Cerita Pemuda di China, Putus Asa Cari Kerja Kini Gunakan Aplikasi Kencan 'Tinder' Kirim Lamaran Pekerjaan
Ratusan surat lamaran telah dikirim ke berbagai perusahaan, namun tak kunjung mendapat pekerjaan.
Tingkat pengangguran kelompok muda mencapai 14,9 persen.
- Cerita Perempuan Berhasil Kabur Saat Hendak Diperkosa di Tengah Hutan
- Pengusaha Kecil RI Terancam Makin Hancur Lebur Jika Aplikasi Temu Asal China Masuk, Anak Buah Jokowi Beri Bocorannya
- Perusahaan di China Kasih Jatah Cuti Khusus untuk Karyawan yang Sedih hingga Patah Hati
- Waspada Penipuan Aplikasi Kencan Mirip Serial The Tinder Swindler, Kenali Modusnya
Cerita Pemuda di China, Putus Asa Cari Kerja Kini Gunakan Aplikasi Kencan 'Tinder' Kirim Lamaran Pekerjaan
Kelompok muda di China saat ini kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Mereka bahkan menggunakan aplikasi kencan "Tinder" demi bisa mendapatkan koneksi pekerjaan.
Jade Liang, mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan master teknologi di Universitas Shanghai bercerita, dia telah mengirimkan sekitar 400 lamaran kerja secara online, namun belum ada satu perusahaan yang menerimanya.
Hingga akhirnya dia mencoba peluang mendapatkan pekerjaan dari aplikasi kencan Tinder.
"Sederhana saja, saya cukup men-swipe kanan bagi individu yang berkecimpung di industri yang saya minati," kata Liang dilansir dari NBC News, Senin (18/3).
Demi bisa mengakses Tinder, Liang memakai virtual private networks (VPN), mengingat Tinder merupakan aplikasi yang tidak dapat diakses di China.
merdeka.com
Negara yang dipimpin oleh Xi Jinping itu diketahui sudah lama menerapkan bubble media sosial sendiri.
Sehingga, aplikasi yang bukan produksi China, tidak dapat diakses kecuali menggunakan VPN.
Liang mengatakan, langkahnya mencari kerja melalui Tinder, saat dia sedang membuka Xiaohongshu, media sosial buatan China seperti Instagram.
"Ada sebuah unggahan saat pencari kerja itu ditanya oleh manajer perusahaan bagaimana ia tahu perusahaan tersebut, dan dijawab dari Tinder. Dari sana saya mulai mencoba," ujarnya.
Selain menggunakan Tinder, Liang juga memanfaatkan LinkedIn untuk memperluas jejaringnya dalam dunia kerja.
Hanya saja, dalam pandangannya, Tinder lebih nyaman untuk membangun jejaring karena bersifat individu.
Sementara itu, Romy Liu, yang sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan pencari eksekutif di kota Hangzhou, China, mengatakan, mencari peluang kerja melalui Tinder akan menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki keterampilan sosial yang kuat pada seseorang.
"Menurut saya seseorang yang bisa mendapatkan pekerjaan melalui platform semacam ini adalah hal yang luar biasa,” kata Liu.
Di satu sisi, Liu mengatakan, metode seperti ini kurang efisien dibandingkan dengan metode tradisional dalam mencari pekerjaan, dan mungkin hanya dapat dilakukan ketika mencari pekerjaan di perusahaan internasional.
"Dan tidak semua perusahaan akan menyambut baik (mencari kerja) melalui Tinder,"
ujar Liu mengingatkan.
Zoey Zeng, yang bekerja di industri keuangan di Paris mengatakan, meskipun metode Tinder tersedia bagi pencari kerja di seluruh dunia, ada beberapa faktor yang mungkin membuatnya lebih efektif di China, yang sebagian besar digunakan oleh para profesional berpendidikan tinggi.
"Pengguna Tinder di China sudah sangat selektif karena sebagian besar penggunanya sedang mengejar gelar di luar negeri,”
kata Zeng.
Pemerintah China saat ini tengah berjuang mengatasi tingkat pengangguran kelompok muda, yang mencapai rekor 21,3 persen pada bulan Juni.
Pada akhir tahun 2023, pejabat terkait ketenagakerjaan di China menyampaikan, tingkat pengangguran untuk kelompok usia 16 hingga 24 tahun, tidak termasuk pelajar, mencapai 14,9 persen.
Sebagai negara dengan ekonomi kedua terkuat di dunia, persentase pengangguran di kelompok muda China lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat.
merdeka.com
Berdasarkan data statistik Federal Reserve bank New York pada akhir tahun 2023, pengangguran kelompok muda Amerika Serikat berusia 15-24 tahun yaitu 8 persen.
Seorang ekonom di The Economist Intelligence , Su Yue mengatakan tingginya pengangguran kelompok muda bukanlah hal aneh bagi negara-negara seperti China yang juga menghadapi tantangan ekonomi.
"Namun, masalah China kali ini tampaknya menjadi lebih serius,” kata Su Yue.