Ternyata, Ini Alasan Pemerintah Larang Penjualan Produk Impor Harga di Bawah Rp1,5 Juta di Toko Online
Penjualan produk di TikTok shop sudah mengarah pada predatory pricing atau praktik menjual barang di bawah harga modal.
Salah satu alasannya adalah untuk melindungi UMKM dalam negeri.
Ternyata, Ini Alasan Pemerintah Larang Penjualan Produk Impor Harga di Bawah Rp1,5 Juta di Toko Online
Jaga UMKM agar Tak Bangkrut
Menteri Koperasi dan UKM (MenKop-UKM), Teten Masduki menegaskan bahwa Indonesia harus segera membuat regulasi yang mengatur perdagangan digital sebelum banyak pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang mengalami kebangkrutan. Teten menyampaikan, perkembangan teknologi dengan cepat mengubah pola belanja konsumen dari e-commerce ke social commerce. Hal ini sangat berdampak pada penjualan UMKM lokal karena harga yang ditawarkan sangat murah.
- TikTok Ingin Gabung Tokopedia, Teten: Jangan Ada Lagi Praktik Predatory Pricing!
- Banyak Artis Jual Produk Impor Murah Secara Online, UMKM Tak Bisa Bersaing
- Arahan Menkop Teten, KPPU Bakal Pelajari Dugaan Predatory Pricing TikTok
- Terungkap, Ini Tujuan Pemerintah Larang E-Commerce Jual Barang Impor Harga di Bawah Rp1,5 Juta
"Banyak pengalaman di India, Inggris dan negara lain, kalau kita terlambat membuat regulasinya, pasar digital kita akan dikuasai oleh produk dari luar terutama dari China," ujar Teten dikutip dari Antara, Kamis (27/7).
Salah satu contoh social commerce yang menjual harga dengan sangat murah adalah TikTok Shop. Menurut Teten, penjualan produk pada platform tersebut sudah mengarah pada predatory pricing atau praktik menjual barang di bawah harga modal.
"Mereka bisa memproduksi barang yang begitu murah sehingga yang terjadi di sini adalah predatory pricing bukan dumping lagi, sudah tidak masuk akal harganya," kata Teten.
Teten mengatakan, untuk melindungi UMKM pemerintah harus mengatur tiga hal yakni pelarangan cross border commerce dari luar Indonesia. Ritel online yang berasal dari luar Indonesia tidak diperbolehkan untuk menjual produknya secara langsung kepada konsumen.
Selain itu, produk dari luar harus masuk Indonesia sesuai dengan mekanisme impor yang sudah berlaku. Setelah itu, produk baru bisa dipasarkan melalui e-commerce maupun social commerce. "Karena kalau langsung gitu, enggak bisa bersaing dengan UMKM kita. Karena UMKM kita harus ngurus izin edar, SNI, harus ngurus sertifikat halal dan sebagainya, sedangkan mereka enggak perlu ngurus," ujar Teten.Selanjutnya, platform digital luar negeri tidak diperbolehkan untuk menjual produk yang berasal dari afiliasi bisnisnya. Sebab, dengan teknologi algoritma yang dimiliki oleh sosial media, maka akan lebih mudah untuk menarik konsumen membeli produk yang terafiliasi dengan bisnisnya.
Ketiga, penetapan harga batas minimum USD 100 atau Rp1,5 juta untuk barang impor. Selain itu, tidak boleh lagi mengimpor barang-barang yang bisa diproduksi dalam negeri.
"Kalau barang-barang yang diimpor ke sini jualannya peniti gitu kan ngapain, di dalam negeri juga bisa biar menumbuhkan produksi di dalam negeri," kata Teten.
Teten menegaskan, solusi tersebut sudah tercantum dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020. Saat ini, Permendag tersebut sudah dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM dan diharapkan dapat segera disahkan.