Seperti di Indonesia, Angka Pengangguran di Korea Terus Meningkat
Beban kerja makin tinggi sementara gaji tidak sesuai menjadi salah satu pemicu warga Korea sulit mendapatkan pekerjaan layak.
Satu dari lima orang pengangguran tak kunjung mendapatkan pekerjaan meskipun telah berusaha selama lebih dari enam bulan. Tren ini merupakan kondisi yang cukup buruk sejak tahun 1999 saat puncak krisis keuangan Asia.
Dilansir dari The Korea Times, tren ini paling menonjol pada kelompok usia 15-29 tahun. Banyak dari mereka yang menyebutkan upah rendah dan jam kerja yang tidak menguntungkan sebagai alasan untuk tidak menerima pekerjaan, yang mengindikasikan ketidaksesuaian ekspektasi antara pencari kerja dan pemberi kerja secara keseluruhan.
Para pengamat memperingatkan bahwa pasar tenaga kerja Korea akan kehilangan vitalitasnya, dibatasi oleh kelompok usia ini dan orang-orang yang tidak mencari pekerjaan karena alasan tertentu yang dikategorikan sebagai "sedang istirahat" dalam survei ketenagakerjaan dan oleh karena itu dianggap tidak aktif secara ekonomi.
Menurut Statistik Korea, 564.000 orang masih menganggur pada bulan Agustus. Dari jumlah tersebut, 113.000, atau 20 persen, telah mencoba mencari pekerjaan setidaknya selama enam bulan.
Angka yang melampaui 100.000 ini mengkhawatirkan karena kejadian sebelumnya dikaitkan dengan pemutusan hubungan kerja besar-besaran antara Oktober 2020 dan Juli 2021 selama pandemi Covid-19.
Jumlah tersebut kemudian mencapai puncaknya, lalu mencatat tren naik selama enam bulan berturut-turut dari Maret hingga Agustus. Yang juga perlu diperhatikan adalah, angka bulan Agustus yang menaikkan rata-rata bulanan untuk Januari hingga Agustus menjadi 98.858, naik 10.448 dari periode yang sama tahun lalu.
Dari jumlah tersebut, kelompok umur 15 hingga 29 tahun berjumlah 32,4 persen, diikuti oleh mereka yang berusia 30-an (23,3 persen). Data hari Selasa kontras dengan penurunan dua bulan dalam jumlah pengangguran sejak Juli.
Pemicu Makin Sulit Mendapat Kerjaan
Data terpisah dari Statistik Korea menunjukkan bahwa 24,7 persen dari mereka yang tetap menganggur selama lebih dari enam bulan dengan pengalaman kerja kurang dari satu tahun mengatakan kondisi kerja yang tidak memuaskan mendorong mereka untuk tidak bekerja.
Ini adalah alasan kedua yang paling umum untuk tidak bekerja di antara mereka yang disurvei. Pekerjaan sementara atau musiman, yang terkait dengan posisi bergaji rendah jangka pendek, menduduki peringkat teratas dengan 26,4 persen.
Sektor grosir dan eceran menyumbang sebagian besar pekerjaan terakhir mereka sebesar 18,9 persen, diikuti oleh manufaktur sebesar 15,9 persen, dan perawatan kesehatan dan kesejahteraan sosial sebesar 13,7 persen.
Sementara itu, jumlah orang yang "beristirahat" melampaui 2,5 juta pada bulan Agustus, naik 10,6 persen, atau 245.000, dari tahun sebelumnya. Itu adalah angka tertinggi pada bulan Agustus yang dicatat lembaga tersebut dalam 21 tahun pengumpulan data terkait.
Kondisi yang Mirip dengan Indonesia
Riset Populis dan KitaLulus menyebut bahwa sebanyak 46 persen perusahaan kesulitan mencari calon karyawan. Hal ini disebabkan oleh kesenjangan dalam beberapa kriteria yang dibutuhkan pemberi kerja dengan tenaga kerja yang tersedia. Padahal BPS menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2024 mencapai 7,2 juta orang.
