Menko Luhut Ingin Indonesia Jadi Pusat Penyimpanan Karbon Dunia, Ini Keuntungannya
Luhut menjelaskan, teknologi mengembalikan karbon ke perut bumi sebenarnya sudah ada sejak lama.
Tak hanya itu Pemerintah siap mendukung implementasinya lewat kebijakan terkait.
Menko Luhut Ingin Indonesia Jadi Pusat Penyimpanan Karbon Dunia, Ini Keuntungannya
Menko Luhut Ingin Indonesia Jadi Pusat Penyimpanan Karbon Dunia
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan Indonesia siap jadi pusat penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage) dunia. Tak hanya itu Pemerintah siap mendukung implementasinya lewat kebijakan terkait.
"Saat ini kita sedang menghadapi perubahan iklim, hal ini juga dapat mendukung bagaimana kita menangkap CO2 dan menyuntikkannya ke alam," kata Luhut dilansir dari Antara, Rabu (13/9).
- 46 Tahun Beroperasi, Ini Inovasi Pupuk Kaltim Kurangi Emisi Karbon di Indonesia
- Dana JEPT Tak Kunjung Cair, Pemerintah Cari Sumber Utang Lain untuk Pensiunkan PLTU Batubara
- Di ISF 2023, Luhut Klaim Indonesia Sebagai Pelopor Gerakan Dekarbonisasi
- Delegasi KTT ASEAN Keliling TMII Pakai Kendaraan Listrik, Dukung Jakarta Bebas Polusi
Luhut menjelaskan, teknologi mengembalikan karbon ke perut bumi sebenarnya sudah ada sejak lama.
Bahkan Luhut sesumbar menyebut Indonesia bisa menyerap 400 giga ton karbon.
"Indonesia bisa menjadi pusat penangkapan karbon karena kita punya 400 giga ton tempat penyimpanan penangkapan karbon. Jadi saya ingin melihat tindak lanjutnya," papar Luhut.
Luhut menilai pengembangan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) memiliki peluang bisnis di masa depan.
Sehingga industri yang menggunakan energi secara masif siap tumbuh menjadi industri berkelanjutan dan menjadi salah satu pemangku kepentingan implementasi CCS.
Sementara itu, dari aspek keuangan dan bisnis dengan jelas menunjukkan CCS berpotensi untuk menarik investasi besar di masa depan. Luhut mengatakan Pemerintah akan membuat aturan yang dibutuhkan dan segera mengimplementasikannya bulan depan.
"Peraturan apa pun yang perlu kami tetapkan, akan kami tetapkan. Saya ingin peraturan ini bisa segera ditetapkan bulan ini," kata dia.
Makanya, Luhut bilang para pemangku kepentingan perlu bekerja sama untuk mewujudkannya.
Mengingat tidak banyak orang yang mengetahui tentang Blitar Reservoir dan saline aquifer.
"Tidak banyak orang yang mengetahui hal ini padahal ini sangat berpotensi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat dan strategis dalam bidang ini," ujar Luhut.
Tujuannya agar Indonesia dapat menyediakan layanan penyimpanan karbon dioksida atau CO2 dari berbagai negara.
Langkah pertama yang disiapkan oleh pemerintah, yakni menyiapkan peraturan presiden sebagai payung utama dalam menjalankan bisnis teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS).
"Nanti rincian ada di peraturan menteri turunannya yang perlu dibentuk," kata Tutuka.
Setelah perpres terkait impor karbon dioksida tersebut rampung, lanjut Tutuka, mekanisme bisnis dapat dibicarakan antar perusahaan yang terlibat.
Berdasarkan studi Lemigas Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi kapasitas penyimpanan karbon sekitar 2 giga ton CO2 untuk reservoir migas yang telah habis, serta sekitar 10 giga ton CO2 untuk reservoir air bersalinitas tinggi.
Teknologi Carbon Capture and Storage/Capture Carbon Utilization and Storage (CCS/CCUS) merupakan teknologi untuk penangkapan dan penyimpanan karbon sebagai alah satu solusi untuk menangani perubahan iklim global akibat emisi gas rumah kaca.
Metode CCS dilakukan dengan cara menginjeksikan CO2 ke dalam tanah, sekitar 20 kali ketinggian Monas, agar bisa larut dalam lapisan air dan berikatan secara kimia di permukaan batuan tanah sehingga tersimpan secara permanen.