DPR Minta Kemenkes Tinjau Ulang Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek, Begini Alasannya
Desakan kepada Kemenkes ini diambil setelah adanya kekhawatiran serius tentang dampak negatif aturan itu.
DPR meminta Kemenkes untuk meninjau kembali Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Bagian utama pengaturan dalam RPMK tersebut memuat usulan Kemenkes untuk menerapkan kemasan rokok polos tanpa merek. Desakan kepada Kemenkes ini diambil setelah adanya kekhawatiran serius tentang dampak negatif dari aturan-aturan tersebut terhadap industri strategis dan perekonomian nasional.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi NasDem, Nurhadi mengatakan, banyak aturan pada PP 28/2024 maupun RPMK yang berada di luar lingkup kewenangan Kemenkes. Wacana ini telah memicu pro kontra di kalangan masyarakat serta menimbulkan polemik.
Menurutnya, kedua aturan tersebut berisiko menimbulkan kegaduhan menyusul berbagai ancaman, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) pada jutaan pekerja yang bergantung pada industri hasil tembakau dan ekosistem di dalamnya.
Selain itu, pedagang kecil, peritel, serta industri kreatif dan periklanan akan turut terdampak dari kebijakan inisiatif Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tersebut.
Senada, Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Golkar, Yahya Zaini pun memberikan kritik terhadap proses penyusunan aturan. Menurutnya, proses penyusunan PP 28/2024 dan RPMK terkesan terburu-buru dan tidak melibatkan partisipasi publik yang berarti.
“Hal ini mengakibatkan pengabaian kepentingan masyarakat dan pihak-pihak yang terdampak, serta menimbulkan berbagai persoalan dalam penerapannya,” tuturnya.
Dia menegaskan, perlakuan pemerintah terhadap industri hasil tembakau cenderung diskriminatif dan tidak pernah berbanding lurus dengan kontribusinya terhadap negara.
“Tiap tahun cukai rokok dinaikkan, sementara kita tahu kontribusinya untuk negara mencapai Rp213 triliun, jauh di atas penerimaan negara dari BUMN,” ujar Yahya.
Merasa Tak Dilibatkan
Yahya pun mengkritik bahwa Kemenkes tidak melakukan konsultasi yang memadai dengan DPR, serta tidak melibatkan berbagai pihak terkait dalam proses penyusunan, yang dianggap penting untuk mendapatkan masukan yang konstruktif.
“Kami tidak dilibatkan dalam pembuatan aturan ini. Walaupun memang wewenangnya ada di pemerintah, tapi saya berharap Komisi IX DPR RI bisa dilibatkan,” tegas dia.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDIP, Abidin Fikri juga menyoroti sejarah keberpihakan pemerintah Indonesia terhadap industri hasil tembakau, utamanya kepada kesejahteraan petani.
Menimbang hal tersebut, dia meminta agar pemerintah saat ini mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang dapat menyudutkan industri ini.
“Bung Karno sejak dulu berpihak kepada petani tembakau dan kita punya sejarah tentang tembakau ini. Jadi jangan sampai Kemenkes saat ini membuat gaduh dengan rumusan-rumusan kebijakannya,” papar dia.
Selain itu, dia menilai terdapat ketidakcocokan antara PP 28/2024 dan RPMK dengan prinsip-prinsip Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Peraturan mengenai standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek dianggap akan menghilangkan hak konsumen untuk memperoleh informasi produk yang jelas dan juga hak pelaku usaha untuk memberikan keterangan mengenai produk secara benar dan transparan, sehingga berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal yang sudah semakin marak beberapa tahun terakhir.
“Selain itu, ketentuan dalam RPMK mengenai konten digital yang mengatur tayangan di platform streaming seperti Netflix dan YouTube dianggap melampaui wewenang Kemenkes dan berpotensi merugikan industri media digital,” beber dia.
Aturan Dianggap Diskriminatif
Menghadapi situasi ini, DPR menegaskan pentingnya peninjauan kembali PP 28/2024 dan RPMK untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya berpihak pada kesehatan masyarakat tetapi juga mempertimbangkan dampak luas terhadap sektor-sektor ekonomi yang terkait.
Para legislator berharap agar Kemenkes dapat melakukan dialog yang lebih terbuka dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam proses perumusan kebijakan.
DPR menegaskan komitmen, untuk menjaga kesejahteraan masyarakat serta memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam hal ini, DPR juga akan terus memantau dan mengawasi implementasi kebijakan serta memberikan masukan yang konstruktif untuk perbaikan aturan demi kepentingan nasional.
Pada kesempatan yang sama, Serikat Pekerja FSP-RTMM-SPSI menyatakan siap untuk turun ke jalan guna menyampaikan aksi penolakan mereka terhadap dua aturan inisiatif Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tersebut.
Beragam rentetan penyusunan kebijakan mulai dari PP hingga RPMK dinilai oleh serikat pekerja gagal membawa aspirasi stakeholder, karena perumusannya yang minim dialog.
Ketua Umum FSP-RTMM-SPSI, Sudarto AS, menegaskan, kalangan pekerja mengungkapkan ketidakpuasan terkait kurangnya keterlibatan mereka dalam pembuatan regulasi tersebut. Ia pun menyatakan bahwa FSP-RTMM berencana untuk menyelenggarakan sejumlah langkah ke depannya.
“Saya hanya ingin mengingatkan hak menyampaikan pendapat secara konstitusional, karena buruh ini posisinya paling bawah, maka kami ini kaum marjinal. Padahal kami secara hukum, punya hak yang setara dengan masyarakat lainnya. Tapi dengan tidak dilibatkannya kami dalam penyusunan aturan tersebut membuktikan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, diskriminatif,” imbuhnya.
Larangan Jokowi
Langkah untuk turun ke jalan pun menjadi pertimbangan mengingat pihaknya sejatinya telah berkirim surat kepada pemangku kebijakan seperti presiden, DPR, dan sebagainya guna menyampaikan aspirasi penolakan terhadap poin-poin kebijakan yang memberatkan pelaku industri tembakau.
"Kami menilai kesetaraan hukum teman-teman pekerja dilecehkan. Kalau negeri tidak bisa menjamin fakir miskin, maka kami yang sudah punya pekerjaan ini jangan diganggu. Sudah waktunya buruh menuntut dan kami siap untuk bertindak lebih tegas dengan melalukan mogok kerja nasional," tegasnya.
Aturan inisiatif Kemenkes ini bertentangan dengan pesan presiden yang disampaikan beberapa waktu lalu. Saat sidang kabinet di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pesan bahwa di masa transisi ini, jangan membuat kebijakan ekstrem yang bisa menciptakan gejolak.
"Jangan membuat kebijakan-kebijakan ekstrem, terutama berkaitan dengan hajat hidup orang banyak yang berpotensi merugikan masyarakat luas, berpotensi menimbulkan gejolak,” ungkap Jokowi kala itu.