Masyarakat Makin Sulit Punya Rumah, Potensi Backlog Perumahan Bertambah 170.000 Unit Tiap Tahun
SMF menyoroti rumus BPS dalam menghitung angka backlog yang masih mengacu pada ukuran rumah tangga, bukan keluarga.
Chief Economist PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), Martin Daniel Siyaranamual melihat bahwa angka backlog kepemilikan rumah masih besar.
Masyarakat Makin Sulit Punya Rumah, Potensi Backlog Perumahan Bertambah 170.000 Unit Tiap Tahun
Masyarakat Makin Sulit Punya Rumah, Potensi Backlog Perumahan Bertambah 170.000 Unit Tiap Tahun
- Menteri PUPR Yakin 3 Juta Rumah Bisa Dibangun Selama Satu Tahun di Era Prabowo-Gibran
- SMF Biayai Pembangunan 594.172 Unit Rumah Subsidi Sejak 2018, Totalnya Tembus Rp21 Triliun
- Bangun Rumah untuk Masyarakat, Dirut MedcoEnergi: Keberhasilan Perusahaan Tak Hanya Dinilai dari Finansial
- Ajak Mahasiswa Jadi Developer, Dirut BTN: Backlog Perumahan 12,71 Juta Harus Dicarikan Solusinya
Pemerintah mengklaim bahwa tren kesenjangan kebutuhan rumah atau backlog perumahan di Indonesia semakin mengecil setiap tahunnya.
Merujuk data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, angka backlog rumah turun dari 10,51 juta unit di 2022 menjadi 9,9 juta unit di 2023.
Namun, Chief Economist PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), Martin Daniel Siyaranamual melihat bahwa angka backlog kepemilikan rumah masih besar.
Meskipun, pemerintah telah mengalokasikan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk ratusan ribu unit rumah subsidi.
"Backlog itu sendiri masih gede. Kalau berdasarkan hitung-hitungan data, itu paling tidak nambahnya antara 120.000-170.000 per tahunnya," kata Martin dalam sesi jumpa pers di Kantor SMF, Jakarta, Kamis (4/4).
Martin lantas menghitung penyaluran pembiayaan FLPP yang dimulai sejak 2010 belum bisa menghilangkan angka backlog pemilikan rumah. Terlebih kuota penerima bantuan subsidi perumahan tahun ini turun dari 2023 silam yang sebesar 220.000 unit.
"Sekarang tahun 2024 (pembiayaan FLPP) turun jadi 166.000. Jawabannya jelas, enggak cukup (untuk memangkas angka backlog)," imbuh dia.
Dia menyoroti rumus BPS dalam menghitung angka backlog yang masih mengacu pada ukuran rumah tangga, bukan keluarga.
Sebab, dia melihat masih banyak keluarga muda yang tetap tinggal bersama orang tua/mertuanya dalam satu rumah.
"Backlog yang benar itu menggunakan definisi keluarga. Rumah tangga itu kumpulan dari keluarga. Jadi kalau misalnya saya tinggal di rumah orang tua saya, sedangkan saya sudah berkeluarga dan punya istri dan anak, saya tidak termasuk hitung-hitungannya backlog," ungkapnya.
"Jadi artinya ketika satu rumah isinya semakin banyak orang, backlog turun dengan sendirinya. Tapi kenaikan (jumlah) hunian belum tentu. Ketika orang di keluarga-keluarga itu mulai keluar dari rumah orang tuanya, ada kemungkinan kenaikan backlog akan terjadi," ucap dia.
Sehingga, angka backlog risiko berbalik naik alias bounce back ketika banyak anak nantinya sudah tak bisa lagi tinggal bersama orang tua, namun belum memiliki rumah.
"Sekarang ini, bouncing back yang saya sampaikan itu sangat berkaitan erat dengan teknikalitas bagaimana menghitung backlog. Saat ini kita menggunakan angka dari BPS. BPS menggunakan angka dari rumah tangga. Backlog harusnya dihitung berdasarkan keluarga," tuturnya.
"Tolong digarisbawahi, ini enggak ada hubungannya dengan kondisi makro ekonomi Indonesia, kebijakannya, enggak. Ini hubungannya bagaimana menghitung backlog, dan ini PR," tegas Martin.