Cerita Petani Bisa Jual petai Hingga Jepang dan Amerika Serikat
Kebutuhan pasar ekspor bisa dipenuhi secara kontinu karena stok petai masih cukup melimpah.
Petai menjadi tanaman yang paling banyak tidak disukai masyarakat. Meskipun, tidak sedikit juga petai dijadikan komponen wajib pada sebuah hidangan.
Keengganan masyarakat mengonsumsi petai tidak lain karena bau yang dihasilkan setelah memakannya. Akan tetapi, melalui petai para petani di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, meraup cuan melimpah.
-
Di mana cecak diburu untuk ekspor? Mereka bisa ditangkap untuk dijadikan hewan peliharaan atau konsumsi, kata Dr Satyawan Pudyatmoko, direktur jenderal konservasi sumber daya alam dan ekosistem di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
-
Apa itu petir? Secara proses, petir merupakan peristiwa pelepasan listrik yang ditimbulkan lantaran ketidakseimbangan badai awan dan permukaan Bumi.
-
Apa bentuk khas Kue Petulo Kembang? Kue petulo kembang ini terbilang unik karena bentuknya seperti mi gulung yang memiliki beragam warna.
-
Apa itu empet-empetan? Empet-empetan biasa dimainkan anak-anak para petani di tatar Sunda. Biasanya mereka memainkan ini saat ikut kedua orang tua memanen di lahan persawahan. Empet-empetan begitu sederhana, karena tak memerlukan tambahan bahan atau alat lain dalam memainkannya.
-
Bagaimana proses ekspor telur ke Singapura? Ekpor ini berjalan melalui proses audit dan penilaian yang dilakukan oleh Singapura Food Agency (SFA), hingga pada 5 April 2023 SFA menyetujui Indonesia untuk melakukan ekspor telur konsumsi ke Singapura.
-
Kenapa KEK Singhasari penting? KEK Singhasari berkonsentrasi pada platform ekonomi digital untuk bersinergi dengan perkembangan antara bisnis pariwisata dan ekonomi digital.
Dilansir dari Antara, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Sukobubuk Rejo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati, Saman, tidak pernah menyangka bahwa petai yang banyak dijumpai di desanya itu kini bisa menembus pasar Asia Timur.
Selama ini, petai yang ditanam para petani hanya dipasarkan secara sederhana ke sejumlah daerah di Tanah Air. Bahkan, penjualannya juga masih dalam bentuk utuh, belum dikupas dan dikemas rapi.
Petai sendiri ketika dipanen dalam bentuk tangkai, terdiri dari beberapa papan atau lonjor yang setiap lonjornya terdapat antara 10 hingga 17 biji petai.
KTH Desa Sukobubuk selama ini turut membantu petani memasarkan hasil tanamannya ke berbagai daerah, sehingga petani yang tidak bisa menjual sendiri bisa menyetorkannya ke koperasi yang dibentuk KTH itu, setelah petai dari para petani terkumpul.
Para petani ada yang menyetorkan dalam bentuk utuh, serta ada yang sudah dikupas. KTH Sukobubuk membeli petai dari para petani dengan harga yang disepakati, lantas dijual ke berbagai daerah.
- Dijegal Amerika, Pemerintah Bidik Jepang dan Korea buat Pasar Ekspor Udang Beku
- Cerita Petani Alpukat Tetap Sejahtera Meski dari Negara Miskin
- Kisah Petani Madura Punya Sawah 30 Hektare di Jepang, Dulu Lahir dari Keluarga Miskin Kini Hidup Sejahtera Dihormati Banyak Orang
- Luar Biasa Kuat, Prajurit TNI ini Bikin Keok Petarung asal Amerika, Momennya Mendebarkan
Selain pasar lokal di Kabupaten Pati dan sekitarnya, juga dijual ke Kota Semarang, Jakarta, dan beberapa kabupaten lain di Jawa Tengah. Harga jualnya berkisar Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per ikat yang berisi sekitar 100 lonjor atau papan.
Berkembangnya e-commerce (electronic commerce), membuat petani setempat juga ada yang memanfaatkannya untuk memasarkan secara daring yang dijual per lonjor antara Rp1.500 hingga Rp2.000 sesuai ukuran.
Mulai Ekspor
Munculnya ide menanam tanaman petani berawal dari izin garapan di lahan negara seluas 1.300 hektare pada tahun 2018 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan jumlah petani penggarap mencapai 1.464 orang.
Selain mendapatkan kesempatan mengolah lahan untuk pemasukan mereka, para petani juga bertanggung jawab menghijaukan lahan agar tidak gundul dan tetap menjadi daerah resapan air untuk kawasan bawah.
Desa Sukobubuk berada di dataran tinggi, di antara Pegunungan Patiayam yang dikenal sebagai situs purbakala.
Untuk itulah, para petani setempat sepakat menanam pepohonan yang menghasilkan dan buahnya bisa dijual untuk kepentingan ekonomis. Dipilihlah tanaman petai sebagai tanaman keras, tetapi tetap menghasilkan, kemudian ada pohon mangga, nangka, serta jengkol.
