Harga Rumah di Jakarta 19 Kali Lipat Pendapatan Tahunan
Pengadaan lahan, biaya konstruksi, hingga pembiayaan yang dianggap belum optimal, jadi kontribusi tingginya harga rumah.
Pengadaan lahan, biaya konstruksi, hingga pembiayaan yang dianggap belum optimal, jadi kontribusi tingginya harga rumah.
- Hitung-hitungan Biaya Hidup Layak di Jakarta Rp14,8 Juta, UMP 2025 Naik Hanya Jadi Rp5,3 Juta
- Ini Besaran Jatah Harga Rumah Pensiun Jokowi di Karanganyar
- Ternyata Ini Pengeluaran Paling Besar yang Buat Biaya Hidup di Jakarta dan Bekasi Jadi Paling Mahal
- Biaya Hidup di Jakarta dan Bekasi Paling Mahal Se-Indonesia, Buruh Sebut Gaji Ideal Rp7 Juta Sebulan
Harga Rumah di Jakarta 19 Kali Lipat Pendapatan Tahunan
Memiliki rumah merupakan harapan yang sulit direalisasikan. Hal ini disebabkan kenaikan gaji tidak diikuti dengan kenaikan harga rumah.
Ini pula yang menyebabkan backlog, atau ketidakseimbangan antara jumlah rumah yang tersedia dengan minat individu membeli rumah.
Kebijakan tabungan perumahan rakyat (Tapera) pun dianggap bukan solusi terbaik untuk mengatasi backlog.
Kebijakan ini bahkan menuai kritik publik karena gaji karyawan swasta terpotong otomatis untuk program Tapera.
Hasil riset terbaru Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menunjukkan harga rerata rumah di Indonesia sangat mahal.
Dalam laporan berjudul "Ribut Soal Tapera: Kebijakan "Harga Mati" untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional?" menampilkan harga rumah di Indonesia berkisar 19-20 kali lipat dari rata-rata pendapatan tahunan.
Namun, Jakarta bukanlah kota dengan harga rata-rata rumah termahal.
Harga rumah termahal ada di Kota Medan dengan 23,5 kali rata-rata gaji tahunan.
Kemudian, Surabaya dengan harga rata-rata rumah setara 21,33 kali gaji.
Disusul Batam di urutan ketiga dengan 20,94 kali gaji, Makassar dengan 19,8 kali pendapatan, dan Jakarta sebagai urutan kelima dengan 19,76 kali lipat dari pendapatan.
Melansir Channel News Asia, tim peneliti LPEM FEB UI menjelaskan tingginya angka backlog perumahan di Indonesia bukan hanya karena pengembang enggan membangun banyak rumah murah bagi masyarakat menengah dan bawah, melainkan juga disebabkan harga lahan yang tinggi, biaya konstruksi yang meningkat, dan kebijakan pembiayaan yang belum optimal.
Angka backlog di tanah air pada tahun 2023 mencapai 12,7 juta unit rumah, naik dari 11,6 juta pada tahun 2022.
Sebelumnya pemerintah melalui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan angka backlog tercatat sebesar 9,9 juta unit.
"Untuk rumah tapak, misalnya, terdapat kendala berupa mahalnya harga lahan yang pada akhirnya menyebabkan harga jual rumah menjadi semakin mahal. Sementara itu, jika developer membangun hunian vertikal atau rumah susun (rusun) untuk kalangan menengah atau menengah bawah, margin keuntungan yang diperoleh dinilai relatif tidak sepadan dengan risiko bisnisnya,” tim peneliti memaparkan lebih jauh.
Tim peneliti LPEM FEB UI menegaskan, berdasarkan amanat Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, negara tetap bertanggung jawab untuk menyediakan dan memberikan kemudahan serta bantuan perumahan.
Sejalan dengan itu, pembangunan infrastruktur, termasuk di dalamnya penyediaan perumahan dan permukiman layak, aman, dan terjangkau menjadi kewajiban pemerintah.
Mereka mengakui pemerintah telah mengusahakan beberapa program mulai dari Program 1 Juta Rumah sejak 2015 hingga 2022, penyediaan subsidi perumahan, dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).