Prabowo Umumkan Menteri Kabinet di Istana Negara Usai Dilantik jadi Presiden
Usai dilantik sebagai presiden, Prabowo akan mengumumkan kabinetnya di Istana Negara.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra sekaligus Ketua MPR, Ahmad Muzani menyampaikan usai dilantik sebagai presiden periode 2024-2029, Prabowo Subianto akan langsung bertandang ke Istana Negara. Di sana, Joko Widodo akan menyambut Prabowo.
"Besok beliau akan menuju istana. Kemudian sebelum perjalanan rencananya Pak Jokowi akan mendahului menuju istana dan kemudian Pak Jokowi akan menyambut presiden yang baru dilantik," kata dia di Kompleks MPR, Sabtu (19/10).
Muzani menyampaikan, pertamuan Prabowo dan Jokowi di istana Negara hanya singkat. Sebab, Jokowi akan langsung Kembali ke kampung halamannya di Solo, Jawa Tengah.
Selepas bertemu Jokowi, Prabowo akan mengundang para kepala negara untuk makan malam Bersama. Masih di hari yang sama, kata Muzani, Prabowo akan menyampaikan pengumuman kabinet.
"Malamnya baru dinner kepala negara, setelah itu mengumumkan kabinet," ucap dia.
Kabinet Gemuk
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyoroti kandidat yang dipanggil Prabowo untuk menjadi menteri dan wakil menteri, berasal dari kalangan politisi, dengan proporsi mencapai 55,6 persen atau 60 dari 108 nama.
Sementara itu, profesional dan teknokrat hanya mengisi 15,7 persen atau 17 nama. Adapun kalangan militer dan kepolisian (TNI/Polri) mengisi 8,3 persen, diikuti pengusaha 7,4 persen, tokoh agama 4,6 persen, dan selebriti 2,8 persen. Dari segi akademisi, proporsi mereka sangat kecil, yakni hanya 5,6 persen dari total kandidat.
CELIOS juga mencatat bahwa dari kalangan politisi tersebut, sebanyak 45 kandidat memiliki afiliasi partai. Partai Gerindra mendominasi dengan proporsi 26,7 persen atau 12 kandidat. Posisi berikutnya ditempati Partai Golkar dengan 24,4 persen atau 11 orang. Sementara Demokrat, PAN, dan PKB masing-masing mendapat jatah 8,9 persen atau 4 orang.
Peneliti CELIOS, Galau D. Muhammad, mengkritik komposisi ini menimbulkan kekecewaan, baik secara moral maupun ekonomi. Ia mengkhawatirkan pembagian jabatan yang luas justru akan memperbesar risiko pemborosan anggaran.
"Menteri yang diangkat berarti akan meningkatkan belanja negara, termasuk gaji para staf pendukung, pengadaan mobil dinas, fasilitas kantor, hingga pembayaran gaji pensiun bagi menteri dan wakil menteri tersebut,” ucap Galau dalam keterangan tertulisnya, Kamis (17/10).
Hanya Akan Menguntungkan Segelintir Kelompok Dibanding Masyarakat
Dia menambahkan, meningkatnya beban anggaran ini memperparah kondisi fiskal yang rentan, terutama di tengah jatuh temponya utang pemerintah dan penurunan penerimaan pajak.
Galau memproyeksikan adanya potensi pembengkakan anggaran hingga Rp1,95 triliun dalam lima tahun mendatang. Angka tersebut belum memperhitungkan biaya pembangunan gedung dan fasilitas baru bagi lembaga atau kementerian tambahan.
Hal serupa juga diungkapkan oleh, Peneliti CELIOS lainnya, Achmad Hanif Imaduddin, memperingatkan dampak negatif dari kabinet gemuk tidak hanya berupa pemborosan fiskal, tetapi juga memperlebar ketimpangan ekonomi.
“Meskipun gaji menteri relatif kecil dibandingkan jabatan lain, posisi ini dapat membawa dampak ekonomi yang luas, seperti kenaikan nilai saham perusahaan yang dimiliki oleh menteri yang dapat dilihat sebagai manfaat dari akses kekuasaan,” ujar Hanif.
Ia juga menyebut situasi ini menciptakan ketimpangan baru di masyarakat karena para pejabat mendapat keuntungan ganda baik melalui jabatan publik maupun aktivitas bisnis pribadi.
Prabowo sebelumnya berargumen sebagai negara besar, Indonesia memerlukan banyak menteri agar pemerintahan berjalan efektif. Namun, CELIOS menilai klaim ini perlu ditinjau ulang dengan melihat perbandingan internasional.
Di Amerika Serikat, misalnya, dengan populasi sekitar 346 juta orang, hanya ada 15 departemen setingkat kementerian. China, dengan populasi lebih dari 1,4 miliar jiwa, memiliki 21 kementerian.
Sementara itu, Indonesia, dengan jumlah penduduk sekitar 275 juta, memiliki 46 kementerian jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan kedua negara tersebut.
Menurut Hanif, fakta ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah kementerian tidak selalu berarti peningkatan efisiensi dan efektivitas. Sebaliknya, birokrasi yang terlalu besar berpotensi menciptakan inefisiensi dan membebani anggaran negara.