Kemendag Sindir Kemenkes soal PP Kesehatan & RPMK: Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Ganggu Hak Pedagang
Kemendag juga menekankan pentingnya penelitian yang solid dalam mengimplementasikan aturan tersebut di Indonesia.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengaku belum dilibatkan secara resmi dalam perumusan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari PP Nomor 28 Tahun 2024.
Kemendag juga menekankan pentingnya penelitian yang solid dalam mengimplementasikan aturan tersebut di Indonesia.
- Alasan Serikat Pekerja Tembakau Ngotot Tolak Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek
- Bikin Heboh, Menkes Kaji Ulang Wacana Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek
- Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Tuai Protes Serikat Pekerja, Kemnaker Singgung Dampak Negatif Regulasi
- DPR Minta Kemenkes Tinjau Ulang Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek, Begini Alasannya
Negosiator Perdagangan Ahli Madya, Kemendag Angga Handian Putra menegaskan, pihaknya belum terlibat resmi dalam perumusan RPMK.
Sejalan dengan itu, Kemendag juga tengah memberikan perhatian khusus terhadap aturan tersebut, utamanya mengenai kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
Angga berpandangan, kemasan rokok polos tanpa merek tidak hanya mengatur tampilan produk, tetapi juga dapat berdampak pada hak-hak pengusaha, pedagang dan perdagangan internasional.
"Kemasan rokok polos tanpa merek ini dapat menyinggung perdagangan dan mengganggu hak-hak pedagang," tegas Angga, Sabtu (21/9).
Perlu Studi Ilmiah
Dia turut memandang bahwa masih dibutuhkan studi ilmiah lebih jauh terhadap upaya menurunkan prevalensi perokok melalui kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dengan mengacu pada Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana Indonesia sendiri belum meratifikasi aturan global tersebut.
Kendati Australia menerapkan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, kata Angga, hal ini tidak bisa langsung diadopsi oleh Indonesia tanpa kajian mendalam.
Oleh karena itu, dia berharap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dapat membuktikan regulasi melalui penelitian yang solid.
"Kami membutuhkan studi ilmiah untuk mendukung efektivitas kebijakan ini. Struktur perdagangan Indonesia berbeda dengan negara lain," ungkap Angga.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI), Suhendro mengungkapkan, keprihatinannya terhadap dampak ekonomi dari PP 28/2024 tentang Kesehatan.
Dia menilai larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak akan membebani pedagang. Terutama di pasar tradisional yang sudah tertekan oleh perdagangan online.
"Kami mengikuti standar yang ada, tetapi jika larangan itu diterapkan, keberlangsungan hidup pedagang akan terancam," ujarnya.
Perlu Kajian Mendalam
Suhendro juga menyoroti kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang akan menyulitkan konsumen dalam membedakan rokok legal dan ilegal. Ia berpendapat bahwa perubahan ini dapat merugikan merek-merek tertentu yang memiliki konsumen loyal.
Efektivitas kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dan zonasi larangan penjualan produk tembakau ini perlu dipertanyakan. Menurut Suhendro, untuk mencapai tujuan pemerintah soal kesehatan masyarakat perlu kajian mendalam dan peran semua pihak.
“Perlu kajian yang mendalam dan partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan,” jelas dia.
Menurutnya, masyarakat perlu diberikan edukasi lebih mengenai perbedaan antara produk legal dan ilegal, bukan hanya sekadar menerapkan kebijakan yang membingungkan.