Percepatan Kebijakan Biodiesel Dikhawatirkan Berdampak Pada Kerusakan Lahan
Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arkian Suryadarma mengatakan, percepatan kebijakan tersebut akan berdampak pada alokasi lahan. Di mana untuk memproduksi CPO yang banyak tentunya diperlukan lahan yang luas.
Pemerintah Jokowi semakin agresif dalam menerapkan kebijakan biodiesel di Indonesia. Hal itu terlihat dari target bauran Fatty Acid Methyl Esters (FAME) dalam biodiesel sebesar 20 persen (B20) untuk tahun 2025.
Kemudian target tersebut diperbaharui menjadi Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 12 Tahun 2015 menjadi B30 yang telah diimplementasikan pada awal tahun 2020, dan akan diberlakukan hingga tahun 2025. Kebijakan ini rencananya akan terus dipercepat.
-
Apa itu biodiesel? Biodiesel adalah bahan luar biasa yang memiliki kualitas luar biasa karena dibuat dari minyak nabati dan hewani bekas. Minyak ini dibuat dengan mengolah minyak dengan alkohol untuk menghasilkan bahan bakar yang mampu membakar dan menggerakkan segala sesuatu mulai dari bus penumpang hingga unit pemanas, mengubah sisa minyak menjadi cara baru yang ampuh untuk berkeliling kota.
-
Mengapa kelapa sawit cocok dibudidayakan di Indonesia? Kelapa sawit hanya hidup di daerah tropis, seperti Indonesia, Malaysia, sebagian kecil wilayah Afrika, dan Amerika Latin.
-
Kapan minyak inti sawit dipanen? Buah kelapa sawit dipanen dari tandannya saat sudah matang.
-
Apa itu Minyak Inti Sawit? Minyak inti sawit atau yang juga dikenal dengan sebutan palm kernel oil adalah minyak nabati yang diekstraksi dari biji (inti) buah kelapa sawit (Elaeis guineensis).
-
Di mana penanaman kelapa sawit pertama kali dilakukan secara komersial di Indonesia? Sejak 1910, kelapa sawit banyak dibudidayakan secara komersial dan meluas di Sumatera.
-
Apa manfaat kelapa sawit untuk kesehatan manusia? Minyak goreng yang berasal dari kelapa sawit adalah salah satu bahan pokok yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk memasak berbagai macam makanan. Minyak goreng kelapa sawit memiliki kandungan lemak jenuh yang rendah dan lemak tak jenuh yang tinggi, sehingga dapat membantu menurunkan kadar kolesterol dan mencegah penyakit jantung.
Menanggapi hal tersebut, juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arkian Suryadarma mengatakan, percepatan kebijakan tersebut akan berdampak pada alokasi lahan. Di mana untuk memproduksi CPO yang banyak tentunya diperlukan lahan yang luas.
"Dengan adanya tambahan kebutuhan untuk biodiesel akan adanya risiko kenaikan potensi deforestasi lebih besar untuk memenuhi kebutuhan CPO untuk produksi biodiesel," kata Arkian dalam Ngopi Chapter 1: Dilema Kebijakan Biodiesel, Minggu (28/2).
Sehingga dilihat dari defisit CPO jika blendingnya B30 maka Pemerintah Indonesia memerlukan penambahan lahan sebanyak 5,2 juta hektare. Sedangkan untuk blending B50 dibutuhkan lahan seluas 9,2 juta hektare untuk produksi CPO.
Lebih lanjut Arkian menjelaskan, dilihat data dari Kementan luas lahan perkebunan sawit Indonesia sekitar 16 juta hektar. Kemudian untuk mempercepat kebijakan biodiesel, maka akan menyebabkan ekspansi lahan yang luas.
"Kalau dilihat penambahannya 9 juta atau nanti B100 kebutuhan tanahnya akan menambah, maka konversi lahannya akan besar-besaran. Bukan hanya dari Kalimantan atau Sumatera yang sudah banyak perkebunan sawit, tetapi ini akan menggeser ke daerah-daerah baru seperti Papua," ujarnya.
Dengan begitu, Greenpeace Indonesia menilai hutan primer di Papua yang akan digunakan untuk perluasan lahan biodiesel tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan masalah-masalah baru, seperti masalah dengan masyarakat adat di Papua, dan lainnya.
Selain itu yang dikhawatirkan lainnya terkait ketahanan pangan. Menurutnya dengan adanya kenaikan pressure dari biodiesel akan lebih banyak lahan yang tadinya untuk pangan menjadi perkebunan minyak sawit. "Lahan-lahan yang bagus untuk perkebunan pangan itu di convert jadi perkebunan sawit," pungkasnya.
Butuh Komitmen Pemerintah
Peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, Bisuk Abraham Sisungkunon menyebut bahwa komitmen dan konsistensi pemerintah dibutuhkan guna memastikan aspek keberlanjutan dari produksi biodiesel dalam negeri.
"Tahun lalu ada Perpres nya, setiap perusahaan perkebunan itu wajib mempunyai sertifikasi ISPO dan di dalam ISPO itu dijamin bahwa ketinggian air gambutnya harus sekian dan juga tidak boleh ada konflik lahan segala macam," kata Bisuk dalam Ngopi Chapter 1: Dilema Kebijakan Biodiesel, Minggu (28/2).
Perpres yang dimaksud adalah Perpres nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) diwajibkan bagi seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit dan petani sawit.
"Dan ISPO penerbitan sertifikasinya melibatkan auditor independen, jadi penerbitan sertifikasi ISO bisa kita katakan perusahaan yang sudah tersertifikasi ISPO itu dia sudah memenuhi aspek keberlanjutan secara legal," katanya.
Namun, hingga Maret 2020, total luas kebun yang telah tersertifikasi ISPO baru mencapai 5,4 juta hektar atau ekuivalen dengan 37 persen dari keseluruhan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
"Artinya Pemerintah perlu komitmen yang lebih tinggi kalau memang kita ingin melepaskan jaket ketidakberlanjutan dari industri biodiesel maupun industri kelapa sawit," ujarnya.
Kemudian Bisuk mempertanyakan, bagaimana posisi biodiesel dalam kerangka ketahanan energi di jangka Panjang. Padahal Pemerintah Indonesia sendiri telah mengembangkan peta jalan pengembangan kendaraan listrik di dalam negeri.
"Apakah produk biodiesel yang tengah dikembangkan saat ini masih bisa terserap di masa depan?" tanyanya.
Dia meminta agar memastikan arah kebijakan Pemerintah terkait pengembangan jangka Panjang biodiesel.
Reporter: Tira Santia
Sumber: Liputan6.com
(mdk/idr)