Petani Teh Rakyat Masih Rentan Hadapi Kondisi Pasar yang Dinamis
Di tengah tren konsumsi teh global yang terus meningkat, kondisi sektor teh tanah air justru semakin melesu. Penurunan kinerja ini sama-sama dihadapi oleh ketiga pelaku utamanya, yaitu Perkebunan Besar Negara, Perkebunan Besar Swasta, dan Perkebunan Rakyat.
Produk teh di Indonesia berperan penting sebagai penyumbang devisa negara, pengentasan kemiskinan masyarakat desa, dan pelestarian lingkungan. Menurut data Kemenko Perekonomian pada tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat ketiga belas eksportir teh terbesar dunia yang memasok 45.265 ton teh atau senilai USD96.326 ribu.
Namun di tengah tren konsumsi teh global yang terus meningkat, kondisi sektor teh tanah air justru semakin melesu. Penurunan kinerja ini sama-sama dihadapi oleh ketiga pelaku utamanya, yaitu Perkebunan Besar Negara, Perkebunan Besar Swasta, dan Perkebunan Rakyat.
-
Kapan Kebun Teh Panglejar mulai ditanami teh? Namun kopi yang ditanam di sini mengalami kemunduran yang cukup parah. Kemudian pada 1893 hingga 1911, kebun itu mulai ditanami tanaman teh.
-
Bagaimana proses pengolahan teh di Kebun Teh Sikatok? Para petani lokal akan dengan murah hati memperlihatkan cara mereka memetik daun teh yang masih muda, lalu diolah menjadi teh yang siap untuk diseduh.
-
Kenapa Kebun Teh Panglejar mengalami kemajuan? Melalui seorang pengusaha asal Inggris, DC Boutmy, kebun teh itu mengalami kemajuan yang signifikan. Apalagi lokasinya cukup dekat dengan Stasiun Kereta Api Padalarang.
-
Kapan Kebun Teh Jangkung mulai ditanami? Menurut sebuah plang penanda di lokasi tertulis jika kebun teh sudah ditanami oleh para petani setempat sejak tahun 1896, dengan luas total sekitar 1 hektare.
-
Bagaimana proses perubahan tanaman di Kebun Teh Sirah Kencong? Pada tahun 1915 perkebunan Sirah Kencong mulai melakukan rotasi tanaman karena kina sudah melewati usia produktif. Selanjutnya perkebunan mengganti tanaman kina dengan tanaman kopi.
-
Apa daya tarik utama Kebun Teh Sirah Kencong? Wisatawan bisa menikmati pemandangan asri dengan udara segar karena kebun teh ini terletak di dataran tinggi yang jauh dari polusi.
Kendati demikian, petani kecil yang mengelola kebun secara mandiri merupakan pihak yang paling rentan. Petani dengan sederet keterbatasan modal, kemampuan, dan teknologi umumnya kurang luwes dalam menghadapi kondisi pasar yang dinamis.
Hingga 46 persen perkebunan teh Indonesia digarap oleh petani, sedangkan 34 persen dikelola oleh negara dan 20 persen dikelola oleh swasta. Meskipun mempunyai area perkebunan terluas, ironisnya produktivitas kebun teh rakyat justru yang paling kecil.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) di 2021, dari 144.064 ton produksi teh kering Indonesia pada 2020, sebanyak 40 persen dihasilkan oleh Perkebunan Besar Negara, 35 persen oleh Perkebunan Rakyat, dan 25 persen oleh Perkebunan Besar Swasta.
Hal ini dikarenakan mayoritas petani teh masih menjual pucuk basah, sehingga belum ada nilai tambah produk dan harga masih bergantung pada pengepul di daerah masing-masing. Akibatnya, petani sering kali menerima berapapun harga yang ditentukan pengumpul atau pabrik pengolahan. Sehingga terbentuk relasi kuasa yang tidak seimbang karena jumlah pengumpul jauh lebih sedikit dari jumlah petani di satu wilayah.
Maka tak heran bila sejumlah petani mulai meninggalkan kebun teh dan mencari alternatif pekerjaan lain, seperti buruh, karyawan, atau pedagang. Generasi muda saat ini pun tidak tertarik melanjutkan teh yang sudah menjadi warisan turun-temurun, kebanyakan dari mereka memilih merantau untuk mendapat upah lebih baik.
Kondisi ini diperparah dengan laju penurunan areal perkebunan teh, di mana selama dua dasawarsa terakhir mengalami penurunan rata-rata sebesar 1000 hektar per tahun. Secara nasional, areal perkebunan teh telah banyak berkurang, dari 166.867 hektar pada 2001 menjadi 144.064 hektar pada 2020 (BPS 2021). Teh tidak lagi dipandang menguntungkan bagi petani, sehingga banyak yang melakukan alih fungsi lahan menjadi komoditas lainnya.
