Banyak Orang Tak Tahu, Begini Kisah Pahit di Balik Berdirinya Taksi Blue Bird
Pendiri taksi Blue Bird adalah seorang perempuan asal Malang, Jawa Timur, bernama Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono. Dia lahir pada 17 Oktober 1921.
Aksi CEO Blue Bird, Sigit Djokosoetono yang menyamar sebagai sopir taksi menuai apresiasi dari masyarakat. Sebagai pucuk pengelola bisnis, cara Sigit dinilai dapat berpengaruh terhadap manajemen dan strategi perusahaan.
Sebagai pimpinan perusahaan taksi terbesar di Indonesia ini, bukan perkara mudah bagi Blue Bird untuk bertahan dan berekspansi di tengah digitalisasi transportasi umum.
-
Siapa yang menginspirasi dengan kisahnya? Perempuan 22 tahun itu baru saja mengikuti program Singapore-Indonesia Youth Leaders Exhange Program (SIYLEP). Dia didapuk menjadi Duta Pemuda Indonesia 2023 dan mewakili Provinsi Banten di Program Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN) yang diselenggarakan oleh Kemenpora RI. Kisahnya turut menginspirasi. Banten provinsi wisata dan budaya Disampaikan Sheila, dirinya bersama 34 perwakilan dari berbagai daerah di Indonesia lainnya bertandang ke Singapura selama lima hari.SIEYLAP sendiri mengusung tema pariwisata yang dikenalkan secara maksimal oleh dirinya. "Sekaligus memperkenalkan tentang Banten dan mengenalkan potensi wisata Banten kepada delegasi Singapura.
-
Apa yang membuat kisah ini menjadi inspiratif? Kisah anak sopir berhasil lolos seleksi anggota Polri ini sontak mencuri perhatian publik.
-
Apa pesan utama yang ingin disampaikan oleh kata-kata inspiratif pengusaha muda? "Alasanku menjadi pebisnis karena mau membuka banyak lapangan kerja dan banyak bermanfaat buat orang lain."
-
Apa itu inspirasi? Inspirasi adalah tindakan atau kekuatan untuk melatih pengaruh yang mengangkat atau menstimulasi kecerdasan atau emosi.
-
Kapan kata-kata inspiratif menjadi tren? Kumpulan kata-kata hari ini penuh inspirasi dan makna mendalam.
-
Kapan seseorang membutuhkan dorongan dan semangat dari kata-kata inspiratif? Dalam kehidupan yang sering kali penuh dengan tekanan dan ketidakpastian, kata-kata inspiratif dapat menjadi sumber motivasi yang diperlukan untuk menjaga semangat tinggi dan melihat peluang dalam setiap kesulitan.
Namun, jika menilik sejarah, cukup wajar jika Blue Bird tetap bertahan hingga saat ini. Sebagaimana diketahui, pendiri taksi Blue Bird adalah seorang perempuan asal Malang, Jawa Timur, bernama Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono. Dia lahir pada 17 Oktober 1921.
Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono terlahir dari keluarga kaya. Namun, saat dia usia 5 tahun keluarganya bangkrut. Kehidupan Bu Djoko, demikian sapaan yang populer, berubah drastis. Sejak saat itu, dia menjalani hidup secara sederhana akibat kemiskinan yahg menerpa keluarganya.
Di usia remaja, Bu Djoko bertekad memperkaya diri dengan ilmu. Dia gemar membaca kisah-kisah inspiratif yang diperoleh dengan meminjam buku. Salah satu kisah legendaris yang selalu menghiburnya adalah 'Kisah Burung Biru' atau 'The Bird Happiness'. Kisah itu kemudian menjadi gagasan Bu Djoko memberi nama perusahaan taksinya.
Bu Djoko pernah mengenyam pendidikan di sekolah Guru Belanda atau Europese Kweekschool. Setelah lulus, dia merantau ke Jakarta, dan berhasil masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan menumpang di rumah pamannya di Menteng, Jakarta Pusat.
Selama tinggal di Menteng, dia bertemu dengan Djokosoetono, dosen yang mengajarnya, sekaligus pendiri serta Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Laki-laki itulah yang menikahinya selagi Bu Djoko masih kuliah.
Setelah menikah, keduanya dikaruniai 3 anak yaitu Chandra Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo Prawiro.
Sebagai informasi, CEO Blue Bird saat ini, Sigit Djokosoetono merupakan anak dari Chandra Suharto.
Sempat Berjualan Telur di Depan Rumah
Selanjutnya, di sekitar tahun 1952 Bu Djoko lulus dari FHUI dan langsung bekerja sebagai dosen di FHUI dan PTIK. Bu Djoko dan Pak Djoko kemudian menempati rumah dinas atas pekerjaan suaminya di jalan HOS Cokroaminoto Nomor 107, Menteng.
Tinggal di kawasan elit tidak membuat keluarga Djokosoetono terbuai kenyamanan. Untuk menambah penghasilan keluarga, Bu Djoko berjualan batik yang dia tawarkan dari pintu ke pintu. Penjualan batik sempat ramai, namun usia bisnis tersebut tidak lama.
Bu Djoko kemudian banting setir dengan berjualan telur di depan rumahnya. Realita berjualan telur menjadi pilihan bisnis yang brilian masa itu. Sebab telur masih dianggap bahan makanan ekslusif yang hanya dikonsumsi orang-orang menengah ke atas.
