Disokong konglomerat, Prabowo-Jokowi hindari debat pajak
Indef yakin isu meningkatkan pajak, sensitif bagi pengusaha besar di tim sukses masing-masing capres.
Debat calon presiden kedua digelar Komisi Pemilihan Umum tadi malam, Minggu (16/6), berjalan antiklimaks bagi ekonom. Baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo minim sekali membahas strategi mengelola sumber penerimaan negara utama.
Tak lama setelah debat lima sesi diakhiri, Anggota Komite Ekonomi Nasional Aviliani menilai pertarungan gagasan dua capres tidak lengkap. "Cukup mengherankan, tidak ada pembicaraan mengenai pajak," ujarnya.
-
Kapan Prabowo bertemu Jokowi? Presiden terpilih Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana kepresidenan, Jakarta, Senin (8/7) siang.
-
Apa yang dibahas Prabowo dan Jokowi saat bertemu? Juru Bicara Menteri Pertahanam Dahnil Anzar Simanjuntak menyebut, pertemuan Prabowo dengan Jokowi untuk koordinasi terkait tugas-tugas pemerintahan. "Koordinasi seperti biasa terkait pemerintahan," kata Dahnil saat dikonfirmasi, Senin (8/7). Dia menjelaskan, koordinasi tugas tersebut mencakup Prabowo sebagai Menteri Pertahanan maupun sebagai Presiden terpilih 2024-2029.
-
Apa yang dibicarakan Prabowo dan Jokowi? Saat itu, mereka berdua membahas tentang masa depan bangsa demi mewujudkan Indonesia emas pada tahun 2045.
-
Bagaimana Prabowo bisa menyatu dengan Jokowi? Saat Pilpres 2019 Prabowo merupakan lawan Jokowi, namun setelah Jokowi terpilih menjadi presiden Prabowo pun merapat kedalam kabinet Jokowi.
-
Apa yang di lakukan Prabowo saat mendampingi Jokowi dalam rapat? Ini setiap rapat ada rapat internal rapat-rapat terbatas, Pak Prabowo selalu mendampingi pak Presiden," kata Budi, saat diwawancarai kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/3).
-
Kenapa Prabowo Subianto begitu rileks menghadapi debat capres? "Beliau sangat rileks, sangat santai menghadapi debat ini, karena kan memang materinya beliau pasti sangat mengetahui dan menguasai ya," Habiburokhman menandasi.
Demikian pula penilaian Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati. Nihilnya adu gagasan menggenjot setoran ke kas negara membuat publik sulit mengukur janji masing-masing capres.
Padahal, Prabowo dan Jokowi banyak mengumbar target di bidang perekonomian yang cukup ambisius. Sumber dana program-program bombastis kedua capres jadi diragukan.
"Dua-duanya sama kalau soal penerimaan negara. Pak Jokowi menargetkan pertumbuhan ekonomi bisa sampai 7 persen, dengan cara apa? Perbaikan sistem seperti apa? Sedangkan Pak Prabowo menyinggung kebocoran anggaran, tapi yang dia maksud itu bukan kebocoran pajak, melainkan penerimaan dari sumber daya alam," kata Enny kepada merdeka.com.
Indef lebih jauh melihat ada kepentingan konglomerasi di balik dua capres, sehingga debat terkesan menghindari bahasan teknis mengenai pajak. Partai Gerindra yang mengusung Prabowo didukung lingkaran koalisi penuh pengusaha. Kondisi tak jauh beda juga dialami PDIP yang mengelola gerbong dukungan Jokowi. Beberapa pengusaha kaya raya menjadi ketua partai koalisi maupun aktif sebagai tim sukses.
"Para tim sukses yang duduk di ruangan debat itu wajib pajak tertinggi semua. Bahkan ada pendukung calon yang kita tahu banyak sekali kasus pajaknya. Saya yakin karenanya isu ini tidak diangkat," kata Enny.
Indef adalah lembaga kajian ekonomi independen yang berkukuh meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan segera menetapkan pajak progresif pada konglomerat. Skemanya, wajib pajak perorangan dengan penghasilan lebih dari Rp 5 miliar per tahun, harus dikenai pajak hingga 40 persen. Kalau perlu, otoritas pajak fokus menagih nama-nama miliarder di Tanah Air yang masuk daftar majalah Forbes.
Orang-orang kaya di Indonesia menikmati skema pajak final yang banyak disediakan pemerintah. Padahal miliarder tidak mendapat penghasilan dari gaji bulanan yang biasa dikenai pajak penghasilan (PPh), melainkan dari pasar modal (dividen), serta capital gain lain yang mendapat kebijakan pajak final. Sementara pajak final itu selalu lebih rendah dari rate tertinggi PPh, yang bisa mencapai 35 persen.
Selain pajak progresif bagi konglomerat untuk menggenjot penerimaan, capres terpilih nanti menurut Enny, wajib mengatasi kebocoran penerimaan.
"Sampai hari ini 70-an persen PPh masih dari korporasi, dari wajib pajak perorangan hanya sekitar 30-an persen. Artinya itu mudah dipetakan. Apalagi orang-orang yang tidak bekerja di sektor formal hampir pasti tidak ada yang bayar pajak, tapi kok penerimaan rendah? Sudah pasti karena kebocoran," urainya.
Tahun lalu, Per 31 Desember 2013 penerimaan negara yang bersumber dari pajak hanya Rp 1.071,1 triliun, kurang Rp 76,3 triliun dari target pemerintah. Akibat lesunya sektor pajak pada 2013, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia cuma mencapai 11,4 persen, turun dibanding 2012 sebesar 12,2 persen.
Lepas dari anjloknya penerimaan, pajak masih merupakan penyumbang 70 persen APBN. Dalam Rancangan APBN Perubahan 2014, Ditjen Pajak malah diminta DPR meningkatkan performa. Pendapatan negara sepanjang tahun ini ditarget naik mencapai Rp 1.635,38 triliun, dari awalnya Rp1.597,7 triliun.
(mdk/ard)