Terungkap, Ini Alasan Sri Mulyani Tunda Penerapan Pajak Karbon
Menurut Sri Mulyani, pemerintah perlu menghitung kembali mengenai dampak penerapan pajak karbon tersebut. Jangan sampai, kebijakan ini tidak membawa dampak yang positif.
Pemerintah resmi menunda penerapan pajak karbon di Indonesia. Mulanya, pajak karbon akan diterapkan mulai 1 April 2022. Namun, rencana ini diundur menjadi 1 Juli 2022. Kali ini pemerintah kembali menunda penerapan kebijakan ini.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penerapan pajak karbon melihat waktu yang tepat, baik dari sistem dalam negeri maupun global. Salah satunya yaitu kondisi meningkatnya harga komoditas di sektor energi yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
-
Kapan Purnawarman meninggal? Purnawarman meninggal tahun 434 M.
-
Kapan Alun-alun Puspa Wangi Indramayu diresmikan? Sebelumnya alun-alun ini diresmikan pada Jumat (9/2) lalu, setelah direnovasi sejak 19 Mei 2021.
-
Siapa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo? Kartosoewirjo merupakan tokoh populer di balik pemberontakan DI/TII pada tahun 1948.
-
Kenapa Siti Purwanti meninggal? Diketahui bahwa mendiang Siti Purwanti telah lama menderita penyakit jantung dan gagal ginjal.
-
Kapan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir? Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir pada 7 Januari 1905, di Cepu, Jawa Tengah.
-
Kapan Sri Mulyani dan Retno Marsudi bertemu? Kemarin (1/8), akhirnya kita bertemu saat rapat bersama di Istana Merdeka... Always glad to meet my bestie,",
Menurut Sri Mulyani, pemerintah perlu menghitung kembali mengenai dampak penerapan pajak karbon tersebut. Jangan sampai, kebijakan ini tidak membawa dampak yang positif.
"Hal-hal seperti ini harus kita kalkulasi secara sangat hati-hati terhadap policy-policy yang menyangkut energi termasuk di dalamnya pajak karbon. Kita akan terus rumuskan," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Senin (27/6).
Hambat Laju Ekonomi
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, alasan penundaan penerapan pajak karbon karena lonjakan harga komoditas energi dan pangan dalam beberapa waktu ini. Kenaikan harga ini menghambat laju pertumbuhan ekonomi global.
"Saat ini, fokus utama pemerintah adalah menjaga perekonomian nasional dari rambatan risiko global yang salah satunya adalah peningkatan harga komoditas energi dan pangan global seiring terjadinya perang di Ukraina yang menyebabkan peningkatan inflasi domestik," ujar Febrio dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (24/6).
Meski demikian, pajak karbon tetap akan dikenakan pertama kali pada badan yang bergerak di bidang PLTU batu bara dengan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi pada tahun 2022 sesuai amanat UU HPP. Pajak Karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
Selain itu, pemerintah juga tetap menjadikan penerapan Pajak Karbon pada tahun 2022 sebagai capaian strategis (deliverables) yang menjadi contoh dalam pertemuan tingkat tinggi G20. Di antaranya melalui mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM) fen9 memensiunkan dini PLTU Batubara (phasing down coal).
"Dan di sisi lain mengakselerasi pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT) dengan tetap mempertimbangkan dampak sosial dan ekonominya," jelas Febrio.
Prioritaskan Fungsi APBN
Febrio memastikan pemerintah akan memprioritaskan fungsi APBN untuk memastikan ketersediaan dan stabilisasi harga energi dan pangan di dalam negeri, termasuk memberikan subsidi dan berbagai bentuk perlindungan sosial untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari dampak kenaikan harga.
APBN sebagai peredam guncangan (shock absorber) menjadi instrumen sentral dalam menjaga dan melindungi perekonomian dan rakyat dari dampak kenaikan harga pangan dan energi global.
Kemudian, pemerintah terus menguatkan upaya penanggulangan perubahan iklim dalam rangka melaksanakan komitmen jangka pendek, menengah, dan panjang.
Sebagaimana dimaklumi, dalam jangka menengah, Pemerintah telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam kerangka komitmen yang telah ditetapkan (Nationally Determined Contributions-NDC) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Dalam jangka panjang, di tahun 2021, Pemerintah telah menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy For Low Carbon Climate Resilience/LTS-LCCR) di tahun 2050 dan target Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
"Pemerintah memiliki target mitigasi perubahan iklim yang jelas dalam jangka pendek hingga panjang. Untuk mencapai berbagai komitmen tersebut, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya yang dibutuhkan termasuk melalui bauran kebijakan (policy mix). Upaya ini juga terus diakselerasi untuk dapat mencapai target penanggulangan perubahan iklim lebih cepat," tutupnya.
Reporter: Maulandy Rizky Bayu Kencana
Sumber: Liputan6.com