Giliran Jombang Jadi Target
- Mobil Pembawa 500 Ribu Batang Rokok Ilegal Digerebek di Salatiga
"Perkembangan perokok ilegal tahun ini mencapai 46,95 persen. Padahal, pada 2021 jumlahnya 28,12 persen, dan naik sedikit pada 2022 dengan 30,96 persen. Tahun ini, jumlahnya meningkat jauh," katanya.
Peningkatan peredaran rokok ilegal ini memberi dampak buruk bagi industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia. IHT yang melibatkan sekitar 6 juta pekerja sebagai mata pencaharian utamanya, sangat dirugikan oleh maraknya peredaran rokok ilegal.
Oleh karena itu, keterlibatan pihak terkait dalam perumusan kebijakan dinilai penting agar dapat memperoleh perspektif seluas mungkin sebagai dasar pengambilan keputusan yang efektif.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachjudi, menegaskan masalah ini harus segera ditangani. Ia mengatakan rokok ilegal dapat mengakibatkan penurunan penjualan rokok legal, yang pada gilirannya akan berdampak pada produksi dan seluruh tenaga kerja serta petani yang terlibat. Oleh karena itu, dia meminta IHT dilindungi dari serangan rokok ilegal yang dapat mematikan industri.
"Jelas sekali maraknya rokok ilegal ini merugikan semua pihak. Produksi, peredaran, dan penjualan rokok ilegal harus dipandang sebagai sebuah kejahatan yang luar biasa atau extraordinarycrime, sehingga pemberantasannya tidak bisa dilakukan secara biasa. Pemerintah sudah bekerja, tapi menurut saya belum optimal. Sepanjang pengetahuan saya, belum ada pelaku Utama yang ditangkap," katanya.
Selain itu, beberapa kebijakan pemerintah saat ini dinilai semakin menyulitkan industri rokok. Salah satunya adalah pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (PP Kesehatan) yang mengatur pelarangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Kebijakan ini, menurut Benny, disusun tanpa melibatkan pihak yang terdampak langsung. Selain itu, perumusan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik (RPMK Tembakau), yang mengatur penyeragaman kemasan rokok, berpotensi membuat rokok ilegal semakin sulit dibedakan dari produk legal.
"Pemerintah perlu melakukan pemberantasan rokok ilegal secara terkoordinasi. Pemerintah jangan membuat kebijakan yang justru mendorong berkembangnya rokok ilegal seperti kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi, terlalu jauh dari kemampuan daya beli masyarakat. Kebijakan yang mengarah pada penyeragaman kemasan baik warna maupun tulisan dan kebijakan yang terlalu restriktif pada penjualan dan iklan rokok. Kombinasi itu semua akan sangat menguntungkan rokok ilegal," katanya.