Di sisi lain, pengolahan mandiri untuk memotong rantai pasok belum banyak dilakukan oleh kelompok dan koperasi tani. Alasannya beragam, mulai dari akses modal susah, manajemen kurang, hingga dependensi pada bantuan pemerintah dan lembaga pendamping.
"Posisi petani berada di paling ujung rantai pasok dengan segala keterbatasannya. Ketergantungan yang besar dengan pelaku lain juga semakin menempatkan mereka pada posisi tawar yang rendah, sehingga harus ada solusi inovatif untuk mengubah kondisi tersebut. Salah satunya adalah seperti yang kami (paguyuban) lakukan bersama para petani dengan membangun produk teh rakyat yang telah kami beri nama brand 'Teh nDeso'," kata Ketua Paguyuban Tani Lestari Waras Paliant di Jakarta, Minggu (4/12).
Di samping itu, membanjirnya impor teh di pasaran Indonesia juga disebabkan konsumen Indonesia yang lebih menghendaki produk teh dengan harga murah. Hal itu membuat para pengusaha minuman dengan bahan baku teh, lebih memilih mengimpor teh berkualitas rendah dengan harga yang lebih murah.
Jika kondisi ini berlanjut, tentu dapat merugikan sektor teh Indonesia dan pastinya akan memberikan dampak negatif bagi seluruh petani teh. Untuk itu, Direktur Indonesian Tea Marketing Asisociation (ITMA) Ratri Kustanti mengatakan, akan selalu memberikan support pada produk teh rakyat.
"Karena masa depan industri teh Indonesia sangat bergantung pada Perkebunan Rakyat, mengingat dominasi kepemilikan lahan ada pada mereka. Maka dari itu, kami mengajak generasi muda terutama yang bergerak di sektor F&B, Kafe, dan UKM pangan untuk ikut membantu mempromosikan dan menggunakan produk yang dihasilkan dari teh rakyat," jelasnya.
Sedikit demi sedikit, para petani kini mulai menyadari peran pentingnya di rantai pasok dan melakukan upaya perbaikan kolektif melalui kelompok atau koperasi tani. Di antaranya dengan mendayagunakan koperasi sebagai pengumpul untuk memangkas rantai pasok, mengimplementasikan Good Agricultural Practice, hingga diversifikasi produk untuk meningkatkan nilai tambah hasil panen.
Bahkan, sejumlah sentra teh Indonesia telah mengembangkan merek teh daerahnya masing-masing yang diproduksi secara mandiri sebagai aktualisasi keterlibatan petani di ranah industri agribisnis. Salah satunya Teh nDeso, sebuah brand teh yang dibangun Paguyuban Tani Lestari dan diproduksi langsung dari perkebunan teh rakyat di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Melalui unit usaha ini, petani tidak hanya menjadi produsen bahan baku saja, tetapi juga sebagai pemilik brand dan pelaku bisnis di industri teh. Dengan demikian, kehidupan keluarga petani dapat menjadi lebih baik seiring dengan peningkatan kapasitas SDM, perbaikan kebun teh rakyat, dan daya saing produknya.
Menurut Nanang Christianto selaku pengelola brand Teh nDeso, produk teh ini diproduksi dari pucuk teh berkualitas yang hanya diambil dari perkebunan teh rakyat dengan sortasi dan manajemen mutu yang terjamin agar mempunyai cita rasa dan aroma khas. Teh nDeso juga sudah mendapatkan standar LESTARI yang memastikan bahwa praktik budidaya dan pengolahan teh sudah memperhatikan aspek sosial dan lingkungan berdasarkan prinsip berkelanjutan.
"Kami memberikan harga yang adil untuk petani-petani kami karena mereka sudah melakukan proses budidaya sesuai dengan standar LESTARI. Sehingga Teh nDeso ikut mempertahankan eksistensi perkebunan teh rakyat juga memberikan kualitas teh terbaik untuk konsumen Indonesia. Teh nDeso juga menjadi salah satu ujung tombak teh rakyat yang membantu dan mendukung perkebunan teh rakyat mulai dari hulu hingga ke hilir." kata Nanang.
Peningkatan minat konsumen domestik terhadap teh kini mulai terlihat dari maraknya kafe-kafe yang menawarkan sajian teh yang digemari kaum muda. Marilah kita sebagai masyarakat Indonesia berpartisipasi dalam transformasi sektor teh Indonesia dan memaksimalkan momentum ini, demi menjaga keberlangsungan teh Indonesia agar tidak punah.
(mdk/azz)