UU Bea Meterai Baru Disahkan, ini Dokumen Nantinya Tak Wajib Bermeterai
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengungkapkan yang dikenakan bea meterai di tahun depan hanya dokumen yang bernilai di atas Rp5 juta. Di mana, saat ini, dokumen dengan nilai kurang dari atau sama dengan Rp1 juta sudah dikenai bea meterai.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengungkapkan yang dikenakan bea meterai di tahun depan hanya dokumen yang bernilai di atas Rp5 juta. Di mana, saat ini, dokumen dengan nilai kurang dari atau sama dengan Rp1 juta sudah dikenai bea meterai.
Selain dokumen dengan nilai di bawah Rp 5 juta, dokumen yang sifatnya untuk penanganan bencana alam juga tidak dikenai bea meterai. Dokumen untuk kegiatan yang bersifat non komersil juga tidak diwajibkan untuk dikenai bea meterai.
-
Apa itu pajak? Pungutan Wajib KBBI mendefinisikan pajak sebagai pungutan wajib untuk penduduk kepada negara atas pendapatan, pemilikan, dan lainnya.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Ponirin Meka meninggal? Pada 10 April 2022, instagram resmi PSSI mengumumkan bahwa salah satu kiper terbaik Indonesia itu telah mengembuskan napas terakhirnya.
-
Apa arti kata "Peusijuek" dalam bahasa Aceh? Terminologi Peusijuek Kata Peusijuek atau artinya mendinginkan ini berasal dari kata 'Sijue' yang berarti dingin. Kata dingin sendiri menggambarkan sebuah kebahagiaan, ketentraman, kedamaian.
-
Apa itu Menjes? Menjes adalah makanan berbahan dasar kedelai yang lazim ditemukan di Jawa Timur, Indonesia.
-
Apa saja ciri-ciri dan unsur yang terdapat dalam meterai? Meterai merupakan label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik atau bentuk lainnya. Di mana meterai memiliki ciri-ciri dan mengandung unsur pengaman keluaran Pemerintah Republik Indonesia yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumenik.
"Tarif Rp 10.000 ini kalau lihat inflasi, masih cukup murahlah," jelas Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo saat media briefing online, Rabu (30/9).
Seperti diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Bea Meterai menjadi Undang-Undang. Kesepakatan tersebut diambil dalam sidang Paripurna pembicaraan tingkat II pengambilan keputusan terhadap RUU Bea Meterai.
Dalam UU tersebut tarif bea meterai menjadi tunggal hanya Rp10.000 dan mulai berlaku pada 1 Januari 2021. Adapun saat ini, bea meterai masih berlaku Rp3.000 dan Rp6.000.
Alasan Pemerintah Naikkan Bea Meterai
Suryo mengungkapkan alasan pemerintah menaikan tarif bea meterai sebesar Rp10.000. Salah satunya yakni menyesuaikan kondisi dan perkembangan zaman yang ada.
"Meterai itu dulu nilai per lembarnya Rp 500 dan Rp 1.000, dengan perkembangan zaman yang Rp 500 jadi Rp 3.000 dan Rp 1.000 jadi Rp 6.000 di tahun 2020," katanya.
Dia mengatakan, selama 20 tahun terakhir pemerintah tidak bisa menaikan tarif meterai karena terbentur aturan sebelumnya, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1985. Dalam beleid itu, maksimal kenaikan bea meterai hanya enam kali lipat dari UU tersebut.
"Dari Rp 500 ya maksimumnya cuma Rp 3.000, yang Rp 1.000 ya maksimumnya cuma Rp 6.000. Jadi kita tidak bisa naikkan sebelum UU-nya diubah. Ini yang jadi urgensi alasan kami kemarin untuk mengubah UU Bea Meterai," jelasnya.
Suryo mengatakan tarif Rp10.000 untuk meterai juga dinilai tak terlalu mahal jika menggunakan inflasi saat ini.
Alasan lain UU Bea Meterai diubah adalah bentuk dokumen yang sudah berubah mengikuti perkembangan zaman. Dia menjelaskan, dengan UU baru ini maka pemerintah menyediakan meterai yang bisa digunakan untuk dokumen elektronik.
"Terkait UU bea meterai kalau bahasa sederhananya adalah pajak atas dokumen. Kalau dulu dokumen hanya kertas, dari tahun 1985 ini. Tapi melihat dinamika perubahan zaman yang sedemikian rupa, bahasa bea meterai diperluas, tetap atas dokumen tapi tidak hanya kertas tapi juga yang bersifat elektronik."
"Satu hal ketika kita mengubah UU bea meterai ini, karena sudah banyak dokumentasi-dokumentasi yang dibentuk dalam bentuk elektronik. Apalagi kita punya UU ITE yang menyatakan dokumen itu sah, meski dibuat dalam bentuk elektronik," tuturnya.
Reporter Magang: Brigitta Belia
(mdk/bim)