Dengan lahan yang begitu luas, setiap petani bisa mengolah lahan garapan lebih dari 2 hektare. Akan tetapi, muncul aturan baru, maksimal setiap petani bisa mengolah lahan seluas 2 hektare.
Meskipun demikian, petani tetap bisa menghasilkan karena masih bisa ditanami aneka macam tanaman. Bahkan, dalam 1 hektare lahan bisa ditanami pohon petai lebih dari 210 pohon, belum lagi tanaman lain, seperti nangka, mangga, jengkol, atau tanaman buah lainnya.
Tanah di Desa Sukobubuk yang begitu subur, akhirnya membuat tanaman petai tumbuh subur dan produktivitasnya juga tinggi. Total tanaman petai di lahan 1.300 hektare mencapai 50.000 pohon, yang saat ini sudah berbuah sebanyak 15.000 pohon.
Hal tersebut, memunculkan kekhawatiran karena hasil panen petai yang melimpah dan tidak terserap pasar, bisa menimbulkan rasa pesimisme bagi petani yang sudah bersusah payah menanam dan merawat. Mereka berharap, ketika tanaman petai berusia empat tahun bisa dipanen dan menghasilkan.
Kalau tidak ada pasar yang pasti, secara perlahan, tanaman petai yang sudah menghijaukan kawasan pergunungan Desa Sukobubuk itu bisa menghilang dan gundul kembali karena ditebang oleh petani.
Saman yang juga kepala Desa Sukobubuk, akhirnya mendapatkan kesempatan berdialog dengan Menteri KLHK (kala itu Siti Nurbaya), ketika berkunjung ke Purwodadi, Jawa Tengah.
Keluh kesah Saman, akhirnya direspons oleh Kementerian KLHK, karena pada tahun 2023 dipertemukan dengan satu perusahaan yang memfasilitasi penjualan petai ke pasar ekspor.
Dari pertemuan tersebut, kemudian ditawarkan untuk ekspor petai ke Jepang dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh para petani. Jepang dikenal sebagai negara yang sangat ketat dengan masuknya bahan makanan yang berasal dari luar negeri.
Secara swadaya, akhirnya Saman dibantu jajaran pengurus Kelompok Tani Hutan (KTH) Sukobubuk Rejo membeli mesin vakum dan mesin blaster, serta freezer.
Negara Jepang juga mensyaratkan adanya uji laboratorium terkait kandungan petai, serta ada tidaknya bahan pestisida berbahaya. KTH Sukobubuk pun harus melakukan pengujian sampel petai ke sebuah laboratorium di Tangerang.
Dari hasil uji laboratorium, petai asal Sukobubuk dipastikan aman dari kandungan zat berbahaya karena selama ini mayoritas petani tidak melakukan pemupukan secara khusus, apalagi dari bahan kimia, hanya sekadar merawat pohonnya tetap sehat. Uji laboratorium itu juga menunjukkan kandungan dari petai adalah karbohidrat, protein, serat, kalsium, natrium, zat besi, dan air.
Sementara untuk menjaga petai kupas utuh dan tidak rusak atau tergores, petani yang ikut memasok petai kupas diberikan pelatihan cara mengupas agar bisa memenuhi standar kualitas ekspor.
Petai kupas yang diterima dari para petani, kemudian dipilah ukuran yang standar. Setelah itu dicuci dan ditiriskan hingga kering, baru masuk proses pengemasan dengan ukuran 100 gram per bungkus, dilanjutkan dengan tahap vakuum dan blasting agar kemasan tetap awet saat dikirim ke Negara Jepang.
Akhirnya, pada akhir tahun 2023 kelompok tani itu bisa mengekspor petai 3 kuintal dan lolos masuk ke Jepang. Kemudian Oktober 2024 kembali mengirim sebanyak 5 kuintal petai kupas, ditambah nangka muda dan jengkol.
Petani di desa itu berharap memiliki tempat penyimpanan atau pengawetan petai dengan kapasitas yang besar agar permintaan pasar ekspor bisa dipenuhi secara kontinu. Sementara itu, panen petai memang bisa berlangsung lama, terkecuali bulan Mei, Juni dan Juli, yang sama sekali tidak berbuah.
Ketika memiliki tempat penyimpanan dengan suhu dingin, dipastikan kebutuhan pasar ekspor bisa dipenuhi secara kontinu karena stok petai masih cukup melimpah.
Meskipun hasil panen petai melimpah, termasuk tanaman buah lainnya di Desa Sukobubuk memang perlu dukungan teknologi dan pemasaran. Dengan harapan, rantai pasok dan pemasaran yang semakin lancar, sehingga tingkat perekonomian petani juga semakin meningkat dan semakin sejahtera.
Berkat respons cepat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan persoalan pemasaran komoditas hasil wanatani atau agroforestri di Desa Sukobubuk terselesaikan. Hadirnya negara berupa dukungan pada upaya yang dilakukan oleh warga telah membuat petani di desa itu, kini bisa tersenyum bahagia karena hasil panen mereka bisa terjual hingga ke luar negeri.