Sri Mulyani: Indonesia Jadi Negara Maju Tak Berpengaruh Besar ke Perdagangan
Keputusan Negara Paman Sam tersebut juga tidak berpengaruh besar terhadap fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang selama ini telah dinikmati Indonesia sebagai salah satu negara berpendapatan menengah.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa keputusan Amerika Serikat mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang tak memberi pengaruh besar bagi perdagangan. Sebab, keputusan AS tersebut lebih spesifik kepada tambahan bea masuk atau Countervailing Duties barang Indonesia.
"Sebenarnya kalau dilihat dari pengumuman itu lebih ke countervailing duty (CVD) dan itu sangat spesific untuk CVD. Dan itu selama ini di Indonesia hanya sekitar 5 komoditas yang menikmati itu jadi sebetulnya ngga terlalu besar sekali pengaruhnya kepada perdagangan kita," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (24/2).
-
Sri Mulyani bertemu Presiden Jokowi, apa tujuan pertemuannya? Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani diagendakan menemui Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Jumat (2/2) siang. Sri Mulyani akan melaporkan hal-hal terkait anggaran pendapatan belanja negara (APBN) tahun 2024.
-
Di mana Sri Mulyani dilahirkan? Sri Mulyani lahir di Tanjung Karang, Lampung, 26 Agustus 1962.
-
Apa yang dilakukan Kemenkumham untuk meningkatkan perekonomian Indonesia? Menurut Yasonna, dengan diselenggarakannya Temu Bisnis Tahap VI, diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan perekonomian Indonesia.
-
Apa yang dilakukan Sri Mulyani setelah bertemu dengan Jokowi? Namun, Sri Mulyani enggan bicara banyak setelah rapat bersama Jokowi. Dia menolak memberikan pernyataan dan enggan tanya jawab dengan awak media. Sembari menjawab singkat, ia cuma menunjukkan gestur minta maaf dengan tangannya.
-
Apa yang Sri Mulyani tunjukkan kepada cucunya? Sri Mulyani juga memperlihatkan pekerjaannya kepada cucu yang lebih besar.
-
Apa yang menurut Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, merupakan kekuatan Indonesia? Keberagaman yang dimiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam segala bentuknya, adalah sebuah kekuatan yang harus dirangkul.
Sri Mulyani melanjutkan, keputusan Negara Paman Sam tersebut juga tidak berpengaruh besar terhadap fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang selama ini telah dinikmati Indonesia sebagai salah satu negara berpendapatan menengah.
"CVD ini berbeda dengan GSP, jadi dan tidak ada hubungannya dengan berbagai hal yang lain. Jadi kita akan lihat. Tidak ada hubunganya itu sama sekali," jelasnya.
Selama ini hanya terdapat lima komoditas Indonesia yang menikmati fasilitas CVD. Walau demikian, dia berharap Indonesia terus meningkatkan daya saing (competitiveness) sebagai negara berpendapatan menengah.
"Jadi ya memang harus terus meningkatkan competitiveness kita saja. Kalau dari sisi itu kan yang selama ini menjadi pusat perhatian Presiden. Produktivitas, competitiveness, connectivity, itu semua yang akan menciptakan cost of product yang lebih efisien," jelas Sri Mulyani.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut berharap fasilitas GSP dari pemerintah AS bisa tetap dipertahankan. "GSP masih belum ditetapkan, jadi kita akan tetap lakukan upaya terbaik untuk tetap dapat GSP itu. Dan tentu kita juga akan lihat dari sisi industri kita untuk semakin kompetitif," tandasnya.
Tujuan Donald Trump Masukkan Indonesia Kategori Negara Maju
Indonesia saat ini disebut sudah tidak lagi termasuk negara berkembang. Keputusan itu bukan dari Bank Dunia, melainkan versi Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (United Stated Trade Representative atau USTR).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara melihat, pernyataan Amerika Serikat tersebut merupakan intrik Presiden AS, Donald Trump untuk menekan defisit dagang AS dengan Indonesia.
Bhima mengatakan, syarat suatu negara dipredikatkan sebagai negara maju ialah dengan melihat pendapatan per kapitanya. "Biasanya versi negara berkembang itu merujuk pada bank dunia," ujar Bhima saat dihubungi Merdeka.com, di Jakarta, Senin (24/2).
Bhima menjelaskan, suatu negara bisa disebut sebagai negara menengah atau berkembang, ialah jika pendapatan per kapitanya sebesar USD 1.026 sampai USD 12.375. Sedangkan negara maju, pendapatan per kapitanya diatas USD 12.375 ke atas.
"(Sedangkan) Indonesia (ada di tingkat) USD 3.840, jadi Indonesia masih tergolong negara berkembang versi Bank Dunia (World Bank). Masalahnya, Trump tidak menggunakan dasar yang sama dengan Bank Dunia. Ini lebih ke intrik Trump, untuk menekan defisit dagang AS dengan Indonesia," papar Bhima.
Dampak Diderita Indonesia
Dengan itu, Bhima mengatakan ada dampak yang berimplikasi besar yang akan diterima Indonesia, di antaranya dikeluarkannya Indonesia sebagai negara penerima fasilitas Generalized System of Preferences (GSP). "Yang selama ini, banyak pelaku usaha menikmati fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS."
"GSP ini diberikan pada negara berkembang dan miskin, kalau Indonesia tidak masuk GSP lagi kita akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk," kata Bhima.
Dengan itu, Bhima memperkirakan ekspor ke pasar AS bisa terancam menurun, khususnya sektor tekstil dan pakaian jadi. "Ini ujungnya memperlebar defisit neraca dagang, setelah sebelumnya pada Januari 2020 defisit mencapai USD 864 juta."
"Tercatat dari Januari sampai November 2019, ada USD 2,5 miliar, nilai ekspor Indonesia dari pos tarif GSP. Sebagai catatan, ada total 3.572 produk indonesia yang dapat GSP," tambah Bhima.
(mdk/idr)