Nasib Kemasan Rokok Polos setelah Kemenkes Diskusi dengan Buruh
Kementerian Kesehatan membuka diskusi dengan serikat buruh terkait rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membuka diskusi dengan serikat pekerja mengenai rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) dan penerbitan PP Nomor 28 Tahun 2024.
Pertemuan ini dilakukan setelah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI) mengadakan unjuk rasa di Kantor Kemenkes pada Kamis (10/9).
Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes, Benget Saragih, menyatakan bahwa pihaknya akan melibatkan buruh dalam penyusunan RPMK, terutama mengenai kebijakan kemasan rokok polos.
"Terima kasih kepada semua pihak, kami sangat menghargai aspirasi yang disampaikan. Kami akan melibatkan bapak dan ibu dalam penyusunan RPMK, mengingat buruh adalah kelompok yang terdampak. Ini bukan sekadar janji, tetapi komitmen yang akan kami laksanakan," ujarnya dalam keterangan tertulis pada Minggu (13/10).
Dari pertemuan tersebut, Ketua Umum PP FSP RTMM SPSI, Sudarto, menjelaskan bahwa aturan mengenai kemasan rokok polos tanpa merek dibuat untuk mengukur respons publik dan industri rokok.
Ia menambahkan bahwa akan ada pembahasan lebih lanjut mengenai zonasi larangan penjualan dan iklan rokok.
"Untuk kemasan polos, mereka sudah menyatakan tidak akan diteruskan. Kami juga mempertimbangkan hal itu. Ini seperti cek ombak. Ada beberapa hal yang diakui, seperti larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter, yang akan dibahas kemudian. Yang terpenting adalah kami akan dilibatkan," jelasnya.
Libatkan Serikat Pekerja Sudarto menegaskan bahwa Kemenkes berkomitmen untuk melibatkan FSP RTMM-SPSI dan organisasi terkait lainnya dalam penyusunan dan pembahasan Rancangan Permenkes yang berkaitan dengan pengamanan produk tembakau, rokok elektronik, serta makanan dan minuman.
"Kami akan menuntut janji Kemenkes untuk melibatkan buruh dalam pembahasan RPMK di masa depan. Jika kami tidak dilibatkan, kami akan melakukan aksi unjuk rasa dan menyampaikan pendapat kembali," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa pihaknya telah beberapa kali mengirimkan surat dan mengundang Kemenkes untuk berdialog, namun tidak mendapatkan respons.
"Kami telah mengirimkan surat kepada Kemenkes tetapi tidak ada tanggapan. Kami juga telah berusaha mengadakan audiensi berulang kali, namun tidak ada respons. Pemerintah juga telah diminta untuk hadir dalam audiensi, tetapi tetap tidak datang," kata Sudarto.
Petani sangat menolak rencana Indonesia untuk meratifikasi FCTC terkait tembakau
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dengan tegas menolak usulan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di Indonesia.
Mereka berpendapat bahwa traktat yang didukung oleh lembaga-lembaga anti tembakau asing tersebut tidak memperhitungkan kompleksitas kondisi sosial dan ekonomi yang melingkupi industri hasil tembakau di Indonesia.
Seluruh ekosistem industri ini melibatkan lebih dari enam juta orang, termasuk petani, sektor manufaktur, distribusi, ritel, hingga ekspor, yang berkontribusi pada perekonomian nasional. Sekretaris Jenderal HKTI, Sadar Subagyo, menekankan perlunya regulasi nasional yang adil dan seimbang untuk melindungi mata pencaharian jutaan petani tembakau dan cengkeh serta menjaga keberlangsungan industri hasil tembakau.
Saat ini, sebagian besar hasil panen petani tembakau dan cengkeh langsung diserap oleh industri, sehingga petani sangat bergantung pada keberlangsungan sektor ini.
"Oleh karena itu, kami menolak adanya aturan yang membebani industri tembakau, termasuk usulan ratifikasi FCTC. Indonesia memiliki karakteristik yang unik dibandingkan negara lain. Kita memerlukan peraturan nasional yang sesuai dengan kondisi khas di Indonesia," ujar Sadar seperti yang dikutip pada Kamis (10/10).
Industri tembakau menghasilkan produk-produk yang berasal dari tanaman tembakau
Kebijakan yang diterapkan di Indonesia terkait industri hasil tembakau perlu disesuaikan dengan kondisi dan konteks lokal, mengingat industri ini memiliki sejarah yang panjang dan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian.
Hal ini termasuk dalam mendorong hilirisasi dan industrialisasi yang bernilai tambah, yang merupakan salah satu program prioritas dalam pemerintahan mendatang.
Oleh karena itu, ia mengharapkan perhatian lebih dari pemerintahan baru yang akan dipimpin oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina HKTI dan mantan Ketua Umum DPN HKTI selama dua periode (2004-2010, 2010-2015), untuk mempertimbangkan nasib petani tembakau serta memberikan kebijakan yang lebih adil bagi mereka.
"Kebijakan ini tidak hanya berdampak pada petani, tetapi juga konsumen yang berhak mendapatkan informasi yang benar mengenai produk legal yang mereka konsumsi. Penerapan aturan seperti FCTC berisiko tinggi bagi konsumen dan negara, termasuk peningkatan potensi pemalsuan produk (rokok ilegal) serta kehilangan pendapatan negara dari cukai," tegasnya.