Regulasi Tembakau Makin Ketat, Jutaan Nasib Pekerja Terancam
Tembakau sebagai ekosistem yang memiliki jutaan nasib.
Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dinilai tidak sesuai dengan kondisi industri tembakau sebagai komoditas yang telah menjadi budaya terbesar di Indonesia.
Anggota Komisi IX Fraksi Partai Golkar DPR RI Yahya Zaini yang mengatakan bahwa pengaturan terkait tembakau semestinya tetap diberikan ruang hidup dan pengaturannya tidak boleh terlalu ketat. Yahya menegaskan kembali tembakau sebagai ekosistem yang memiliki jutaan nasib yang bergantung pada komoditas ini, berbeda dengan negara lainnya yang telah meratifikasi FCTC.
- Banyak Tantangan Industri Tembakau, Ribuan Petani Khawatir Kehilangan Mata Pencarian
- Aturan Rokok Kemasan Polos Disebut Ancam Mata Pencaharian 2,5 Juta Petani Tembakau, Benarkah?
- Tak Hanya Industri, Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Buat Pedagang Asongan hingga Petani Rugi
- Buruh Kritik RPP Kesehatan, Dianggap Dibahas Diam-Diam
“Sebaiknya regulasi tembakau jangan terlalu ketat karena ekosistem kita ini sangat berbeda dengan negara-negara lain yang tidak punya pabrik dan perkebunan tembakau seluas di negara kita. Kalau masih mau diberikan ruang hidup, jangan terlalu ketat,” kata dia dilansir dari Liputan6.com, Minggu (22/9).
Yahya juga menyayangkan nirpartisipasi penyusunan regulasi yang berdampak ke banyak pihak ini sejak kemunculan RPP Kesehatan di publik.
“Jangankan masyarakat tembakau, anggota DPR Komisi IX saja tidak dilibatkan dalam pembahasan PP 28/2024. Kami berharap dapat dilibatkan kembali atau dilaporkan hasilnya karena terus terang hal itu tidak dilakukan. Kita juga protes tapi suara kami tidak didengar,” keluhnya.
Selain tidak adanya partisipasi publik, anggota Komisi XI Fraksi Partai Golkar DPR RI Misbakhun berpesan bahwa negara harus hadir dalam regulasi yang rasional berdasarkan tata cara dan penyusunan UU. Karena negara perlu berhati-hati dengan adanya intervensi asing dan anti tembakau yang ingin menekan ekosistem melalui berbagai regulasi yang pasal-pasalnya mengacu secara tidak langsung pada FCTC.
“Dengan isu yang dibawa melalui PP 28/2024, itu kita sudah kocar-kacir. Padahal, kalau menurut saya PP 28/2024 ini jelas sekali adalah konsolidasi kelompok anti tembakau dan intervensi asing yang ingin menyampaikan bahwa tembakau itu hanya berkaitan dengan kesehatan semata. Inilah yang perlu menjadi perhatian kita,” ungkapnya.
Sebagai industri nasional satu-satunya yang tersisa di tengah gempuran intervensi asing, Misbakhun kembali tekankan masa depan industri hasil tembakau dan imbas yang akan terjadi pada pertembakauan jika regulasi tidak ditempatkan secara proporsional. Pemerintah harus membawa negara yang adil dan menempatkan komoditas tembakau dengan objektif, tidak hanya melihatnya dari sisi kesehatan saja.
“Karena ada peran tembakau yang luar biasa, ada hak buruh, petani, dan lainnya yang harus dijaga dan dilindungi nasibnya karena melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah adalah amanat konstitusi,” tegasnya.
Dampak Tarif Cukai Naik
Sejumlah perwakilan ekosistem pertembakauan menilai aturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah, mulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, rencana kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), hingga rencana kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2025, merupakan beban tambahan yang dapat mematikan keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman Mudhara, mengatakan rencana kenaikan tarif cukai rokok akan jadi beban tambahan IHT.
“Beban cukai kita saat ini sudah sangat berat. Jadi, jangan dinaikkan lagi (pada tahun 2025) karena akan bertambah lagi bebannya. Sekarang sudah berat, kalau ditambahkan kenaikan sedikit saja, maka semakin berat (bebannya),” katanya.
Menurutnya, dengan fakta bahwa penerimaan negara (dari cukai) yang terus turun, maka sebenarnya menunjukkan beban kenaikan CHT yang sudah terlampau tinggi. “Kenaikan cukai ini saya rasa sudah sampai di limit, sehingga kinerja IHT jadi terganggu. Harapannya, cukai tidak akan naik lagi,” terangnya.
Budhyman menambahkan saat ini beban yang dipikul industri juga terasa semakin berat dengan terbitnya PP 28/2024 dan rencana kemasan rokok polos tanpa merek pada RPMK. Kebijakan pemerintah ini, kata Budhyman, sangat menggangu subsistem dan komponen ekosistem pertembakauan.
“Nah, seperti di case PP 28/2024 dan RPMK ini kan banyak pelarangan-pelarangan yang nanti akan menyebabkan hilir terganggu, membuat produksi menurun, sehingga otomatis hulunya akan terganggu juga. Tidak hanya itu, tenaga kerja juga akan turun, termasuk petani tembakau dan cengkih. Semuanya akan rugi,” imbuhnya.
Ancaman dari RPMK terkait kemasan rokok polos tanpa merek, kata Budhyman, juga semakin memberatkan IHT.
“Kami melihat PP28/2024 dan RPMK ini dari awal memang tidak inklusif. Padahal IHT merupakan satu-satunya industri nasional yang terlengkap dan terintegrasi dari hulu ke hilir, yang kontribusinya luar biasa signifikan. Justru kalau Kemenkes membuat aturan ini, seperti menempatkan IHT di ruang hampa dan kontribusi kami diabaikan. Kami jelas menolak pasal bermasalah dan diskriminatif dalam PP Kesehatan, termasuk kemasan rokok polos tanpa merek,” tegasnya.