Benarkah Indonesia diambang krisis seperti 98?
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sampai sewot menanggapi masalah ini.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menembus level Rp 14.000 per USD mengingatkan masyarakat terhadap keadaan ekonomi pada tahun 1998. Ketakutan mulai dirasakan, bahwa zaman krisis moneter bakal terulang di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Wacana merujuk ke arah krisis bakal kembali melanda Tanah Air makin kencang. Para pakar maupun pengamat banyak yang berpikir pesimis atas kondisi ini, sekaligus mengkritik tiap kebijakan pemerintah.
-
Apa yang menjadi catatan BPS tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2023? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 5,17 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal II-2023.
-
Bagaimana kondisi ekonomi Indonesia di era Soekarno? Dalam buku berjudul 'Jakarta 1950-1970', seorang dokter bernama Firman Lubis mengutarakan kondisi ekonomi Indonesia saat itu amat kacau. "Inflasi melangit dan menyebabkan nilai rupiah merosot tajam dalam waktu yang relatif singkat. Sebagai gambaran, ongkos naik bus umum yang pada tahun 1962 masih Rp1 berubah menjadi Rp1000 pada tahun 65,"
-
Apa yang diukur oleh Indeks Bisnis UMKM? Indeks Bisnis UMKM merupakan indikator yang mengukur aktivitas UMKM di Indonesia yang dilakukan setiap kuartal oleh BRI Research Institute.
-
Bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2023 dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya? Jika dibandingkan dengan kuartal II-2022, ekonomi RI mengalami perlambatan. Sebab tahun lalu di periode yang sama, ekonomi mampu tumbuh 5,46 persen (yoy).
-
Apa yang menjadi masalah lingkungan paling mendesak di Indonesia? Sampah plastik menjadi salah satu masalah lingkungan yang paling mendesak di Indonesia.
-
Mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2023 meningkat dibandingkan dengan kuartal I-2023? “Pertumbuhan ekonomi kita secara kuartal (q-to-q) lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang ini sejalan dengan pola yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, yaitu pertumbuhan triwulan II selalu lebih tinggi dibandingkan di triwulan I,” terang Edy.
Di sisi lain, pemerintah justru gencar mengeluarkan argumen 'penenang' yang menegaskan meski dolar menguat, namun ekonomi Indonesia tetap sehat. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sampai sewot menanggapi masalah ini.
Menurut dia, banyak yang tidak mengetahui secara detail kondisi perekonomian dunia serta dampaknya terhadap perekonomian nasional. Baik di pasar modal dan pasar uang.
"Itu sebabnya kemarin juga misalnya IHSG kita drop ke lima koma sekian persen tapi sore-sore membaik sedikit tiga koma persen. Kenapa? Ya itu dia. Orang tidak tahu. Kalau tidak tahu, pasang dulu nanti baru nanya ke sana ke mari," ujar Menko Darmin.
Berbeda dengan Darmin, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru merasa perlu ada sikap tegas dari pemerintah menghadapi carut marut ekonomi saat ini. SBY, sapaan akrabnya, melihat keadaan ekonomi sudah memasuki tahap waspada.
Jadi, apakah keadaan ekonomi Indonesia bakal mengulang kondisi kelam krisi seperti 1998? Berikut pandangan para pakar hingga bekas pejabat atas keadaan ekonomi saat ini:
Sudah lampu kuning
Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui memang tidak hanya Indonesia yang kondisi ekonominya terus menurun. Menurut dia, ekonomi di negara-negara di Asia juga mencapai titik level waspada.
"Negara-negara Asia harus sungguh menyadari bahwa perkembangan ekonomi sudah lampu kuning. Cegah jangan sampai merah," kata SBY dalam akun Twitternya @SBYudhoyono dikutip merdeka.com, Selasa (25/8).
SBY menyatakan, kejatuhan nilai tukar mata uang, saham gabungan dan harga minya sudah melebihi kewajaran. Makro dan mikro ekonomi, sektor keuangan dan riil telah terpukul.
"Ekonomi Asia sedang susah, cegah isu lain yang serius. Saya berharap siaga perang dan ketegangan antara Korut dan Korsel segera berakhir," tulis Ketua Umum Partai Demokrat ini.
Khusus untuk Indonesia, SBY melihat masyarakat sudah terdampak akibat kondisi ekonomi yang sedang loyo saat ini. Dia berharap pemerintah punya solusi agar rakyat miskin tidak semakin susah.
"Saya amati, untuk Indonesia, masyarakat mulai terdampak. Cegah jangan sampai makin cemas, kehilangan trust dan hidupnya makin susah. Menurut saya, manajemen krisis harus diberlakukan. Jangan underestimate dan jangan terlambat. Apalagi pasar dan pelaku ekonomi mulai cemas," lanjut SBY.
