Kemacetan di Jakarta Sebabkan Kerugian Rp65 Triliun, di Surabaya Rp12 Triliun per Tahun
Kerugian akibat macet itu muncul karena penggunaan kendaraan pribadi masih terlalu besar.
Angkutan umum disebut menjadi salah satu solusi mengurangi kemacetan. Namun, pengembangan angkutan umum memerlukan keberpihakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Kemacetan di Jakarta Sebabkan Kerugian Rp65 Triliun, di Surabaya Rp12 Triliun per Tahun
Kemacetan di Jakarta Sebabkan Kerugian Rp65 Triliun, di Surabaya Rp12 Triliun per Tahun
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno menyoroti kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kemacetan jalan raya. Bahkan secara angka, itu sudah melampaui kemampuan anggaran pemerintah setempat.
"Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas Kota Jakarta Rp65 triliun per tahun. Sedangkan Kota Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, Makassar sebesar Rp12 triliun per tahun. Sudah melebihi APBD kotanya," ujar Djoko dalam keterangannya di Jakarta, Senin (30/10).
Kerugian akibat macet itu muncul karena penggunaan kendaraan pribadi masih terlalu besar. Sedangkan minat terhadap transportasi publik di Indonesia terhitung sangat minim.
Sebagai perbandingan, Djoko menyebut data GIZ yang dihimpun Mei 2023, modal share atau partisipasi masyarakat terhadap angkutan umum di Singapura, Hong Kong dan Tokyo sudah di atas 50 persen.
Kuala Lumpur dan Bangkok kisaran 20-50 persen. Sedangkan kota-kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan kurang dari 20 persen. Sementara dalam 5 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan kendaraan pribadi di Indonesia rata-rata 8 persen per tahun.
Djoko menilai, parameter berhasil atau tidaknya program angkutan massal sebenarnya bukan diukur dari untung ruginya perusahaan yang menyelenggarakan. Pasalnya, tidak ada perusahaan yang menyelenggarakan angkutan massal yang untung.
"Sebaliknya subsidi Pemerintah harus semakin besar tergantung dari berhasil atau tidaknya program angkutan massal tersebut," tegas dia.
merdeka.com
Menurut dia, parameter mengukur keberhasilan program angkutan umum adalah berpindahnya pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Oleh sebab itu angkutan umum harus lebih menarik baik dari segi biaya, pelayanan maupun waktu tempuh.
"Makanya, Pemerintah harus all out dalam membangun angkutan umum yang menarik, murah, nyaman, aksesibilitasnya. Dan dapat dipastikan biaya akan lebih tinggi dari pendapatan tarifnya, karena targetnya bukan pendapatan, melainkan intangible cost berupa peningkatan keselamatan lalu lintas, kemacetan lalu lintas teratasi, berkurangnya penggunaan BBM, menurunnya pencemaran udara, menekan angka inflasi," paparnya.
Kemudian, struktur kelembagaan metropolitan yang dapat mengintegrasikan pembangunan dan pengelolaan lintas batas administrasi dan lintas moda angkutan dalam satu wilayah metropolitan. Lalu, rencana mobilitas perkotaan terpadu sebagai dasar implementasi angkutan massal perkotaan, keahlian teknis untuk merencanakan, merancang, mengimplementasikan, dan mengoperasikan sistem angkutan massal secara memadai.
Untuk solusi jangka panjang, Djoko mengatakan itu perlu koordinasi lintas kementerian dalam merapikan regulasi guna mengatasi kerugian ekonomi akibat macet. Sementara untuk jangka pendek, pemerintah perlu untuk melakukan revisi terhadap PM Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pemberian Subsidi Angkutan Umum Perkotaan.
Dia menyarankan adanya pemberian bimbingan kepada Pemerintah Daerah terkait pembentukan kelembagaan. Mewajibkan agar menyususun kebijakan dalam rangka melanjutkan penataan angkutan umum perkotaan dan pemberian subsidi disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.