Waspada, Sri Mulyani Ingatkan Proyeksi Ekonomi Global 2024 Lebih Gelap Dibanding 2023
Perekonomian di China yang merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia, masih menunjukkan kinerja yang lemah
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa prospek pertumbuhan ekonomi global diperkirakan lebih gelap dan stagnan pada tahun 2024. Dia menyebut, meskipun pertumbuhan ekonomi dunia tetap stabil, tapi tingkat pertumbuhannya masih lemah.
"Jadi tahun 2024 kita semuanya melihat dan memahami semua outlook yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah stabil tapi itu di level yang lemah," kata Sri Mulyani dalam acara konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Jakarta, Jumat (2/8).
Sri Mulyani menyebut, dalam laporan terbaru dari World Economic Outlook (WEO) yang dirilis oleh International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,2 persen pada tahun 2024. Angka ini menunjukkan penurunan dari pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,3 persen yang tercatat pada tahun 2023.
"Mungkin teman-teman media ingat tahun lalu oleh Managing Director IMF Kristalina sudah dianggap sebagai tahun yang gelap. Jadi kalau tahun 2024 ini outlooknya 3,2 persen ini berarti pertumbuhan ekonomi dunia masih stagnan lemah dan bahkan lebih lemah dibandingkan tahun lalu yang sudah dianggap sebagai tahun yang sebetulnya stagnan lemah," jelas Sri Mulyani.
Di sisi lain, Wanita yang akrab disapa Ani menyampaikan perekonomian Amerika Serikat (AS) tetap resilient, terutama didorong oleh permintaan domestik, statistik terbaru akan mempengaruhi kebijakan ke depan. Inflasi di AS juga menunjukkan penurunan pada bulan Juni 2024.
"Perkembangan inflasi di Amerika Serikat di bulan Juni 2024 menunjukkan penurunan," imbuh dia.
Sementara itu, perekonomian di China yang merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia, masih menunjukkan kinerja yang lemah dengan pertumbuhan triwulan kedua hanya mencapai 4,7 persen.
Ani bilang, China sebelumnya menargetkan pertumbuhan ekonomi domestik sebesar 5 persen, menunjukkan bahwa pencapaian mereka masih di bawah target yang diharapkan.
Ini dikarenakan faktor-faktor seperti lemahnya konsumsi domestik, investasi, dan tekanan di sektor properti di RRT berkontribusi pada situasi ini.
"Ini karena permintaan domestik di China itu berarti consumption investment masih lemah dan juga kondisi persoalan di sektor properti yang masih berlanjut tekanannya," tandas dia.