Akui saja Indonesia krisis
Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah mengakui, ekonomi Indonesia saat ini memasuki krisis. Ini menyusul rontoknya nilai tukar rupiah dan bursa saham.
"Saya ingin mengatakan pada teman-teman sekalian, pemerintah siapapun anda, inilah saatnya menunjukkan bahwa kita dalam krisis. Akui itu. Tetap dilakukan langkah terukur jangan kemudian membuat kita pada wilayah keguncangan informasi," kata Anggota Badan Anggaran DPR-RI Akbar Faisal saat rapat kerja dengan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Bappenas, dan Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Selasa (25/8).
Menurutnya, masyarakat saat ini bingung dengan situasi perekonomian Indonesia.
"Pada posisi mana sebenarnya kita harus berdiri? Ada bagian di mana optimistisme terbangun tapi pada realitas yang lain sebenarnya kita sungguh-sungguh dalam masalah," kata mantan anggota tim transisi Jokowi-JK tersebut.
Menkeu: Jauh dari krisis
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan perekonomian Indonesia masih terkendali. Meskipun rupiah dan bursa saham Indonesia rontok.
"Saya harus bilang krisis terus bubar gitu? Nggak. Kondisi masih terkendali. Tidak krisis atau jauh dari krisis," ujarnya saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR-RI, Jakarta, Selasa (25/8).
Dibanding 1998, kata Bambang, kinerja ekonomi Indonesia saat ini masih baik. Itu terlihat dari data pertumbuhan ekonomi masih positif, transaksi perdagangan surplus, dan defisit neraca transaksi berjalan menurun.
"Belum lagi perbankan, kredit macet, rasio kecukupan modal masih dalam kondisi bagus," katanya.
Dia menegaskan, pihaknya terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) untuk mengantisipasi dampak lanjutan ekonomi global. Jika pelemahan rupiah berlanjut, pemerintah bisa mengubah asumsi nilai tukar rupiah tahun depan.
Rupiah berpotensi samai krismon 98
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai pemerintah masih terlihat santai dalam menghadapi kemerosotan rupiah. Ini lantaran, ekonomi Indonesia dianggap belum berada pada situasi genting.
Jika tak dikendalikan dengan baik, nilai tukar rupiah saat ini bisa terperosok hingga ke level seperti krisis 1998. Kala itu, ekonomi melambat dan rupiah merosot hingga Rp 15 ribu-Rp 17 ribu per dolar Amerika Serikat.
"Krisis 1998 disebabkan oleh likuiditas perbankan yang tipis, sehingga tidak mampu membiayai sektor riil dan berdampak pada meningkatnya pengangguran," ujar Enny.
"Pasti berpotensi krisis kalau rupiah terus menerus begini dan tidak ditangani. Bagaimana menahan rupiah agar tidak mempunyai implikasi terhadap daya beli serta penurunan investasi, itukan yang paling penting dan itu kan bisa dilakukan."
Ekonomi sudah tidak masuk akal
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar Rupiah merupakan sentimen yang tidak masuk akal. Bahkan, pelemahan tersebut bukan mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia.
"Kondisi sekarang sudah irasional, yang terjadi sekarang enggak mencerminkan fundamental dan lebih berdasarkan pada sentimen berlebihan," ujar dia di Kantornya, Jakarta, Jumat (21/8).
Menteri Bambang menegaskan sentimen berlebihan ini muncul karena adanya kekhawatiran perang mata uang yang terjadi dunia, harga minyak yang akan turun serta spekulasi Amerika Serikat (AS) akan menaikkan suku bunganya.
"Ini berimbas ke semua, harga saham di AS saja jatuh, semua bursa kena, karena keadaan irasional itu," kata dia.
Untuk itu, pemerintah bakal terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia guna memantau perkembangan pasar keuangan saat ini.
"Setiap hari kami koordinasi. Pokoknya kalau ada kekhawatiran pasti ada cover meeting di FKSSK," pungkas dia.
Ekonomi dalam keadaan bahaya
Pengamat Ekonomi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Dr Joubert Maramis ikut komentar terkait pelemahan nilai tukar Rupiah yang terjadi belakangan ini. Menurutnya, melemahnya nilai tukar Rupiah hingga mencapai Rp 14.000 per dolar Amerika Serikat (USD) telah menjadi tanda bahaya bagi perekonomian Indonesia.
"Kurs Rupiah yang mencapai Rp 14.000 per USD, sudah bahaya bagi perekonomian Indonesia karena perekonomian internasional, kita defisit pada transaksi barang dan modal," kata Joubert seperti dilansir Antara, Selasa (25/8).
(mdk/noe)