"Hasil analisis terhadap 1 juta data pelamar kerja dan permintaan tenaga kerja di job portal KitaLulus menyebutkan makin tinggi tingkat pendidikan yang diminta, maka makin tinggi pula kesenjangan dengan ketersediaan tenaga kerjanya," kata Head of Social Research Populix, Vivi Zabkie seperti ditulis Antara, Sabtu (24/8).
Riset Populix dan KitaLulus menunjukkan pencari kerja di Indonesia belum memiliki pengalaman, keterampilan dan tingkat pendidikan yang cukup bagi pemberi kerja.
Keterampilan yang dimaksud mencakup keterampilan teknis dan non teknis dan sebanyak 50 persen perusahaan menyebut keterampilan teknis pelamar masih pemula/rendah, sedang sebanyak 35 persen perusahaan menyebut keterampilan lunak (soft skill) pelamar belum cukup baik.
Sementara tingkat pendidikan yang dibutuhkan oleh perusahaan juga timpang dengan tenaga yang tersedia.
Menurut Vivi, pada sisi lain, pencari kerja melalui survei Populix mengeluhkan sulitnya mencari kerja. Saat diminta menilai tingkat kesulitan dalam mencari kerja, rata-rata memberi skor 5,02 (pada rentang 1-10) atau terhitung cukup sulit.
Tantangan yang dihadapi pekerja adalah kebutuhan akan pengalaman yang tinggi (63 persen), tingkat pendidikan yang tinggi (58 persen), dan adanya batasan usia (53 persen) dianggap sebagai hambatan.
“Masih dari data job portal yang kami analisis, jika dilihat lebih dalam terkait dengan pendidikan, terjadi mismatch antara jumlah pencari kerja dengan jumlah lowongan yang tersedia,” katanya.
Ketersediaan Lowongan Kerja
Ketersediaan jumlah lowongan untuk tingkat SMP (13 persen), S1 (16 persen) dan S2 (19 persen) masih sedikit dibandingkan dengan jumlah pencari kerjanya. Di samping itu, secara rasio jumlah pencari kerja, pencari kerja lulusan IPS dan IPA cukup banyak, namun rasio lowongan kerja yang tersedia sedikit.
Co-Founder KitaLulus Stevien Jimmy mengatakan secara umum temuan survei Populix dan big data KitaLulus sejalan, kualifikasi yang sering menjadi ketidakcocokan antara yang dimiliki dan diminta dalam lowongan kerja adalah jumlah pengalaman kerja, keterampilan teknis dan tingkat pendidikan.
“Oleh karena itu, KitaLulus berusaha membantu para pencari kerja dengan menyediakan fitur AI yang membantu menilai dan merekomendasikan kandidat terbaik terhadap kebutuhan loker pemberi kerja,” ujar Jimmy.
Jika dilihat lebih dalam, responden pencari kerja yang saat ini belum memiliki pekerjaan lebih banyak yang merasa insecure karena lebih banyak mengungkapkan kesulitannya, seperti pengalaman yang dibutuhkan terlalu tinggi (68 persen), tingkat pendidikan yang dibutuhkan terlalu tinggi (59 persen), serta khawatir akan banyaknya saingan (53 persen).
Meski begitu secara umum, pencari kerja tetap coba melamar walaupun kualifikasi syarat yang tertera pada lowongan lebih tinggi.
Syarat yang lebih banyak coba tetap dilamar adalah soft skill, pengalaman, dan keterampilan teknis. Sedangkan batasan usia, tingkat pendidikan, dan keterampilan bahasa tetap coba dilamar, tetapi tidak sebanyak yang lain.
Riset Populix dan KitaLulus mengenai ketimpangan antara lowongan dan tenaga kerja disusun berdasarkan 3 data survei, yaitu survei kepada 1330 pencari kerja, survei terhadap 530 pencari kerja, dan survei kepada 100 perusahaan serta analisis terhadap 1 juta data dari job portal KitaLulus. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni 2024.