Data Kemenperin: Industri Hasil Tembakau Serap 5,9 Juta Tenaga Kerja, Setor Cukai Rp218 Triliun
Peraturan PP 109/2012, serta dari kebijakan tarif Cukai Hasil tembakau (CHT) dalam konteks pengendalian, dinilai sudah cukup.
Pengusaha menegaskan harapan pelaku usaha adalah iklim yang kondusif dalam berbisnis
- Industri SKT di Tanah Air Serap Banyak Tenaga Kerja dan Beri Efek Ganda Bagi Perekonomian
- Menkop Teten Akui Regulasi Belum Bisa Lindungi Industri Tekstil dari Serbuan Produk Impor
- Industri Diminta Kurangi Jumlah PLTU, Menperin: Tarif Listrik PLN Harus Kompetitif
- Berkah Tarif Cukai Naik, Industri Rokok Elektrik Makin Cuan
Data Kemenperin: Industri Hasil Tembakau Serap 5,9 Juta Tenaga Kerja, Setor Cukai Rp218 Triliun
Data Kemenperin: Industri Hasil Tembakau Serap 5,9 Juta Tenaga Kerja, Setor Cukai Rp218 Triliun
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan Industri Hasil Tembakau (IHT) menyerap tenaga kerja yang besar dan memiliki dampak ganda yang luas.
Oleh karena itu, dalam menyikapi pasal-pasal tembakau di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan, diharapkan untuk tidak mengabaikan berbagai aspek tersebut.
"Kita perlu melihat bahwa IHT (Industri Hasil Tembakau) menyerap banyak sekali tenaga kerja, mulai dari petani tembakau, cengkeh, pekerja buruh pabrik, buruh tani, pekerja distribusi, ritel, dan lainnya,” ungkap Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo dikutip Senin (4/12).
Berdasarkan data Kemenperin, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor IHT sebanyak 5,98 juta orang. Selain itu, dari sisi penerimaan negara, IHT juga berkontribusi dalam bentuk Cukai Hasil Tembakau sebanyak Rp218 triliun pada tahun 2022.
Jumlah ini hanya cukai, belum termasuk penerimaan negara dari pajak seperti PPh badan maupun tenaga kerja di industri ini.
“Kalau kecenderungan kebijakan ini untuk memperketat, ini bukan tidak mungkin dampak positifnya akan berkurang atau hilang. Dampak negatifnya justu akan bertambah. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana pekerja dan penghidupan dari jutaan orang yang menggantungkan hidupnya dari IHT,” jelas Edy.
Sebenarnya, kebijakan yang ada berdasarkan peraturan sebelumnya, yaitu PP 109/2012, serta dari kebijakan tarif Cukai Hasil tembakau (CHT), dalam konteks pengendalian, dinilai sudah cukup berhasil dan baik untuk terus dijalankan.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey menegaskan harapan pelaku usaha adalah iklim yang kondusif dalam berbisnis, terutama adanya kemudahan berusaha dan kepastian hukum.
"Hampir 10 persen dari pendapatan negara pada tahun 2022 adalah dari hasil industri tembakau. Kontribusi devisa negara hampir Rp200 triliun. Ini perlu diperhatikan. Kalau ada pengaturan harus diantisipasi bukan dengan larangan tapi pengendaliannya,” tegasnya.