PKI Tak Masuk dalam Kabinet, Bung Karno Marahi Ali Sastroamidojojo
Merdeka.com - Kendati mereka bersahabat akrab, namun soal politik mereka kadang bersilang pendapat.
Penulis: Hendi Jo
Bagi kalangan nasionalis, nama Ali Sastroamidojo tidaklah asing. Sejak zaman pergerakan, namanya kerap disandingkan dengan Sukarno sebagai dua sejoli dari Partai Nasional Indonesia (PNI).
-
Kenapa konflik dalam hubungan terkadang lebih dari sekadar perbedaan pendapat? Konflik dalam hubungan antar pasangan sering kali melampaui sekadar perbedaan pendapat atau kesalahpahaman yang terjadi sehari-hari. Salah satu aspek yang sering diabaikan adalah dampak dari inner child, yaitu bagian dari diri kita yang menyimpan kenangan, emosi, serta luka dari masa kecil yang belum teratasi.
-
Kenapa konflik terjadi? Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.
-
Bagaimana persahabatan mereka berdua setelah lama tak bertemu? Walau sudah lama tidak berjumpa, kedua sahabat ini tetap akrab dan saling support di Pematang Siantar.
-
Apa nama asli Soekarno? Soekarno dahulu terlahir dengan nama Kusno.
-
Bagaimana hubungan mereka sekarang? Setelah melewati badai dalam rumah tangga mereka, keduanya sepakat untuk memperbaiki hubungan dan kini kembali menunjukkan romantisme seperti dulu.
-
Siapa saja menteri Soekarno? Presiden Soekarno memimpin sendiri kabinet yang beranggotakan 21 orang menteri,' tulis Wahjudi Djaja dalam Kabinet-Kabinet di Indonesia.
Bisa dikatakan mereka memang termasuk dua manusia yang memiliki kedekatan emosional. Bagi Ali, nama Sukarno sudah ada di benaknya saat dia belajar ilmu hukum di Belanda. Namun secara pribadi, dia kali pertama berkenalan dengan Sukarno pada akhir 1928 di Yogyakarta. Saat itu sebagai anak muda berusia 25 tahun, dia menyaksikan langsung bagaimana Sang Singa Podium beraksi.
"Saya sangat terpukau oleh cara dan kata-kata yang digunakannya…" ungkap Ali dalam otobiografinya, Tonggak-Tonggak di Perjalananku.
PKI Tak Diajak dalam kabinet, Sukarno Marah
Banyak kalangan menyebut Ali sebagai pengikut setia Sukarno. Pendapat itu tentu saja ada benarnya jika mengingat kedekatan Ali dengan Sukarno yang sudah berusia lama. Soal ini bahkan diakui sendiri oleh Tatiek Kemal (68), salah seorang cucu Ali Sastroamidjojo.
"Kedekatan itu bahkan sampai menjadikan nenek saya memiliki hubungan yang sangat baik dengan Ibu Fatmawati," ujar Tatiek.
Kendati demikian, tidak serta merta kedekatan itu menjadikan Ali berlaku sebagai pembebek. Alih-alih menuruti semua kata Sukarno, yang ada Ali malah pernah berselilih paham secara keras dengan sahabatnya itu.
Ceritanya, saat kembali dipercaya untuk menyusun kabinet yang kedua kali-nya pada 1956, Ali tidak melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai salah satu mitra koalisi-nya. Selain sudah merasa cukup berkoalisi dengan Masyumi dan NU yang menolak berkoalisi dengan PKI, Ali melihat kecenderungan jika PKI dilibatkan dalam pemerintahannya maka itu sama saja memberi peluang partai komunis ke-3 terbesar di dunia tersebut akan menjadi lebih kuat pada pemilu berikutnya.
Suatu hal yang tentu saja tidak dikehendaki oleh PNI. Apa yang terjadi kemudian? Bung Karno marah besar. Dia menuduh Ali telah berlaku tidak adil dan mengidap penyakit komunisto-phobi.
"Saudara sebagai formatir bersikap tidak adil terhadap PKI. Bagaimana suatu partai besar yang mendapat suara dari rakyat lebih dari 6 juta itu, tidak kau ikut sertakan dalam kabinet baru? Ini tidak adil!" sergah Bung Karno.
Sukarno Setengah Hati
Kendati Ali mengemukakan alasan-alasan di atas kepada Si Bung Besar, namun tindakannya tetap disalahkan. Tak ada titik temu. Ali akhirnya menyarankan presiden untuk mencabut mandat yang diberikan kepadanya dan menyerahkan kepada formatur baru.
"Saya tidak bisa merubah susunan kabinet karena saya sudah terikat pada kesepakatan bersama dengan partai-partai koalisi itu," ujar Ali.
"Kau menempatkan persoalan selalu dengan cara yang terlampau tajam. Saya belum mengatakan bahwa saya menolak hasil susah payah kau ini!" jawab Sukarno.
Alhasil, presiden pada akhirnya mau menandatangani susunan kabinet yang disodorkan Ali. Kendati demikian Ali tahu, Bung Karno hanya setengah hati menerimanya.
Ali juga termasuk tokoh PNI yang diam-diam kritis terhadap kedekatan Bung Karno dengan PKI. Menurut Satya Graha, ketika Suluh Indonesia (surat kabar yang berafiliasi ke PNI) mengecam aksi sepihak para aktivis PKI di pelosok-pelosok daerah, Ali menyatakan dukungannya.
"Pak Ali tidak memarahi saya, dia malah memuji Suluh Indonesia yang sudah berlaku kritis terhadap aksi para aktivis BTI (Barisan Tani Indonesia) itu," kenang eks pemimpin redaksi Suluh Indonesia tersebut. (mdk/noe)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
PDIP sampai hari ini masih terus membuka pintu bagi partai manapun termasuk Golkar untuk berkoalisi.
Baca SelengkapnyaPrediksi itu diperkuat karena kehadiran Presiden Jokowi dan ditambah dengan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Baca SelengkapnyaMenteri AHY ungkap hubungannya dengan Moeldoko yang pernah berseteru terkait Partai Demokrat.
Baca SelengkapnyaJokowi juga memberi ucapan selamat ulang tahun kepada Surya Paloh.
Baca SelengkapnyaEriko menegaskan PDIP tidak mengenal terminologi koalisi dan oposisi dalam konteks ketatanegaraan.
Baca SelengkapnyaMegawati dengan Prabowo memiliki hubungan yang sangat dekat.
Baca SelengkapnyaPramono tetap berkomunikasi secara terbuka dengan Jokowi
Baca SelengkapnyaSaat ditanya apakah Jokowi dan putra sulungnya, Gibran masih menjadi kader PDIP, Pramono enggan menjawab.
Baca SelengkapnyaSecara politik, partai yang dipimpin keduanya, yakni PDIP dan Gerindra menurut Said juga tidak pernah berbenturan baik secara politis maupun ideologis.
Baca SelengkapnyaPDIP mengklaim Jokowi dan Megawati tetap punya hubungan yang erat.
Baca SelengkapnyaKetua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat mengatakan duet antara Pramono Anung dan Rano Karno muncul dari aspirasi di Bawah.
Baca SelengkapnyaDiketahui, PDIP akhirnya memutuskan untuk mengusung pasangan Pramono Anung dan Rano Karno di Pilgub Jakarta.
Baca Selengkapnya