Iklan Rokok Makin Ketat, Produsen: Picu PHK massal, Padahal Kita Serap Jutaan Tenaga Kerja
Pengetatan iklan di luar ruang berpotensi untuk memukul kinerja industri rokok dan olahan tembakau turunannya hingga memicu PHK massal.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachjudi mengkritik aturan larangan iklan luar ruang dalam radius 200 meter dari fasilitas publik dan pendidikan dari sebelumnya 500 meter. Ketentuan ini diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang menjadi aturan turunannya.
Dia menilai pengetatan iklan di luar ruang berpotensi untuk memukul kinerja industri rokok dan olahan tembakau turunannya hingga memicu PHK massal. Padahal, industri tembakau menyerap jutaan tenaga kerja dari petani, pekerja, pedagang dan peritel, hingga industri kreatif.
- Bagaimana Pembatasan Penjualan Rokok Eceran dan Iklan Rokok Bisa Tekan Angka Perokok Anak dan Remaja
- Iklan Rokok Harus Berjarak 500 Meter dari Sekolah, Pelaku Industri Beri Tanggapan Begini
- Kerugian Rp9,1 Triliun Hingga PHK Massal Membayangi Industri Media Jika Iklan Rokok Dilarang
- Terkuak, Alasan YLKI Minta Iklan Rokok Dilarang Total
"Kalau prosesnya saja sudah cacat, maka kontennya pasti menjadi tidak baik" kata Benny dalam konferensi pers Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) di Kantor Apindo Kuningan, Jakarta, Rabu (11/9).
Padahal, industri hasil tembakau selama ini telah mengikuti regulasi dan mematuhi aturan dengan baik. Khususnya kepatuhan terhadap pembayaran cukai sebagai salah satu penerimaan negara.
Dia mencatat, cukai hasil tembakau (CHT) masih menjadi sumber penerimaan negara yang cukup besar sampai 10 persen atau lebih dari Rp200 triliun. Benny juga mengatakan kebijakan CHT yang telah diimplementasikan selama ini memberikan kontribusi besar bagi ekonomi nasional.
Benny meminta agar proses penyusunan dan pelaksanaan PP 28 dan RPMK lebih terbuka dan melibatkan pelaku usaha rokok dan turunannya. Sehingga kebijakan yang diambil tidak berdampak buruk bagi industri hingga petani tembakau .
"Maka PP 28/2024 masih menyisakan hal-hal yang perlu kita kaji ulang, termasuk pengaturan penjualan 200 meter, iklan, dan aturan turunannya hingga pengaturan kemasan polos tanpa merek yang tidak memunculkan identitas brand dan makin memicu rokok ilegal,” ungkap dia.
Kekecewaan asosiasi petani tembakau
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Kusnasi Mudi menyebut kebijakan-kebijakan restriktif terhadap produk tembakau dalam PP 28/2024 maupun RPMK menjadi permasalahan bersama. Aturan ini dianggap mengabaikan sentralitas tembakau dalam agrikultur sebagai tanaman bernilai ekonomi tinggi dan berhasil membantu 2,5 juta mata pencaharian masyarakat sebagai petani.
“Kami sangat kecewa dan keberatan dengan aturan turunan yang akan disusun di RPMK karena adanya ketidaksinambungan pada pemerintah terhadap industri hasil tembakau," ucapnya.
Senada dengan itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) Sudarto menyesalkan adanya PP 28/2024 maupun RPMK. Kedua beleid ini dinilai sebagai produk yang diskriminatif karena minimnya partisipasi dan selama ini buruh tidak pernah difasilitasi untuk menyampaikan aspirasinya.
"Pemerintah perlu sadar bahwa buruh ini aset dan jumlah kami besar sekali, jangan dimarjinalkan terus menerus. Aspek yang perlu diperhatikan salah satunya adalah buruh sebagai bagian dari konstitusi Indonesia, di mata hukum kami setara," tegasnya.