Bu Djoko mencari pemasok telur terbaik di Kebumen, Jawa Tengah. Perlahan-lahan usaha telur Bu Djoko dan keluarga terus meningkat. Di satu sisi, kelancaran usaha berjualan telur dibalut kesedihan saat Pak Djoko mengalami sakit. Meski pemerintah memberikan bantuan penuh untuk biaya perawatan Pak Djoko, namun nasib berkata lain. Pada 6 September 1965, suami Bu Djoko meninggal dunia.
Keluarga Pak Djoko kemudian mendapatkan dua mobil bekas, sedan Opel dan Mercedes, yang diterima dari PTIK dan PTHM. Di sinilah embrio lahirnya taksi Blue Bird.
Pada suatu malam, Bu Djoko mulai merancang gagasan bagi operasional taksi yang dimulai dengan dua buah sedan pemberian yang dimiliki. Dia merenung taksinya menjadi angkutan yang disukai masyarakat.
Dia kemudian menyusun konsep untuk menjalankan usaha taksinya dengan bagaimana mencari pengemudi, aturan kerja, yang dapat memberikan kenyamanan antara sopir, penumpang dan perusahaan.
Setelah menyusun rencana besar, dia menggarisbawahi bahwa sopir Blue Bird akan dididik dengan baik, dibina, dirangkul untuk sama-sama berkembang. Setelah puas menuangkan tentang hal-hal yang dia kerjakan, Bu Djoko tertidur dengan perasaan bahagia.
Dibantu ketiga anak dan menantu, Bu Djoko memulai usaha taksinya. Taksi tersebut menggunakan penentuan tarif sistem meter yang kala itu belum ada di Jakarta. Untuk order taksi, dia menggunakan nomor telepon rumahnya.
Karena Chandra ditugaskan menerima telepon dari pelanggan maka orang-orang menamakan taksi itu sebagai Taksi Chandra. Taksi Chandra yang hanya dua sedan itu kemudian melesat popular di lingkungan Menteng karena pelayanan yang luar biasa. Pesanan taksi muncul tanpa henti. Dari hasil keuntungan saat itu, Bu Djoko bisa membeli mobil lagi.
Kombinasi antara Bu Djoko yang berdisiplin tinggi dan penuh passion dalam menjalankan usahanya berpadu harmonis dengan pembawaan Chandra yang cermat dan tenang. Semua masalah dalam menjalani usaha taksi dibawa dalam rapat keluarga untuk dicari solusinya.
Permintaan akan Taksi Chandra terus mengalir. Usaha yang semula ditujukan untuk menjaga kestabilan ekonomi keluarga, kemudian berkembang menjadi bisnis yang amat serius. Beberapa mobil yang telah dimiliki dirasa kurang mencukupi. Titik layanan kian melebar, tak hanya di daerah Menteng, Tebet, Kebayoran Baru dan wilayah-wilayah di Jakarta Pusat, tapi juga sampai ke Jakarta Timur, Barat dan Utara.
Tambah Jumlah Mobil Taksi
Sekitar tahun 1970, Bu Djoko mengukuhkan dirinya sebagai pebisnis ulung setelah membuktikan bahwa mereka mampu membesarkan armada dan mendulang keuntungan yang signifikan. Mereka bisa menambah jumlah mobil sendiri lebih dari 60 buah.
Akhir tahun 1970-an, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, akan memberlakukan izin resmi bagi operasional taksi, seiring meningkatnya kebutuhan taksi. Peluang ini direspons Bu Djoko. Memasuki tahun 1971, dia pergi ke Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) untuk mendapatkan surat izin operasional.
Bu Djoko kemudian meminjam uang ke bank untuk modal membesarkan bisnis taksi. Dari hasil pinjaman itu, Bu Djoko membeli 100 mobil.
Di tahun itu pula Bu Djoko dan anak-anaknya bersiap mencari nama dan logo taksi. Taksi Chandra tetap dijalankan sebagai taksi per jam atau hourly. Sementara taksi baru di bawah PT Sewindu Taxi segera disiapkan namanya. Ide lagi-lagi datang dari Bu Djoko, hingga diberi nama taksi Blue Bird.
Dengan logo sederhana berupa siluet burung berwarna biru tua yang sedang melesat, hasil karya pematung Hartono. Logo itu seperti pencapaian yang membuktikan bahwa dia mampu menghidupkan cita-cita yang diteladankan kisah The Bird of Happiness.
Jumlah taksi sebelum krisis moneter mencapai hampir 5.000 mobil. Jumlah pool terus bertambah. Blue Bird pun berkembang di sejumlah Provinsi. Generasi 90-an akhirnya ikut merasakan bagaimana kokohnya Blue Bird. Di saat bersamaan persaingan bisnis mulai dirasakan Blue Bird dari kompetitor.
Tak ingin larut terhadap kompetitor, Bu Djoko justru melakukan inovasi terhadap Blue Bird dengan meluncurkan Silver Bird, Executive Taxi pada tahun 1993.
Kehadiran para cucu, meningkatnya pengalaman Chandra dan Purnomo, dan semangkin tingginya jam terbang karyawan membuat perusahaan ini terbaik di bidangnya.
(mdk/idr)