Target Pertumbuhan Ekonomi 5,8 Persen Dinilai Terlalu Memaksakan
Anggota DPR RI, Ade Rizky menilai asumsi atau koreksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 sampai 5,8 persen memberikan kesan pemerintah memaksakan pertumbuhan ekonomi yang harus lebih dari 5 persen. Menurutnya hal tersebut malah bisa menjadi bumerang bagi pemerintah.
Anggota DPR RI, Ade Rizky menilai asumsi atau koreksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 sampai 5,8 persen memberikan kesan pemerintah memaksakan pertumbuhan ekonomi yang harus lebih dari 5 persen. Menurutnya hal tersebut malah bisa menjadi bumerang bagi pemerintah. Apalagi tahun-tahun sebelumnya target pertumbuhan ekonomi pemerintah juga selalu meleset.
"Pada tahun 2019, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen namun realisasinya hanya mencapai 4,02 persen padahal hal itu belum terjadi pandemi Covid-19. Dan pada tahun 2020 yang telah direvisi karena dampak pandemi realisasinya juga masih macet dengan kontraksi minus 2,07 persen," ucap Ade Rizk saat membacakan Pandangan Fraksi Partai Gerindra terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) RAPBN Tahun Anggaran 2022 dalam sidang Paripurna DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (25/5).
-
Apa target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang disepakati DPR dan Pemerintah untuk tahun 2025? Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dan Pemerintah menyepakati target sasaran pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2025 mendatang berada pada rentang 5,3 persen sampai 5,6 persen.
-
Bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2023 dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya? Jika dibandingkan dengan kuartal II-2022, ekonomi RI mengalami perlambatan. Sebab tahun lalu di periode yang sama, ekonomi mampu tumbuh 5,46 persen (yoy).
-
Mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2023 meningkat dibandingkan dengan kuartal I-2023? “Pertumbuhan ekonomi kita secara kuartal (q-to-q) lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang ini sejalan dengan pola yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, yaitu pertumbuhan triwulan II selalu lebih tinggi dibandingkan di triwulan I,” terang Edy.
-
Bagaimana strategi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi? Oleh karena itu, pendekatan pembangunan perlu diubah dari reformatif menjadi transformatif yang setidaknya mencakup pembangunan infrastruktur baik soft maupun hard, sumber daya manusia, riset, inovasi, reformasi regulasi, tata kelola data dan pengamanannya serta peningkatan investasi dan sumber pembiayaan.
-
Apa yang menjadi catatan BPS tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2023? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 5,17 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal II-2023.
-
Apa yang dilakukan Kemenkumham untuk meningkatkan perekonomian Indonesia? Menurut Yasonna, dengan diselenggarakannya Temu Bisnis Tahap VI, diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan perekonomian Indonesia.
Pada Kuartal pertama tahun 2021, sambungnya, ekonomi masih belum mampu mencapai pemulihan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan angka positif. Masih mengalami kontraksi dengan minus 0,74 persen, meski pada pertengahan Februari 2021 pemerintah melalui Menteri Keuangan telah merevisi target pertumbuhan yang ditetapkan oleh APBN tahun 2021 dari kisaran 4,5 sampai 5,5 persen menjadi 4,3 sampai 5,3 persen.
"Jika pemerintah masih menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2021 pada rentang 4,3 persen, maka Fraksi Partai Gerindra DPR RI meyakini dan mendorong pemerintah agar lebih keras lagi harus mengejar pertumbuhan ekonomi pada Kuartal ke-2, 3 dan 4. Capaian pada Kuartal 1 tahun 2021 masih minus yang harus ditutup dengan pertumbuhan pada kuarter kuarter berikutnya," terangnya.
Fraksi Partai Gerindra DPR RI mengingatkan pemerintah bahwa jika asumsi pertumbuhan terlalu tinggi, jika realisasinya tidak sesuai dengan target perencanaan, maka akan berdampak pada pendapatan negara belanja negara dan defisit anggaran, hingga kebutuhan pembiayaan. Di mana, setiap 1 persen penurunan pertumbuhan ekonomi dari asumsi akan menurunkan pendapatan negara sebesar Rp16,8 triliun hingga Rp20,2 triliun.
"Belanja negara berpotensi turun Rp5,2 triliun rupiah hingga 7,8 triliun rupiah. Adapun defisit anggaran dan kekurangan pembiayaan berpotensi bertambah sebesar 11,5 triliun hingga 12,4 triliun rupiah," urai ANggota Komisi IX DPR RI itu.
Di sisi lain, Fraksi Gerindra juga menyoroti rasio utang pemerintah yang semakin meningkat dengan membebani APBN. Selain itu perlu diwaspadai posisi utang luar negeri Indonesia yang dicatat meningkat oleh Bank Indonesia. Tercatat akhir 2021 sebesar 415, 63 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp6056,59 triliun dengan kurs rupiah sebesar 14.572 per dolar AS.
Rasio utang pemerintah diproyeksikan PPKF 2022 akan ada kisaran 43,76 sampai 44,28 persen dari Product Domestic Bruto (PDB) signifikan dengan asumsi rasio hutang tahun 2021 sebesar 41 persen. Perlu diingat pula bahwa pada akhir tahun 2020 utang pemerintah telah mencapai Rp6074,56 triliun atau 38,68 persen dari PDB, bahkan lebih jauh dari akhir 2014 yang masih ada di kisaran 24 persen dari PDB.
Dia menjelaskan, rasio utang PDB Indonesia sering dikemukakan pemerintah sebagai alasan masih amannya utang pemerintah, bahkan beberapa kali disebut yang paling rendah di dunia. Hal ini memang didukung oleh data IMF fiskal moneter edisi April 2021 IMF menyajikan data rasio pemerintah Indonesia hanya 36,6 persen atas PDB pada tahun 2020, lebih rendah dari pada negara berkembang yang berpendapatan menengah mencapai 64,4 persen.
"Namun perlu diingat, bahwa masalah utang pemerintah, bukan hanya pada posisi rasio utang, melainkan pada bertambahnya beban pembayaran utang yaitu pelunasan pokok utang, pembayaran bunga hutang kemampuan pembayaran beban utang. Ini amat tergantung pada besarnya penerimaan negara," lanjutnya.
Data fiskal moneter April 2021, terangnya, IMF menyebutkan penerimaan negara-negara berkembang dan pendapatan menengah pada tahun 2020 mencapai 25,21 persen dari PDB, sementara itu rasio penerimaan Pemerintah tahun 2020 dilaporkan hanya 12, 36 persen dari PDB. Dengan demikian meski lebih baik dalam rasio utang, namun Indonesia masih lebih buruk dalam hal kemampuan membayar beban utang.
Laporan IMF tersebut juga membuat proyeksi penerimaan negara hingga tahun 2026 Indonesia hanya meningkat sedikit dari kondisi tahun 2020 yaitu menjadi 12 persen. Lagi-lagi jauh lebih rendah dari negara berkembang lainnya.
(mdk/azz)