Pemerintah didesak untuk batalkan perpanjangan kontrak JICT
"Seharusnya JICT di kelola negara melalui BUMN dengan kepemilikan saham 100 persen."
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Fahmy Radhi menyarankan kepada Kementerian BUMN untuk membatalkan perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT) pada perusahaan asing, Huntchison Port Holdings (HPH) yang berkedudukan di Hongkong.
Menurutnya, JICT yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok merupakan aset negara yang strategis, dan seharusnya di kelola negara melalui BUMN dengan kepemilikan saham 100 persen.
-
Bagaimana Pelindo membangun konektivitas pariwisata di Indonesia? Selain itu, para delegasi akan diajak untuk mengunjungi Bali Maritime Tourism Hub (BMTH) yang disiapkan untuk menjadi jangkar dalam membangun konektivitas pariwisata di Indonesia
-
Siapa sosok penemu ransum TNI? Pencipta ransum TNI ternyata bukanlah seorang tentara, melainkan seorang dokter.
-
Apa yang dirayakan Ririn Ekawati dalam acara peluncuran bisnis barunya? Bisnis baru ini adalah hadiah terbaik untuk Ririn yang baru saja berulang tahun.
-
Bagaimana menurut Menkominfo Budi Arie, revisi UU ITE jilid II dapat menjaga ruang digital di Indonesia? Yang pasti kan pemerintah ingin menjaga ruang digital kita lebih kondusif dan lebih berbudaya.
-
Kenapa pendopo di kantor Pemkab Jepara menyimpan jejak RA Kartini? Di Jepara, ada pula peninggalan berupa pendopo yang kini berada di kantor Pemkab Jepara. Dulunya, pendopo itu digunakan sebagai ruang pingitan Kartini saat menunggu lamaran tiba.
-
Siapa Lettu Soejitno? Lettu R.M. Soejitno Koesoemobroto lahir di Tuban pada 4 November 1925. Ia merupakan putra R. M. A. A. Koesoemobroto, bupati Tuban ke-37. Semasa hidupnya, ia mengalami tiga zaman yaitu zaman penjajahan Belanda, Jepang, dan Kemerdekaan RI.
"Pengelolaan sepenuhnya oleh BUMN merupakan manfestasi demi kedaulatan ekonomi, seperti yang diamanahkan konstitusi pasal 33 UUD 1945," kata Fahmy Radhi, Kamis (24/12).
Dia menjelaskan, awalnya 100 persen saham JICT dimiliki negara yang dikelola oleh PT Pelindo II, sebagai representasi Negara. Pada saat krisis moneter 1997, atas tekanan dan desakan IMF, pemerintah melakukan privatisasi dengan menjual JICT kepada perusahaan asing, yakni HPH.
Melalui pelelangan terbuka, JICT dijual dengan nilai USD 243 fil/ra. Perubahan komposisi kepemilikan saham baru yakni HPH menguasai mayoritas sebesar 51 persen sedangkan Pelindo II sebesar 49 persen dengan jangka waktu konsesi selama 20 tahun, dimulai pada 2009 berakhir pada 2019.
Sejak 27 Juli 2012, kata Fahmy, Diretur Utama Pelindo II, RJ Lino sudah merintis proses perpanjangan Kontrak JICT. Namun, lantaran Menteri BUMN dan Menteri Perhubungan pemerintahan SBY tidak memberikan izin, RJ Lino belum bisa memperpanjang kontrak.
"Berbeda dengan sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno justru mengeluarkan izin prinsip perpanjangan kontrak pada 9 Juni 2015. Hanya berbekal izin prinsip Menteri BUMN, tanpa izin konsesi Otoritas Pelabuhan dari Menteri Perhubungan, RJ Lino nekat memutuskan untuk menandatangani perpanjangan kontrak JICT pada Juli 2015," ungkapnya.
Komposisi saham tidak berubah, Pelindo II sebesar 48,9 persen, Kopegmar 0,10 persen, dan HPH tetap memegang saham mayoritas sebesar 51 persen. Jangka waktu berakhirnya konsesi menjadi tahun 2039, dengan nilai penjualan saat perpanjangan kontrak sebesar USD 215 juta.
Keputusan sepihak dalam memperpanjang kontrak JICT dilakukan oleh RJ Lino, yang didukung sepenuhnya oleh Menteri BUMN Rini Soemarno disebut telah melanggar Peraturan Perundangan, di antaranya UU tentang BUMN yang menyebutkan bahwa tidak ada nomenklatur tentang izin prinsip yang dikeluarkan oleh menteri BUMN. Selain itu, juga pelanggaran atas UU tentang Pelayaran dan PP No 61/2009 tentang Pelayaran.
"Dalam hal perpanjangan kontrak yang melibatkan pihak ketiga, seharusnya mendapatkan izin konsesi terlebih dahulu dari Kementerian Perhubungan cq. Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok," tukasnya.
Perpanjangan kontrak JICT juga disebut merugikan Negara. Dia menjelaskan, nilai jual perpanjangan JICT pada 2015 sebesar USD 215 itu lebih kecil dari nilai penjualan 20 tahun lalu sebesar USD 231 juta.
"Jika kontrak tidak diperpanjang, pendapatan Pelindo II sampai dengan 2019 sebesar Rp 2,99 triliun, sedangkan penghasilan sampai dengan 2039 mencapai Rp 36,5 triliun, total penghasilan Pelindo II sebesar Rp 39,49 triliun. Jika kontrak diperpanjang, pendapatan Pelindo II sampai dengan 2019 sebesar Rp 2,99 triliun, penghasilan sampai 2039 Rp 17,89 triliun. Total penghasilan Pelindo II sebesar Rp 20,85, lebih kecil dibanding pendapatan jika kontrak tidak diperpanjang."
(mdk/idr)