Banyak Tantangan Industri Tembakau, Ribuan Petani Khawatir Kehilangan Mata Pencarian
Kini, industri tembakau tengah menghadapi berbagai tantangan, termasuk terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024.
Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PD FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus berusaha memperjuangkan nasib dan melindungi mata pencaharian para anggotanya yang bekerjadi industri tembakau.
Advokasi terhadap Industri Hasil Tembakau menjadi agenda prioritas demi menjaga keberlangsungan hidup para pekerja yang mayoritas bekerja di sektor pabrik rokok, terlebih di tengah tingginya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi secara nasional.
- Buruh Ancam Unjuk Rasa dengan Massa Lebih Banyak, Ternyata Ini Tuntutannya
- Lindungi Tenaga Kerja, Industri Tembakau Butuh Kepastian Cukai Jangka Panjang
- Tak Hanya Industri, Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Buat Pedagang Asongan hingga Petani Rugi
- Petani Minta Pemerintah Kaji Ulang Aturan soal Tembakau, Ajak Industri Hulu Hingga Hilir
Ketua Pimpinan Daerah FSP RTMM-SPSI DIY, Waljid Budi Lestarianto, menyatakan bekerja di industri tembakau adalah kebanggaan bagi anggota FSP RTMM-SPSI DIY, yang mencapai sekitar 5.250 orang, karena merupakan sumber penghasilan yang halal dan legal.
“Mayoritas anggota kami yang bekerja di sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT) adalah perempuan-perempuan hebat yang menjadi tulang punggung keluarga. Saat ini, tidak ada lapangan kerja lain yang mampu menyerap ribuan tenaga kerja dengan pendidikan terbatas selain industri tembakau,” terangnya dikutip dari laman Liputan6.com.
Kini, industri tembakau tengah menghadapi berbagai tantangan, termasuk terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP Kesehatan) yang mencakup aturan-aturan yang berdampak buruk bagi sektor industri tembakau.
Di dalamnya, terdapat larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan pelarangan iklan media luar ruang dalam radius 500 meter.
"Kami prihatin dan sangat kecewa atas aturan-aturan yang didorong oleh Kementerian Kesehatan. Kami dengan tegas menolak pasal bermasalah pada PP Kesehatan dan aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Permenkes. Aturan ini akan mengancam sumber mata pencaharian kami, padahal gelombang PHK sedang marak terjadi di mana-mana," khawatirnya.
Keprihatinan tersebut dikuatkan dengan fakta bahwa saat ini, industri tembakau tengah berupaya pulih dan menunggu realisasi kebijakan cukai yang dikabarkan tidak naik. PD FSP RTMM-SPSI DIY memandang bahwa keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok pada 2025 merupakan langkah yang tepat mengingat industri ini tengah diterpa berbagai tekanan akibat peraturan yang semakin ketat.
Namun, keputusan tidak naiknya cukai pada 2025 diharapkan tidak menjadi justifikasi pemerintah untuk menaikkan cukai secara drastis pada tahun 2026.
"Kami sangat berharap para calon pemimpin daerah sentra produksi industri tembakau memiliki pemahaman terkait keberadaan kami dan memberikan perlindungan kepada keberlangsungan sektor ini dari aturan-aturan eksesif, seperti kemasan rokok polos tanpa merek dan kenaikan cukai tinggi. Saat nanti terpilih jangan sampai lupa dengan poin-poin yang telah kami sampaikan. Jangan malah mendukung adanya aturan-aturan Rancangan Permenkes yang justru menjadi beban pemerintahan baru," jelas Waljid.
Regulasi Disoroti
Calon Bupati Kulon Progo, Novida Kartika Hadi, mengatakan dirinya memahami betapa pentingnya industri tembakau bagi perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat, khususnya melalui penyerapan tenaga kerja di Kulon Progo. Oleh karena itu, dia berjanji untuk terus mendukung dan mengembangkan sektor ini melalui berbagai kebijakan yang proaktif dan berkelanjutan.
Salah satu regulasi yang disoroti dan dinilai memberatkan dan menuai berbagai penolakan saat ini yakni Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok (PerdaKTR). Ia mendorong adanya peninjauan ulang regulasi tersebut jika banyak masyarakat yang merasa tidak patutuntuk diimplementasi di Kulon Progo.
"Kalau memang banyak masyarakat Kulon Progo yang menolak aturan ini, kita bisa melakukan public hearing. Lalu meninjau ulang dan semisal dapat direvisi beberapa pasal tertentu yang memberatkan, seperti pembatasan sponsor rokok dan pembatasan lainnya. Semua harus dilihat secara objektif," imbuhnya.
Tidak hanya itu, Novida turut menyoroti kebijakan zonasi larangan penjualan dan larangan iklan produk tembakau pada PP 28/2024 serta standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Permenkes. Bagi dia, aturan semacam ini kurang adil dan ironis jika diberlakukan, terutama pada wilayah Kulon Progo yang merupakan salah satu sentra produk tembakau nasional.
Pemerintah Klaim Sudah Libatkan Banyak Pihak
Sebelumnya, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin akhirnya angkat suara dan memberi penjelasan terkait kritik yang meluas terhadap rencana pemerintah mengenai regulasi rokok dalam negeri.
Dalam rencana tersebut, terdapat tiga kebijakan utama yang diusulkan, yaitu penerapan rokok kemasan rokok tanpa merek, larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari fasilitas pendidikan, dan pembatasan iklan rokok.
Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dan telah memicu perdebatan publik yang cukup hangat.
Budi menjelaskan, pihaknya telah berupaya melibatkan berbagai pihak, termasuk Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dalam proses pembahasan ketentuan ini.
"Kita sebenarnya melibatkan Apindo untuk diskusi ini, dan sekarang sedang dalam proses finalisasi dengan mereka. Memang kita dengarkan kok, dan lagi proses," kata Budi kepada media, Jakarta, Selasa (8/10).